Islam Pada Periode Rasulullah
PENDAHULUN
Berbicara perihal kemunculan islam, tentu tidak bisa lepas dari sosok Muhammad SAW sebagai pembawa risalahnya. Pada sekitar tahun 610 M islam diperkenalkan oleh Allah kepada Muhammad yang ditandai dengan turunnya wahyu pertama di makkah. Sejak inilah kemudian islam disebarkan di sekitar makkah, atau bahkan di seluruh jazirah arab.
Sebagai pembawa risalah yang dipilih oleh Allah, Nabi Muhamma SAW senantiasa selalu berdakwah, meskipun banyak rintangan yang harus ia lewati. Dalam jangka waktu kurang lebih 22 tahun, ia berjuang dengan sepenuh hati, melaksanakan transformasi budaya, dari alam jahili ke alam Islam yang bersendikan tauhid, kemerdekaan, persaudaraan, ukhuwah, persatuan dan keadilan.
Perjalanan nabi Muhammad dalam berdakwah semenjak diutus sebagai rasulullah sanggup diklasifikasikan menjadi dua preode. Pertama, preode Makkah. Pada masa ini ia melaksanakan transformasi melalui dakwah bissiri (dengan sembunyi-sembunyi), kemudian dakwah bijahri (terang-terangan). Kedua, masa di Madinah (Yatsrib). Masa ini diawali dengan berhijrah ke Madinah beserta para kaum Muhajirin, yang selanjutnya ia mulai menata masyarakat sesuai dengan nilai-nilai ke-Islaman.
PEMBAHASAN
A. ISLAM DI MAKKAH
1. Awal Munculnya Islam
Masyarakat arab sebelum islam tiba dikenal dengan masyarakat jahiliyah. Mereka hidup dalam bentuk masyarakat yang terkotak kotak, yang dibangun dengan system kabilah-kabilah, bersuku-suku, yang mana antara kelompok yang satu dengan lainnya seringkali terjadi pertumbuhan darah, bahkan mereka sudah terbiasa melaksanakan kekerasan dan pembunuhan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.[1]
Kompleksitas duduk masalah yang terjadi pada masyarakat arab jahiliyah inilah yang membuat nabi Muhammad termotivasi untuk mencari jalan keluar dengan cara mengasingkan diri berkhulwat di Gua Hira’. Di sana Nabi Muhammad berhari-hari dan berbulan-bulan melaksanakan kontemplasi dan bertafakur. Tidak henti-hentianya ia melaksanakan hal tersebut hingga menjelang usianya yang keempat puluh. Dan akibatnya pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, malaikat pembawa wahyu tiba dengan membawa wahyu yang pertama: “Bacalah dengan nama tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah membuat insan dari segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmu itu maha mulia. Dia telah mengajar dengan Qolam. Dia telah mengajar insan apa yang tidak mereka ketahui” (QS. al-Alaq ayat:1-5’).
Dengan turunnya ayat di atas, merupakan sebuah petanda sebenarnya Muhammad telah resmi diangkat sebagai seorang Nabi.[2] Sekeligus mengakhiri zaman jahiliyah masyarakat arab. Dan selang beberapa bulan kemudian ia mendapatkan wahyu yang berisi perintah untuk mendakwahkan islam kepada semua manusia. Hal tersebut tergamabar dalam surat al-Muddatsir ayat 1-7:
“hai orang-orang berkemul, bangunlah, kemudian berilah peringatan! Dan tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlan, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kau memberi dengan maksud mendapatkan tanggapan yang lebih banyak. Dan untuk memenuhi perintah tuhanmu bersabarlah”, (Q,S. al-Mdtssir, 1-7).
Dengan diturunkannya ayat di atas, menawarkan sebuah pengertian bahwa semenjak itulah nabi Muhammad secara defacto telah resmi diangkat menjadi rasulullah dengan mengemban kiprah untuk memberi peringatan bagi seluruh manusia.
2. Setrategi Dakwah Islam Di Makkah
a. Dakwan bil-Sirri (diam-diam)
Pada awal perjalanannya, nabi Muhammada melaksanakan dakwah dengan cara belakang layar sirri. ia memberikan dakwahnya pada keluarga keluarga terdekat dan juga pada orang-orang yang diyakini akan mendapatkan seruannya. hal ini ia lakukan semenjak turunnya surah al-Muddatstsir, yang mana isi kandungan ayat tersebut yaitu perintah untuk melaksanakan usul dan peringatan kepada umat manusia.
Adapun orang pertama yang masuk islam yaitu Khatijah yang tidak lain yaitu istri rasulullah, gres kemudian disusul oleh Ali bin Abi Thalib yang waktu itu gres berumur 10 tahun. Kemudian disusul oleh Abu Bakar yang merupakan sobat nabi semenjak masa kecil.
Dakwah secara belakang layar ini terus ia lakukan selama tiga tahun, dan berhasil mengajak belasan orang memeluk islam. Meskipun nabi berdakwah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi tetap saja kaum Quraisy memusuhi dan mengejek umat islam.
b. Dakwah bil-Jahri (terang terangan)
Setelah beberapa tahun Rasulullah hanya berdakwah secara sembunyi-sembunyi, maka datanglah usul untuk berdakwa secara terang-terangan dan tidak mempedulikan perilaku orang-orang yang menentangnya. Sebagaimana terkandung dalam firman allah:
Artinya: maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya kami memelihara kau dari pada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan kau (Q.S. al-Hajr ayat 214-216).
Setelah turun ayat ini, Rasulullah SAW, memberikan dakwahnya kepada seluruh lapisan masyarakat kota Mekah yang pluralistik, dari golongan aristokrat hingga golongan budak serta pendatang kota Mekah yang memiliki agama berbeda dan banyak sekali suku. Untuk berdakwah secara terang-terangan ini ia menjadikan bukit “shofa” sebagai daerah dakwahnya. Rasulullah SAW. Menyampaikan dakwah dibukit Shofa selama dua kali, namun orang-orang banyak yang mendustakanya. Sebagian ada yang mendapatkan dan sebagian ada yang menolaknya dengan kasar.
Rasulullah SAW bersabda : “Selamatkan diri kalian dari ancaman api neraka, sesungguhnya saya memberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih.” Dan Abu-Lahab menjawab : “Binasalah hai Muhammad ! Adakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk ini saja?
Sehubungan dengan hinaan Abu Lahap ini, maka turunlah surat Al Lahab sebagai berikut :
Artinya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa, tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan, kelak Dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak, dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar, yang di lehernya ada tali dari sabut”.
Sikap Rasulullah Saw, dalam dakwah Islam, meliputi; pertama, tidak terdapat perilaku langsung yang menuju sifat yang berlebih-lebihan dan memuji unuk kepentingan pribadinya dan gaya bicaranya simpatik (dapat diterima), kedua, dan tidak terdapat perilaku langsung sifat kemewah-mewahan menimbulkan orang terkejut dan mencegah akan insan yang lemah.[3]
Setelah tragedi Thaif itulah bermulalah perilaku kaum quraisy memusuhi rasulullah secara terang-terangan. Mereka mengobarkan api permusuhan dan mereka sepakat untuk menentang rasulullah, dan menyakiti para pengikutnya biar mereka kembali ke dalam agama lamanya, yaitu penyembah Lata dan Uzza. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima factor yang mendorong orang Quraisy menentang usul islam. Pertama, mereka tidak sanggup membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka menerka bahwa tunduk kepada usul Muhammad sama halnya dengan tunduk kepada kepemimpinan bani abdul muthalib, padahal hal tersebut sangat tidak diinginkan oleh mereka.
Kedua, nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara aristokrat dan hamba sahaya. Ketiga, para pemimpin Quraisy tidak sanggup mendapatkan anutan perihal kebangkitan kembali dan pembalasan hari akhirat. Keempat, taklid kepada nenek moyang yaitu keniasaan yang sudah berakar pada bangsa arab. Kelima, pemahat dan penjual patung memandang islam sebagai penghalang rezeki.[4]
3. Dua Perjanjian Penting Periode Makkah
Setelah nabi Muhammad melakukakan Isra’ dan Mikraj, suatu perkembangan besar terjadi bagi kemajuan islam. Embrio kemajuan tersebut tiba dari sejumlah penduduk yasrib yang berhaji ke Makkah. Mereka terdiri dari duan suku, yaitu suku ‘Aus dan Khazraj, tiba menemui nabi Muhammad dan melaksanakan perjanjian yang kemudian dikenal dengan perjanjian Aqobah.
a. Perjanjian Aqobah I
Proses terjadinya perjanjian aqobah I di awali dengan datangnya rombongan dari Madinah di Makkah, mereka tiba untuk menunaikan haji, kemudian kedatangan mereka diketahui oleh nabi, maka ia segera menemui mereka di dekat bukit aqabah untuk memberikan usul islam. Mendengar dakwah yang disampaikan oleh nabi, kemudian mereka berkata: bangsa kami telah usang terjadi permusuhan, yaitu antara suku Khajraj dan suku ‘Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya yang kuasa mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan enkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh sebab itu kami akan berdakwah biar mereka mengatahui agama yang kami terima dari engkau.
Setelah berselang dua tahuan, yaitu pada tahun ke dua belas, mereka tiba lagi menemui nabi dengan jumlah 12 orang (10 kaum Khajraj dan 2 kaum ‘Aus). Mereka menemui nabi pada daerah yang sama, yang mana dalam pertemuan ini mereka telah membuat suatu perjanjian dengan nabi yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Aqobah I ”perjanjian wanita”.
b. Perjanjian Aqobah II
Pada animo haji berikutnya, jamaah haji yang tiba dari madinah makin tambah banyak, yaitu berjumlah 73 orang, diantaranya 2 orang perempuan dari suku ‘Aus. Mereka kemudian menemui nabi pada daerah yang sama dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, pertemuan ini kemudian dikenal dengan Perjanjian Aqobah II (perjanjian peperangan).[5]
B. ISLAM DI MADINAH
1. Hijrah Starting Kebangkitan Islam
Sebelum kedatangan nabi, kota ini berjulukan Yatsrib. Penduduknya sangat majemuk, mereka terdiri dari kabilah-kabilah dan suku-suku, dan terbesar yaitu suku aus dan khazraj. Mereka menganut agama yang bermacam-macam, diantaranya yaitu nasrani, yahudi, majusi, sabi’I, dan lain-lain. Sebagai suku yang dominan, suku Aus dan Khazraj seringkali hidup dalam pertikaian yang melibatkan sentiment keagamaan.[6]
Secara giografis Madinah sangat berbeda dengan mekkah yang terdiri dari padang pasir dan tandus. Madinah tanahnya yang subur sehingga penduduknya bercocok tanam menyerupai kurma. Keadaan ini menjadikan masyarakat madinah memiliki corak berbeda dengan masyarakat lainnya, mereka hidup dengan rujukan yang sederhana, solidaritas masyarakatnya sangat kuat.
Sekitar pada tahun 622 M. nabi Muhammad beserta pengikutnya berhijrah ke madinah. Keputusan berhijrah sebenarnya telah dipertimbangkan semenjak jauh-jauh hari sebelumnya, keputusan tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan: pertama, beratnya perlawanan dan siksaan Quraisy makkah terhadap nabi dan para pengikutnya. Kedua, adanya harapan dan tawaran dari sebagian masyarakat madinah sebab adanya konflik. Ketiga, dilihat dari lingkungannnya, madinah dianggap lebih memungkinkan untuk masa depan islam. Kelima, adanya perintah allah untuk melaksanakan hijrah ke sana.[7]
Hijrah, yang mengakhiri pereode makkah dan mengawali pereode Madinah, merupakan titik balik perkembangan dan kejayaan islam. Pada pereode ini rasulullah berusaha membangun dasar-dasar suatu masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai keadaban (civility), sebagaimana yang di ajarkan dalam agamanya. Untuk mencapai harapan pembangunan masyarakat yang beradab, nabi Muhammad melaksanakan langkah-langkah sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad Syalabi, diantaranya:
Pertama, mendirikan masjid. Masjid yang pertama kali dibangun yaitu masjid Quba yang terletak di pinggiran kota madinah. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai daerah beribadah, tetapi juga dipakai banyak sekali macam kegiatan, seperti, daerah berguru agama, latihan berperang, mengadili perkara-perkara, dan manajemen negara. Makara masjid ini memiliki multifungsi, satu sisi berfungsi untuk mengembangkan kehidupan spiritual, dan pada sisi yang lain untuk melaksanakan konsolidasi sosial.
Dengan demikian, sanggup dipahami sebenarnya dijadikannya masjid sebagai media tranformasi baik yang sifatnya dirosi ataupun sebagai konsolidasi social berkontribusi pada peradaban islam. Melalui media ini tampak keakraban antara nabi dana para sahabat, dan begitu juga terjadi pada relasi antara sobat dengan sobat yang lain baik muhajirin dan anshar.
Kedua, mempersatukan sobat ansor dan muhajirin. Untuk membangun suatu masyarakat yang dicita-citakan, maka sebelum mempersatukan komponen masyarakat yang lebih luas dan majmuk, langkah pertama yang dilakukan yaitu mempersatukan antara sobat ansor dan sobat muhajirin. Dari komunitas keagamaan inilah kemudian lahir sebuah negara islam yang lebih besar. Masyarakat gres yang terdiri atas masyarakat anshar dan muhajirin dibangun atas dasar agama, bukan relasi darah.
Ketiga, kerjasama antar komponen penduduk madinah, baik muslim dan nonmuslim. Langka ini dilakukan mengingat penduduk madinah yang majemuk, tentu, dengan tujuan untuk menjalin harmoni antar golongan muslim dan nonmuslim sehingga tercipta suatu relasi kerjasama yang baik antara mereka. Keempat, meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, dan social untuk masyarakat baru.[8]
Dari beberapa langkah yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Secara implisit menegaskan sebenarnya islam semenjak awal telah menawarkan bantuan besar terhadap eksistensi masyarakat arab khususnya masyarakat Madinah dan dan umumnya pada konstruksi konsep negara medern.
2. SAHIFAH; BANGSA DAN NEGARA ISLAM
Piagam Madinah merupakan basis kajian untuk mendapatkan wawasan perihal social dan politik, sebab hampir semua pengkaji sejarah Islam mengakui “bahwa” Piagama Madinah” merupakan instrumen aturan ,politik yang membuat komunitas Islam dan non Islam. Saat itu menuai kebebasan dan kemerdekaan di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Bahkan oleh sebagian pakar ilmu politik piagam ini dianggap sebagai konstitusi atau undang-undang dasar pertama bagi “Negara Islam” yang didirikan Nabi Saw di Madinah.
Dalam sejarah kebudayaan islam, adanya “Piagam Madinah”, mempunyai bantuan besar atau bahkan merupakan prasyarat pada terwujudnya sejarah perubahan masyarakat Arab. Sebab dengan instrument itulah Nabi kemudian membangun masyarakat gres yang berbeda dari masyarakat manapun pada waktu itu.
Masyarakat yang dibangun oleh Nabi tersebut diikat oleh tali kepentingan dan harapan bersama. Setiap warga negara dituntut untuk menaati kontrak sosial (perjanjian) yang dibentuk bersama. Masyarakat ini lahir berdasarkan kontrak sosial yang dibentuk dan disetujui bersama oleh seluruh penduduk Yasrib (Madinah) dan sekitarnya yang terekam dalam sebuah piagam yang dikenal dengan nama Piagam Madinah.
Masyarakat yang mendukung piagam ini terang menunjukkan abjad masyarakat majemuk, baik ditinjau dari segi etnis, budaya, dan agama. Di dalamnya terdapat etnis Arab, Muslim, Yahudi, dan Arab nonMuslim.[9] Keberadaan Piagam Madinah juga sangat terkait dengan perjalanan politik Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah yang sangat plural. Piagam ini dibentuk sebagai salah satu siasat Nabi untuk membina kesatuan hidup banyak sekali golongan warga Madinah.[10] Oleh sebab itu, dalam piagam ini dirumuskan kebebasan beragama, relasi antarkelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup dan sebagainya.
Munawir Sjadzali, menunjukan bahwa ada dua poin penting yang merupakan inti Piagam Madinah, yaitu antara lain sebagai berikut: pertama, Semua pemeluk agama Islam merupakan satu komunitas (umat) meskipun berasal dari banyak suku. Kedua, relasi Islam dengan komunitas lain didasarkan pada prinsip untuk bertetangga, baik saling membantu dalam menghadapi musuh membela mereka yang teraniaya, saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama.[11] Watak masyarakat yang dibina oleh Nabi yaitu berpegang kepada prinsip kemerdekaan beropini dan menyerahkan urusan kemasyarakatan kepada umat sendiri.[12]
Sedangkan Piagam Madinah berdasarkan Ali. K. secara garis besar mengandung pokok ketentuan antara lain:
a. Seluruh masyarakat yang turut menandatangi bersatu membentuk satu kesatuan kebangsaan.
b. Jika salah satu kelompok yang turut menandatangani piagam ini diserang oleh musuh, maka kelompok yang lain harus membelanya dengan menggalan kekuatan gabungan.
c. Tidak suatu kelompokpun diperkenankan mengadakan komplotan dengan kafir Quraisy atau menawarkan dukungan kepada mereka atau membantu mereka mengadakan perlawanan terhadap masyarakat madinah.
d. Orang islam, yahudi dan seluruh warga madinah yang lain bebas memeluk agama dan keyakinan masing-masing dan mereka dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Tidak seorangpun yang diperkenankan mencampuri urusan agama lain.
e. Urusan langsung atu perorangan, atau perkara-perkara kecil kelompok nonmuslim tidak harus melibatkan pihak-pihak yang lain secara keseluruhan
f. Setiap entuk penindasan dilaran.
g. Mulai hari ini segala bentuk pertumbuhan darah, pembunuhan, dan pengeniayaan diharamkan di seluruh negri muslimin.
h. Muhammad, rasulullah, menjadi kepala republic madinah dan memegang kekuasaan peradilan yang tinggi.[13]
Penjelasan di atas menawarkan sebuah citra bawasanya masyarakat yang di impikan rasulullah yang kemudian dituangkan dalam Piagam Madinah yaitu bertumpu pada beberapa asas yang sangat fundamental:
Pertama, Asas kebebasan beragama. Negara mengakui dan melindungi setiap kelompok untuk beribadah berdasarkan agamanya masing-masing. Kedua, asas persamaan. Semua orang memiliki kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling membantu dan dihentikan seorangpun diperlakukan secara buruk.
Ketiga, Asas kebersamaan. Setiap dan semua anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap negra. Keempat, Asas keadilan ataupun asas perdamaian yang berkeadilan. Kelima, Asas musyawarah. Maka dengan demikian, peraturan yang dibentuk oleh nabi yang telah didasarkan pada beberapa asas tersebut senantiasa menerima sambutan dari seluruh lapisan masyarakat madinah kaculai bagi kalangan kaum munafik, sehingga islam dalam waktu yang tidal usang bisa menjadi kekuatan besar dijazirah arab.
3. Polarisasi Islam Di Madinah
Usaha-usaha awal yang telah dilakukan Nabi Muhammad di madinah menyerupai dikemukakan di atas, khususnya perjuangan penataan masyarakat dan pembentukan konstitusi piagam madinah, ternyata melahirkan polarisasi dan dinamika social yang luar biasa baik yang positif atau negatif. sisi positifnya dalam artian, suatu keadaan yang harmunis dan beradab, sehingga memungknkan misi nabi berjalan dengan baik. Namun pada sisi lain ada aspek negatif yang diawali dengan pelanggaran-pelanggaran oleh orang yahudi terhadap kesepakatan yang telah dibentuk bersama. Sehingga mengakibatkan peperangan-peperangan antara orang mulim dengan orang musyrik dan orang kafir.[14]
KESIMPULAN
Pada masa rasulullah, islam tampil menjadi kekuatan gres ditengah-tengah kekuatan kabilah-kabilah dan suku-suku yang mengakar berpengaruh di kalangan masyarakat arab. Dalam diskursus sejarah perdaban islam, kajian islam pada masa nabi Muhammad sanggup dipetakan menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah.
Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah awalmulanya mentranformasikan nilai-nilai dan anutan islam di Makkah. Yang paling penting dalam masa ini yaitu anutan perihal tauhid, yaitu mengesakan yang kuasa dari makhluk selain dzatnya. Sedangkan rujukan dakwah yang dipakai oleh rasulullaha ada dua cara: pertama, dengan cara sembunyi-sembunyi bissirri. Cara ini dilakkan oleh nabi pada awal kerasulannya selama tiga tahun. Kedua, dakwah dengan terang-terangan biljahri. Cara ini dilkukan oleh nabi Muhammad mulai masa keempat kerasulannya hingga masa ketujuh.
Islam pada periode Makkah tidak banyak berkembang, sebab tekanan dari orang-orang musyrik Quraisy. Mereka melaksanakan banyak sekali cara untuk mengahalangi nabi mengembangkan islam, diantaranya yaitu menyakiti orang-orang yang memeluk islam, lebih-lebih pada golongan mustad’afin dan hamba sahaya.
Setelah nabi hijrah ke madinah, islam memiliki sejarah baru. Dalam waktu yang relative singkat islam bisa menjadi kekuatan domenan di wilayah tersebut. Islam bisa menjadi landasan moral, social dan politik. Bahkan nabi dengan tuntunan wahyu, membuat suatu keputusan-keputusan yang dikenal dengan “Piagam Madinah”.
Dengan demikian, sanggup dipahami sebenarnya islam di madinah berbeda dengan di makkah. Di makkah islam diperkenalkan oleh Nabi Muhammad lebih pada aspek tauhid dan moralitas. Berbeda dengan itu, di Madinah islam menjadi regulasi social. Islam menjadi aturan yang mengatur relasi antara masyarakat sekitarnya. Hal tersebut, tertuang dalam 47 pasal yang ada di Piagam Madinah.
Daftar Pustaka
K. Ali, Study of Islamic History, terj. Cet. Ke-2, Jakarta: Grafindo Persada, 1997.
M. Yh. Houtsma (ed), Encyclopaedia Islam, Vol. 7, at al. Jakarta: Karim, 2000.
Mahayudin, Hj Yahaya & Ahmad Jelani Halwi, Sejarah Islam, Slangor: Fajar Bakti Sdn, 1995.
Munawwir, Sjadzali, , Islam dan tata negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran, Edisi V, Jakarta: UI Press,1993.
Nurhakim, Moh., Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM Pres, 2004), 28.
Syalabi, Ahmad, sejarah dan kebudayan islam, jilid I, terj., cet. Ke-9 ,Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997.
Sukarja, Ahmad, piagam madinah dan undangundang dasar 1945: Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk, Cetakan 1. Jakarta: UI Press, 1995.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Jeram-jeram peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Yatim, Badri, Sejarah Perdaban Islam, Yogyakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.