Model Pembelajaran Kontekstual
PENDAHULUAN
Manusia dalam memperoleh pengetahuan diantaranya ialah melalui panca indra. Dengan begitu insan akan lebih gampang mempelajari sesuatu yang sifatnya kongkrit. Walaupun insan bisa untuk berguru sesuatu yang bersifat abstrak, namun sekali lagi bahwa ia akan lebih gampang dalam mempelajari sesuatu yang sanggup ia amati secara eksklusif dalam kehidupannya. CTL didesain dengan melibatkan siswa mengalami dan menerapkan apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata yang bekerjasama dengan kiprah dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, masyarakat, warga negara dan tenaga kerja.
CTL lebih menekankan pada pembelajaran dengan model siswa mengkonstruk sendiri pengetahuannya tanpa dominasi transfer ilmu dari guru. Dengan begitu siswa diperlukan akan menjadi terampil dalam memecahkan sendiri segala duduk masalah dalam kehidupnya kelak.
Terdapat tujuh komponen dalam pembelajaran kontekstual/ CTL, yaitu a) konstruktivisme, b) inquiry, c) questioning, d) learning community, e) Modeling, f) reflection, dan g) authentic assesment. Masing-masing komponen tersebut akan dibahas lebih terang dalam makalah ini.
Makalah ini secara khusus akan membahas pengertian model pembelajaran kontekstual, dasar pemikirannya, komponen-komponennya, prinsip dasar pembelajaran kontekstual, karakteristik pembelajaran kontekstual, dan penerapan pembelajaran kontekstual. Dalam hal ini, penerapannya dicontohkan dalam materi Fiqih.
Dalam pembahasan ini diharapkan, makalah ini menunjukkan bantuan yang berarti bagi dunia pendidikan pada umumnya. lebih khusus lagi bagi penulis pribadi yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dengan kiprah sebagai guru.
pembahasan
A. Pengertian model pembelajaran kontekstual
Model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching And Learning / CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru dalam proses pembelajaran dengan mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan motivasi siswa yang membuat korelasi antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, masyarakat, warga Negara dan tenaga kerja. Menurut Elaine B. Johnson (Riwayat,2008), CTL juga merupakan sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna dengan menghubungakan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa.
Belajar sanggup terjadi dengan proses mengalami. Siswa sanggup berguru dengan baik jikalau dihadapkan dengan masalah aktual, sehingga sanggup menemukan kebutuhan real dan minatnya.[1] CTL didesain dengan melibatkan siswa mengalami dan menerapkan apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata yang bekerjasama dengan kiprah dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, masyarakat, warga negara dan tenaga kerja. Hal ini memungkinkan siswa mengaitkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan ketrampilan akademik mereka dalam memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang stimulisasi.
Jadi sanggup diambil kesimpulan bahwa pembelajaran kontekstual (CTL) ialah pembelajaran yang mempunyai korelasi yang akrab dengan pengalaman yang sesungguhnya. Dan ini merupakan suatu proses kompleks dan banyak fase yang berlangsung jauh melampaui drill-oriented dan metodologi stimulus-response.
B. Dasar pemikiran pembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstual/ CTL ialah sebuah sistem berguru yang didasarkan pada filosofis paham konstruktivisme yang mana siswa ditekankan bisa menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jikalau mereka bisa mengaitkan isu gres dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya. (Eliane B. Johnson, 2007 : 4)[2]
Selain itu pembelajaran kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran wacana belajar, yakni sebagai berikut:[3]
1. Proses belajar
a) Anak berguru dari pengalaman. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru yang diperolehnya, dan bukan begitu saja diberi oleh guru yang mengajarkannya.
b) Pengetahuan yang dimiliki sesorang adalah terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam wacana sesuatu persoalan. Hal ini merupakan pemikiran yang telah disepakati oleh para ahli.
c) Pengetahuan bukan merupakan fakta-fakta atau proposisi yang dapat dipisah-pisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang sanggup diterapkan.
d) Manusia dalam menyikapi situasi gres mempunyai tingkatan yang berbeda.
e) Perlunya adaptasi pada siswa untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang mempunyai kegunaan bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
f) Proses berguru sanggup mengubah struktur otak. Perubahan itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan sesorang.
2. Transfer belajar
a) Siswa berguru dari apa yang mereka alami sendiri, bukan dari tunjangan orang lain.
b) Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit)
c) Penting bagi siswa tahu tujuan mereka belajar dan bagaimana ia memakai pengetahuan dan keterampilan itu.
3. Siswa sebagai pembelajar
a) Manusia mempunyai kecenderungan untuk berguru dalam bidang tertentu. Dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk berguru dengan cepat dengan hal-hal baru.
b) Strategi berguru itu penting. Anak dengan gampang mempelajari sesuatu yang baru. Namun pada hal-hal yang sulit, akan menjadi gampang jikalau memakai strategi belajar.
c) Peran orang sampaumur (guru) membantu menghubungkan antara yang gres dan yang sudah diketahui.
d) Tugas guru memfasilitasi supaya isu gres bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan inspirasi mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan taktik mereka sendiri.
4. Pentingnya lingkungan belajar
a) Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan berguru yang berpusat pada siswa.
b) Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton. Saat siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan.
c) Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa memakai pengetahuan gres mereka.
d) Pentingnya strategi berguru jika dibandingkan dengan hasilnya.
e) Pentingnya umpan balik bagi siswa, yang berasal dari proses evaluasi yang benar.
f) Pentingnya menumbuhkan komunitas berguru dalam bentuk kerja kelompok.
C. Komponen pembelajaran kontekstual
Penerapan pembelajaran kontekstual ini mempunyai 7 (tujuh) komponen utama pembelajaran efektif[4]. Ketujuh komponen ini ialah sebagai berikut:
1. Konstruktivisme
Konstruktivisme ialah mengembangkan pemikiran siswa akan berguru lebih bermakna dengan cara berguru sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Siswa membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman gres berdasar pada pengetahuan awal. Dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan mendapatkan pengetahuan.
Terdapat 5 (lima) elemen berguru yang konstruktivistik, yaitu (1) pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge), (2) pemerolehan pengetahuan gres (acquiring knowledge), (3) pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), (4) mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge), dan (5) melaksanakan refleksi terhadap taktik pengembangan pengetahuan tersebut (reflecting knowledge).[5]
2. Inquiry
Inquiry (menemukan), yaitu melaksanakan sejauh mungkin acara inquiry untuk semua topik. Siswa diminta untuk menangani sendiri permasalahan yang mereka hadapi dikala berhadapan dengan dunia nyata.[6] Dalam pembelajaran ini terdapat proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman serta siswa berguru memakai keterampilan berpikir kritis.
3. Questioning (Bertanya)
Bertanya, yaitu mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan cara bertanya. Melalui cara ini, siswa akan bisa menjadi pemikir yang handal dan mandiri. Siswa dirangsang untuk mengembangkan idenya dan pengujian gres yang inovatif, mengembangkan metode dan teknik untuk bertanya, bertukar pendapat dan berinteraksi.[7]Dengan acara bertanya ini , guru mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.
4. Learning Community (Masyarakat Belajar)
Masyarakat berguru yaitu membuat masyarakat berguru dalam suatu kelompok. Siswa hidup dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolahnya, sehingga ini sanggup dimanfaatkan sebagai sumber daya untuk mengembangkan pembahaman pembelajaran kontekstual. Misalnya dalam pembelajaran kontekstual siswa diajak ke sawah untuk melihat eksklusif bagai mana proses penanaman padi hingga panen dan menjadi beras.[8] Dalam pembentukan masyarakat belajar terdapat konsep bahwa bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada berguru sendiri, tukar pengalaman, dan mengembangkan ide.
5. Modeling (Pemodelan)
Pemodelan ialah menghadirkan model sebagai referensi pembelajaran. Siswa menjadi gampang dalam berguru dan memahami jikalau guru menyajikan baginya sebuah model bukan hanya berbentuk lisan. Siswa akan bisa mengamati dan mencontoh apa yang ditunjukkan oleh guru.[9]
6. Reflection (Refleksi)
Refleksi, yaitu melaksanakan refleksi final pertemuan pembelajaran. Refleksi ini merupakan ringkasan dari materi pembelajaran yang telah disampaikan guru. Siswa mengungkapkan secara goresan pena maupun verbal apa yang telah mereka pelajari[10]. Dalam menyimpulkan siswa sanggup melakukannya dalam bentuk catatan apa yang telah dipelajari atau membuat jurnal, karya seni, dan /atau diskusi kelompok
7. Authentic Assesment (Penilaian yang sebenarnya)
Penilaian sebenarnya, yaitu melaksanakan evaluasi yang bergotong-royong dengan banyak sekali cara. [11]Tujuannya ialah mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa melalui penilaian produk (kinerja) atau tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.
D. Prinsip dasar pembelajaran kontekstual
Prinsip dasar pembelajaran kontekstual ialah siswa sanggup mengembangkan cara belajarnya sendiri dan selalu mengaitkan dengan apa yang telah diketahui dan apa yang ada di masyarakat, yaitu aplikasi dan konsep yang dipelajari. Adapun prinsip dasar pembelajaran kontekstual secara terperinci ialah sebagai berikut:
1. menekankan pada pemecahan masalah;
2. mengenal acara mengajar terjadi pada banyak sekali konteks ibarat rumah, masyarakat dan daerah kerja;
3. mengajar siswa untuk memantau dan mengarahkan belajarnya sehingga menjadi pembelajar yang aktif dan terkendali;
4. menekankan pembelajaran dalam konteks kehidupan siswa;
5. mendorong siswa berguru dari satu dengan lainnya dan berguru bersama-sama;
6. menggunakan evaluasi otentik;
Pembelajaran kontekstual ini membantu siswa sanggup menguasai tiga hal, yaitu :
1. pengetahuan, yaitu apa yang ada di pikirannya membentuk konsep, definisi, teori dan fakta;
2. kompetensi atau keterampilan, yaitu kemampuan yang dimiliki untuk bertindak atau sesuatu yang sanggup dilakukan;
3. pemahaman kontekstual, yaitu mengetahui waktu dan cara bagaimana memakai pengetahuan dan keahlian dalam situasi kehidupan nyata.
E. Karakteristik pembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstual mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a) Kerjasama
b) Saling menunjang
c) Menyenangkan
d) Tidak membosankan
e) Belajar dengan bernafsu
f) Pembelajaran terintegrasi
g) Menggunakan banyak sekali sumber
h) Siswa aktif
i) Sharing dengan sahabat
j) Siswa kritis, guru kreatif
k) Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dll
l) Laporan kepada orang bau tanah bukan hanya raport, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dll.
F. Penerapan pembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstual sanggup diterapkan pada materi pelajaran yang sesuai dengan karakteristiknya. Penerapan pembelajaran kontekstual ini lebih cocok untuk materi-materi pelajaran yang gampang ditemui/ diamati dalam kehidupan dunia nyata.
Pembelajaran kontekstual sanggup juga diterapkan dalam materi Pendidikan Agama Islam (PAI). Misalkan saja pembelajaran wacana materi Fikih dalam serpihan muamalah, maka guru sanggup mengajak siswanya untuk pegi ke pasar dan mengamati bagaimana trasnsaksi jual beli itu berlangsung. Dengan modal pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, siswa akan mengkonstruksi pengetahuan barunya. Dengan begitu siswa akan lebih memahami bagaimana penerapan muamalah yang benar sesuai dengan materi yang ia terima dari gurunya. Pada sesi final pembelajaran, guru bersama para siswa melaksanakan kesimpulan dari hasil pembelajaran tersebut.
KESIMPULAN
Model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching And Learning / CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru dalam proses pembelajaran dengan mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan motivasi siswa yang membuat korelasi antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, masyarakat, warga Negara dan tenaga kerja. Pembelajaran kontekstual/ CTL didasarkan pada filosofis paham konstruktivisme yang menekankan siswa bisa menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jikalau mereka bisa mengaitkan isu gres dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya.
Pembelajaran kontekstual ini mempunyai 7 (tujuh) komponen utama yaitu, a) konstruktivisme, b) inquiry, c) questioning, d) learning community, e) Modeling, f) reflection, dan g) authentic assesment.
Prinsip dasar pembelajaran kontekstual ialah : 1) pementingan pada pemecahan masalah; 2) pengenalan pembelajaran banyak sekali konteks; 3) pemantauan dan pengarahan berguru aktif dan terkendali; 4) pementingan pembelajaran dalam konteks kehidupan siswa; 5) mendorong siswa berguru bersama; 6) evaluasi otentik. Pembelajaran kontekstual sanggup membantu siswa menguasai tiga hal, yaitu : pengetahuan, kompetensi/ keterampilan, dan pemahaman kontekstual.
Pembelajaran kontekstual mempunyai karakteristik sebagai berikut : a) kerjasama, b), saling menunjang, c) menyenangkan, d) tidak membosankan, e) berguru dengan bergairah, f) pembelajaran terintegrasi, g) memakai banyak sekali sumber, h) siswa aktif, i) sharing dengan teman, j) siswa kritis, guru kreatif, k) dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, l) laporan kepada orang bau tanah bukan hanya raport, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dll.
Penerapan pembelajaran kontekstual ini lebih cocok untuk materi-materi pelajaran yang gampang ditemui/ diamati dalam kehidupan dunia nyata. Pembelajaran kontekstual dalam materi Pendidikan Agama Islam (PAI), misalkan saja pembelajaran wacana materi Fikih dalam serpihan mua>malah, maka guru sanggup mengajak siswanya pegi ke pasar dan mengamati bagaimana trasnsaksi jual beli itu berlangsung. Dengan begitu siswa akan lebih memahami bagaimana penerapan muamalah yang benar sesuai dengan materi yang ia terima dari gurunya. Pada sesi final pembelajaran, guru bersama para siswa melaksanakan kesimpulan dari hasil pembelajaran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Sumiati & Asra..Metode Pembelajaran. Bandung : CV. Wacana Prima, 2008.