Definisi Karakter
Definisi Karakter - Menurut bahasa, karakter yakni watak atau kebiasaan. Sedangkan berdasarkan jago psikologi, karakter yakni sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, kalau pengetahuan mengenai karakter seseorang itu sanggup diketahui, maka sanggup diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi lantaran sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya sanggup disebut dengan kebiasaan.
Mekanisme Pembentukan Karakter
1. Unsur dalam Pembentukan Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter yakni pikiran lantaran pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh aktivitas yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan penggerak segalanya.2 Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang kesannya sanggup membentuk pola berpikirnya yang bisa mensugesti perilakunya. Jika aktivitas yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan aturan alam. Hasilnya, sikap tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, kalau aktivitas tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip aturan universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh lantaran itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius.
Tentang pikiran, Joseph Murphy menyampaikan bahwa di dalam diri insan terdapat satu pikiran yang mempunyai ciri yang berbeda. Untuk membedakan ciri tersebut, maka istilahnya dinamakan dengan pikiran sadar (conscious mind) atau pikiran objektif dan pikiran bawah sadar (subconscious mind) atau pikiran subjektif.3 Penjelasan Adi W. Gunawan mengenai fungsi dari pikiran sadar dan bawah sadar menarik untuk dikutip.
Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bab korteks otak bersifat logis dan analisis dengan mempunyai efek sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan ibunya lantaran ia sudah merasa tidak gila lagi dengan detak jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif.4
Untuk memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious) yakni pikiran objektif yang bekerjasama dengan objek luar dengan memakai panca indra sebagai media dan sifat pikiran sadar ini yakni menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious) yakni pikiran subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak sanggup membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja pikiran sadar semakin minimal.5
Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan budi dari pikiran sadar terhadap objek luar yang diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka pikiran sadar diibaratkan mirip nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan mirip awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini, pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari efek objek luar.
Kita ambil sebuah contoh. Jika media masa memberitakan bahwa Indonesia semakin terpuruk, maka info ini sanggup menciptakan seseorang merasa depresi lantaran sesudah mendengar dan melihat info tersebut, ia menalar berdasarkan kepercayaan yang dipegang mirip berikut ini, “Kalau Indonesia terpuruk, rakyat jadi terpuruk. Saya yakni rakyat Indonesia, jadi ketika Indonesia terpuruk, maka saya juga terpuruk.” Dari sini, kesan yang diperoleh dari hasil pikiran sehat di pikiran sadar yakni kesan ketidakberdayaan yang berakibat kepada rasa putus asa. Akhirnya rasa ketidakberdayaan tersebut akan memunculkan sikap destruktif, bahkan bisa mendorong kepada tindak kejahatan mirip pencurian dengan beralasan untuk bisa bertahan hidup. Namun, melalui pikiran sadar pula, kepercayaan tersebut sanggup dirubah untuk memperlihatkan kesan berbeda dengan menambahkan referensi kalimat berikut ini, “...tapi saya punya banyak hubungan orang-orang kaya yang siap membantuku.” Nah, cara berpikir semacam ini akan memperlihatkan kesan keberdayaan sehingga kesan ini sanggup memperlihatkan keinginan dan bisa meningkatkan rasa percaya diri.
Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Dengan kemampuan kita dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, kita akan gampang mendapatkan apa yang kita inginkan, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya, kalau pikiran kita lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan kejahatan, maka kita akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan, disadari maupun tidak.
2. Proses Pembentukan Karakter
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan, mari kita kaji gambaran berikut ini.. Di dalam sebuah ruangan, terdapat seorang bayi, dan dua orang dewasa. Mereka duduk dalam posisi melingkar. Kemudian masuk satu orang lain yang membawa kotak besar berwarna putih ke arah mereka. Setelah meletakkan kotak tersebut di tengah-tengah mereka, orang tersebut eksklusif membuka tutupnya biar keluar isinya. Apa yang terjadi...? ternyata sesudah dibuka, terlihat ada tiga ular kobra berwarna hitam dan besar yang keluar dari kotak tersebut. Langsung saja, salah seorang dari mereka lari ketakutan, sedangkan yang lainnya justru berani mendekat untuk memegang ular biar tidak membahayakan, dan, tentu saja, si bayi yang ada di dekatnya tetap tidak memperlihatkan respon apa-apa terhadap ular.
Nah, begitu juga dengan kehidupan insan di dunia ini. Kita semua dihadapkan dengan permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi. Akan tetapi respon yang kita berikan terhadap permasalahan tersebut berbeda-beda. Di antara kita, ada yang hidup penuh semangat, sedangkan yang lainnya hidup penuh malas dan putus asa. Di antara kita juga ada yang hidup dengan keluarga yang tenang dan tenang, sedangkan di antara kita juga ada yang hidup dengan kondisi keluarga yang berantakan. Di antara kita juga ada yang hidup dengan perasaan senang dan ceria, sedangkan yang lain hidup dengan penuh penderitaan dan keluhan. Padahal kita semua berangkat dari kondisi yang sama, yaitu kondisi ketika masih kecil yang penuh semangat, ceria, bahagia, dan tidak ada rasa takut atau pun rasa sedih.
Pertanyaannya yang ingin diajukan di sini yakni “Mengapa untuk permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi, kita mengambil respon yang berbeda-beda?” jawabannya dikarenakan oleh kesan yang berbeda dan kesan tersebut dihasilkan dari pola pikir dan kepercayaan yang berbeda mengenai objek tersebut. Untuk lebih jelas, berikut penjelasannya.
Secara alami, semenjak lahir hingga berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan mendapatkan apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang bau tanah dan lingkungan keluarga.6 Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi tersebut yakni kepercayaan tertentu dan konsep diri. Jika semenjak kecil kedua orang bau tanah selalu bertengkar kemudian bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, kalau kedua orang bau tanah selalu memperlihatkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang erat maka anak akan menyimpulkan ternyata ijab kabul itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.
Selanjutnya, semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan kerabat, sekolah, televisi, internet, buku, majalah, dan aneka macam sumber lainnya menambah pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang mempunyai kemampuan yang semakin besar untuk sanggup menganalisis dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah, tugas pikiran sadar (conscious) menjadi semakin dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi yang masuk melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat sehingga tidak sembarang informasi yang masuk melalui panca indera sanggup gampang dan eksklusif diterima oleh pikiran bawah sadar.
Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin terperinci tindakan, kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu kesannya mempunyai sistem kepercayaan (belief system), gambaran diri (self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, kalau sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Kita ambil sebuah contoh. Ketika masih kecil, kebanyakan dari bawah umur mempunyai konsep diri yang bagus. Mereka ceria, semangat, dan berani. Tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih. Mereka selalu merasa bahwa dirinya bisa melaksanakan banyak hal. Karena itu, mereka mendapatkan banyak hal. Kita bisa melihat ketika mereka berguru berjalan dan jatuh, mereka akan bangun lagi, jatuh lagi, bangun lagi, hingga kesannya mereka bisa berjalan mirip kita.
Akan tetapi, ketika mereka telah memasuki sekolah, mereka mengalami banyak perubahan mengenai konsep diri mereka. Di antara mereka mungkin merasa bahwa dirinya bodoh. Akhirnya mereka putus asa. Kepercayaan ini semakin diperkuat lagi sesudah mengetahui bahwa nilai yang didapatkannya berada di bawah rata-rata dan orang bau tanah mereka juga menyampaikan bahwa mereka memang yakni bawah umur yang bodoh. Tentu saja, dampak negatif dari konsep diri yang jelek ini bisa menciptakan mereka merasa kurang percaya diri dan sulit untuk berkembang di kelak kemudian hari.
Padahal, kalau dikaji lebih lanjut, kita sanggup menemukan banyak klarifikasi mengapa mereka mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Mungkin, proses pembelajaran tidak sesuai dengan tipe anak, atau pengajar yang kurang menarik, atau mungkin kondisi berguru yang kurang mendukung. Dengan kata lain, pada hakikatnya, bawah umur itu berilmu tetapi lantaran kondisi yang memperlihatkan kesan mereka bodoh, maka mereka meyakini dirinya bodoh. Inilah konsep diri yang buruk.
Contoh yang lainnya, mayoritas ketika masih kanak-kanak, mereka tetap ceria walau kondisi ekonomi keluarganya rendah. Namun seiring perjalanan waktu, anak tersebut mungkin sering menonton sinetron yang menayangkan bahwa kondisi orang miskin selalu lemah dan mengalami banyak penderitaan dari orang kaya. Akhirnya, anak ini memegang kepercayaan bahwa orang miskin itu menderita dan tidak berdaya dan orang kaya itu jahat. Selama kepercayaan ini dipegang, maka ketika dewasa, anak ini akan sulit menjadi orang yang berpengaruh secara ekonomi, lantaran keinginan untuk menjadi kaya bertentangan dengan keyakinannya yang menyatakan bahwa orang kaya itu jahat. Kepercayaan ini hanya akan melahirkan sikap yang gampang berkeluh kesah dan menutup diri untuk bekerjasama dengan mereka yang dirasa lebih kaya.
Mekanisme Pembentukan Karakter
1. Unsur dalam Pembentukan Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter yakni pikiran lantaran pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh aktivitas yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan penggerak segalanya.2 Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang kesannya sanggup membentuk pola berpikirnya yang bisa mensugesti perilakunya. Jika aktivitas yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan aturan alam. Hasilnya, sikap tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, kalau aktivitas tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip aturan universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh lantaran itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius.
Tentang pikiran, Joseph Murphy menyampaikan bahwa di dalam diri insan terdapat satu pikiran yang mempunyai ciri yang berbeda. Untuk membedakan ciri tersebut, maka istilahnya dinamakan dengan pikiran sadar (conscious mind) atau pikiran objektif dan pikiran bawah sadar (subconscious mind) atau pikiran subjektif.3 Penjelasan Adi W. Gunawan mengenai fungsi dari pikiran sadar dan bawah sadar menarik untuk dikutip.
Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bab korteks otak bersifat logis dan analisis dengan mempunyai efek sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan ibunya lantaran ia sudah merasa tidak gila lagi dengan detak jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif.4
Untuk memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious) yakni pikiran objektif yang bekerjasama dengan objek luar dengan memakai panca indra sebagai media dan sifat pikiran sadar ini yakni menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious) yakni pikiran subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak sanggup membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja pikiran sadar semakin minimal.5
Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan budi dari pikiran sadar terhadap objek luar yang diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka pikiran sadar diibaratkan mirip nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan mirip awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini, pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari efek objek luar.
Kita ambil sebuah contoh. Jika media masa memberitakan bahwa Indonesia semakin terpuruk, maka info ini sanggup menciptakan seseorang merasa depresi lantaran sesudah mendengar dan melihat info tersebut, ia menalar berdasarkan kepercayaan yang dipegang mirip berikut ini, “Kalau Indonesia terpuruk, rakyat jadi terpuruk. Saya yakni rakyat Indonesia, jadi ketika Indonesia terpuruk, maka saya juga terpuruk.” Dari sini, kesan yang diperoleh dari hasil pikiran sehat di pikiran sadar yakni kesan ketidakberdayaan yang berakibat kepada rasa putus asa. Akhirnya rasa ketidakberdayaan tersebut akan memunculkan sikap destruktif, bahkan bisa mendorong kepada tindak kejahatan mirip pencurian dengan beralasan untuk bisa bertahan hidup. Namun, melalui pikiran sadar pula, kepercayaan tersebut sanggup dirubah untuk memperlihatkan kesan berbeda dengan menambahkan referensi kalimat berikut ini, “...tapi saya punya banyak hubungan orang-orang kaya yang siap membantuku.” Nah, cara berpikir semacam ini akan memperlihatkan kesan keberdayaan sehingga kesan ini sanggup memperlihatkan keinginan dan bisa meningkatkan rasa percaya diri.
Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Dengan kemampuan kita dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, kita akan gampang mendapatkan apa yang kita inginkan, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya, kalau pikiran kita lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan kejahatan, maka kita akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan, disadari maupun tidak.
2. Proses Pembentukan Karakter
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan, mari kita kaji gambaran berikut ini.. Di dalam sebuah ruangan, terdapat seorang bayi, dan dua orang dewasa. Mereka duduk dalam posisi melingkar. Kemudian masuk satu orang lain yang membawa kotak besar berwarna putih ke arah mereka. Setelah meletakkan kotak tersebut di tengah-tengah mereka, orang tersebut eksklusif membuka tutupnya biar keluar isinya. Apa yang terjadi...? ternyata sesudah dibuka, terlihat ada tiga ular kobra berwarna hitam dan besar yang keluar dari kotak tersebut. Langsung saja, salah seorang dari mereka lari ketakutan, sedangkan yang lainnya justru berani mendekat untuk memegang ular biar tidak membahayakan, dan, tentu saja, si bayi yang ada di dekatnya tetap tidak memperlihatkan respon apa-apa terhadap ular.
Nah, begitu juga dengan kehidupan insan di dunia ini. Kita semua dihadapkan dengan permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi. Akan tetapi respon yang kita berikan terhadap permasalahan tersebut berbeda-beda. Di antara kita, ada yang hidup penuh semangat, sedangkan yang lainnya hidup penuh malas dan putus asa. Di antara kita juga ada yang hidup dengan keluarga yang tenang dan tenang, sedangkan di antara kita juga ada yang hidup dengan kondisi keluarga yang berantakan. Di antara kita juga ada yang hidup dengan perasaan senang dan ceria, sedangkan yang lain hidup dengan penuh penderitaan dan keluhan. Padahal kita semua berangkat dari kondisi yang sama, yaitu kondisi ketika masih kecil yang penuh semangat, ceria, bahagia, dan tidak ada rasa takut atau pun rasa sedih.
Pertanyaannya yang ingin diajukan di sini yakni “Mengapa untuk permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi, kita mengambil respon yang berbeda-beda?” jawabannya dikarenakan oleh kesan yang berbeda dan kesan tersebut dihasilkan dari pola pikir dan kepercayaan yang berbeda mengenai objek tersebut. Untuk lebih jelas, berikut penjelasannya.
Secara alami, semenjak lahir hingga berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan mendapatkan apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang bau tanah dan lingkungan keluarga.6 Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi tersebut yakni kepercayaan tertentu dan konsep diri. Jika semenjak kecil kedua orang bau tanah selalu bertengkar kemudian bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, kalau kedua orang bau tanah selalu memperlihatkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang erat maka anak akan menyimpulkan ternyata ijab kabul itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.
Selanjutnya, semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan kerabat, sekolah, televisi, internet, buku, majalah, dan aneka macam sumber lainnya menambah pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang mempunyai kemampuan yang semakin besar untuk sanggup menganalisis dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah, tugas pikiran sadar (conscious) menjadi semakin dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi yang masuk melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat sehingga tidak sembarang informasi yang masuk melalui panca indera sanggup gampang dan eksklusif diterima oleh pikiran bawah sadar.
Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin terperinci tindakan, kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu kesannya mempunyai sistem kepercayaan (belief system), gambaran diri (self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, kalau sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Kita ambil sebuah contoh. Ketika masih kecil, kebanyakan dari bawah umur mempunyai konsep diri yang bagus. Mereka ceria, semangat, dan berani. Tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih. Mereka selalu merasa bahwa dirinya bisa melaksanakan banyak hal. Karena itu, mereka mendapatkan banyak hal. Kita bisa melihat ketika mereka berguru berjalan dan jatuh, mereka akan bangun lagi, jatuh lagi, bangun lagi, hingga kesannya mereka bisa berjalan mirip kita.
Akan tetapi, ketika mereka telah memasuki sekolah, mereka mengalami banyak perubahan mengenai konsep diri mereka. Di antara mereka mungkin merasa bahwa dirinya bodoh. Akhirnya mereka putus asa. Kepercayaan ini semakin diperkuat lagi sesudah mengetahui bahwa nilai yang didapatkannya berada di bawah rata-rata dan orang bau tanah mereka juga menyampaikan bahwa mereka memang yakni bawah umur yang bodoh. Tentu saja, dampak negatif dari konsep diri yang jelek ini bisa menciptakan mereka merasa kurang percaya diri dan sulit untuk berkembang di kelak kemudian hari.
Padahal, kalau dikaji lebih lanjut, kita sanggup menemukan banyak klarifikasi mengapa mereka mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Mungkin, proses pembelajaran tidak sesuai dengan tipe anak, atau pengajar yang kurang menarik, atau mungkin kondisi berguru yang kurang mendukung. Dengan kata lain, pada hakikatnya, bawah umur itu berilmu tetapi lantaran kondisi yang memperlihatkan kesan mereka bodoh, maka mereka meyakini dirinya bodoh. Inilah konsep diri yang buruk.
Contoh yang lainnya, mayoritas ketika masih kanak-kanak, mereka tetap ceria walau kondisi ekonomi keluarganya rendah. Namun seiring perjalanan waktu, anak tersebut mungkin sering menonton sinetron yang menayangkan bahwa kondisi orang miskin selalu lemah dan mengalami banyak penderitaan dari orang kaya. Akhirnya, anak ini memegang kepercayaan bahwa orang miskin itu menderita dan tidak berdaya dan orang kaya itu jahat. Selama kepercayaan ini dipegang, maka ketika dewasa, anak ini akan sulit menjadi orang yang berpengaruh secara ekonomi, lantaran keinginan untuk menjadi kaya bertentangan dengan keyakinannya yang menyatakan bahwa orang kaya itu jahat. Kepercayaan ini hanya akan melahirkan sikap yang gampang berkeluh kesah dan menutup diri untuk bekerjasama dengan mereka yang dirasa lebih kaya.