Tafsir Al-Kasyaf
A. NAMA PENULIS
Nama lengkap dia yaitu Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Dipanggil al-Zamakhsyari lantaran dinisbahkan pada kawasan kelahirannya Ia lahir pada hari Rabu tanggal 27 Rajab 467 H, bertepatan dengan tahun 1074 M di Zamakhsyar, suatu desa di Khawarizmi, terletak di wilayah Turkistan, Rusia.
B. NAMA KITAB
Nama lengkap kitab tafsir ini yaitu Al-Kasyasyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh At-Ta’wil disusun oleh Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H hingga dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah.
C. PENERBIT
Kitab ini diterbitkan oleh banyak sekali penerbit, adapun kitab yang dikaji oleh penulis merupakan kitab terbitan Maktabah Mishri, Kairo, Mesir.
D. JUMLAH JUZ DAN HALAMAN
Kitab ini terdiri dari 4 jilid atau juz dengan rincian sebagai berikut :
Jilid satu dimulai dari Surat al-Fatihah hingga Surat an-Nisa’ terdiri dari 517 halaman.
Jilid dua dimulai dari Surat al-Ma’idah hingga Surat an-Nahl terdiri dari 611 halaman.
Jilid tiga dimulai dari Surat al-Kahfi hingga Surat ash-Shaffat terdiri dari 702 halaman.
Jilid empat dimulai dari Surat Shad hingga Surat an-Nas terdiri dari 662 halaman.
E. RIWAYAT HIDUP
Sejak usia remaja, al-Zamaksyari sudah pergi merantau, yaitu menuntut ilmu pengetahuan ke Bukhara yangmana pada ketika itu menjadi sentra acara keilmuan dan terkenal dengan para sastrawan. Baru beberapa tahun belajar, ia merasa terpanggil untuk pulang sehubungan dengan dipenjarakannya ayahnya oleh pihak penguasa dan kemudian wafat. Al-Zamaksyari masih beruntung, bisa berjumpa dengan ulam terkenal di Khawarizm, yaitu Abu Mudar al-Nahwi (w. 508 H). Berkat bimbingan dan sumbangan yang diberikan Abu Mudar, ia berhasil menjadi murid yang terbaik, menguasai bahasa dan sastra Arab, logika, filsafat dan ilmu kalam.
Al-Zamakasyari dikenal sebagai yang berambisi memeperoleh kebutuhan di pemerintahan. Setelah merasa tidak berkhasil dan kecewa melihat orang-orang yang dari segi ilmu dan akhlaq lebih rendah dari dirinya diberi jabatan-jabatan yang tinggi oleh penguasa, sementara ia sendiri tidak mendapatkannya walaupun telah dipromosikan oleh guru yang sangat dihormatinya, yaitu Abu Mudar. Keadaan itu memakasanya untuk pindah ke Khurasan dan memperoleh sambutan baik serta kebanggaan dari kalangan pejabat pemerintahan Abu al-Fath ibn al-Husain al-Ardastani dan kemudian menjadi sekertaris (katib), tetapi lantaran tidak puas dengan jabatan tersebut, ia pergi ke sentra pemerintahan daulah Bani Saljuk yakni kota Isfahan.
Ada dua kemungkinan mengapa al-Zamaksyari selalu gagal dalam mewujudkan keinginannya duduk di pemerintahan. Pertama, karena ia bukan saja dari mahir bahasa dan sastra arab saja akan tetapi juga seorang Mu’tazilah yang sangat demonstratif dalam menyebar luaskan fahamnya dan ini akan memabawa damapak kurang disenangi oleh beberapa kalangan yang tidak bekerjasama pada Mu’tazilah. Kedua, karena kurang didukung jasmaninya, yaitu mempunyai cacat fisik, kehilangan satu kakinya.
Al-Zamaksyari melanjutkan perjalannnya ke Baghdad. Di sini ia mengikuti pengajian hadis oleh Abu al-Khattab al-Batr Abi saidah al-Syafani, Abi Mansur al-Harisi dan mengikuti pengajian fiqih oleh mahir fiqih Hanafi, al-damagani al-Syarif Ibn al-Syajary.
F. KITAB-KITAB KARANGAN BELIAU
Al-Zamaksyari mempunyai banyak karya dalam bidang hadis, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain sebagainya. Diantara karangannya yaitu:
1. Bidang tafsir : Al-kasysyaf ‘an Haq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujub Al-Ta’wil.
2. Bidang Hadits : Al-Fa’iq fi garib Al-Hadits.
3. Bidang Fiqh : Ar-Ra’id fi Al-Faraid.
4. Bidang Ilmu Bumi : Al-Jibal wa Al-Amkinah.
5. Bidang Akhlaq : Mutasyabih Asma’ Al-Ruwat, Al-Kalim Al-Nabawing fil Al-Mawa’iz Al-Nasa’ib Al-Kibar Al-Nas’ib Al-Sigar, Maqamat Fil Al-Mawa’iz, kitab fi Manaqib Al-Imam Abi Hanifah.
6. Bidang Sastra : Diwan Rasa’il, Diwan Al-Tamasil, Taliyat Al-Darir.
7. Bidang Ilmu Nahwu : Al-Namuzaj fi Al-Nahwu, Syarh Al-Katib Sibawaih, Syarh Al-Mufassal fi Al-nahw.
8. Bidang Bahasa : Asas Al-balaghah, Jawahir Al-Lughah, Al-Ajnas, Muqadimah Al-Adab fi Al-Lughah.
G. ANALISIS
Pengarangnya memperlihatkan dua sifat dan dia sebutkan kedua sifat itu tanpa ragu. Sifat pertama yaitu tafsir yang beraliran mazhab mu’tazilah. Bahkan, pengarangnya sendiri hingga mengatakan: “Apabila kau ingin minta izin dengan pengarang al-Kasysyaf ini maka sebutlah namanya dengan Abul Qosim al-Mu’tazili”.
Dari kalimat pertama dalam tafsir ini sudah memperlihatkan adanya indikasi wacana Mu’tazilah. Dari pertama hingga akhir. Imam Zamakhsyari selalu berpegang dengan mazhab Mu’tazilah dalam penfsirannya. Padahal al-Quran bukanlah sebuah kitab mazhab. Apabila al-Quran ditafsirkan dengan landasan sebuah anutan maka nilai kemurniannya sudah hilang. Maka dari itulah al-Kasysyaf menerima banyak kritikan dari para ulama Ahlusunnah.
Sifat kedua yang dimiliki tafsir ini yaitu keutamaan dalam nilai bahasa ‘Arab, baik dari segi I’zaj al-Quran, Balaghah, dan Fashahah, sebagai bukti jelasnya Al-Quran diturunkan dari sisi Allah SWT. Bukan buatan insan dan mereka tidak akan bisa menggandakan seumpamanya sekalipun mereka saling tolong-menolong dalam melakukannya. Dalam hal ini, Imam Zamakhsyari sangat mempersiapkannya dengan matang sebelum dia mengarangnya.
Ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam kitab al-Kasyaf, antara lain: Dalam setiap tafsir ayat al-Quran tidak ada efek batin yang didapatkan oleh pengarang. Dalil-dalil ayat tersebut tidak bisa memalingkannya kepada kebenaran, bahkan Zamakhsyari memalingkan makna tidak sesuai dengan zahirnya. Ini merupakan mengada-ada kalam Allah SWT. Lebih baik seandainya sedikit saja, tetapi pada kenyataannya dia membahasnya secara panjang lebar supaya tidak dikatakan lemah dan kurang. Dalam hal ini, sanggup kita lihat bahwa penafsiran dalam kitab itu bercampur dengan efek anutan mu’tazilah. Ini yaitu efek cacat yang sangat besar.
H. MADZHAB PENAFSIR DAN PENAFSIRANNYA
Zamakhsyari bermazhab Hanafi dan beraqidah paham Mu’tazilah. Ia menakwilkan ayat-ayat al-qur’an sesuai dengan mazhab dan aqidah yang dianutnya dengan cara yang hanya di ketahui oleh orang yang ahli, dan menamakan kaum mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil”.
Tafsir al-Kasysyaf yaitu salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya memakai pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer.
Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu. Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya.
Az-Zamakhsyari melaksanakan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah hingga dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini sanggup dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan memakai metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari bantu-membantu tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi lantaran penafsirannya melaksanakan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap memakai metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang sanggup dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga memakai metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu memakai kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu dipakai seolah-olah ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan balasan atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini dipakai lantaran lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang ketika itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan.
I. CONTOH PENAFSIRAN
1. Al-Baqarah ayat 115 :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Menurut al-zamaksyari maksudnya yaitu Timur dan barat, dan seluruh penjuru bumi, semuanya milik Allah. Dia yang mempunyai dan menguasai seluruh alam. فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ maksudnya ke arah manapun insan mengahadap Allah, hendaknya mengahadap kibalat sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surat al-Baqarah ayat 144, yang berbunyi :
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ اْلمَسْجِدِ الِحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَة ....
Artinya: Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kau berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya.
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ اْلمَسْجِدِ الِحَرَامِ menurut al-Zamaksyari maksudnya di kawasan (Masjid al-Haram) itu yaitu Allah, yaitu kawasan yang disenangi-Nya dan insan diperintahkan untuk mengahadap Allah pada kawasan tersebut. Maksud ayat di atas yaitu apabila seorang Muslim akan melaksanakan sholat dengan menghadap Masji al-Haram dan bait al-Maqdis, akan tetapi ia ragu akan arah yang sempurna untuk mengahadap ke arah tersebut. Allah memperlihatkan akomodasi kepadanya untuk menghadap kiblat ke arah amanapun dalam shalat dan di kawasan manapun sehingga ia tidak terikat oleh lokasi tertentu.
2. Al-Baqarah ayat 23
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya: Dan kalau kau (tetap) dalam keraguan wacana Al Alquran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, kalau kau orang-orang yang benar.
Menurut al-Zamaksyari kembalinya dhamir (kata ganti) hi pada kata mislihi, yaitu pada kata ma nazzalna atau pada kata abdina, tatapi yang lebih berpengaruh dhamir itu kembali pada kata manazzalna, sesuai dengan maksud ayat tersebut, lantaran yang dibicarakan dalam ayat tersebut yaitu al-Quran, bukan nabi Muhammad SAW.
3. Al-Qiyamah ayat 22-23
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (٢٢) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (٢۳)
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (22). Kepada Tuhannyalah mereka melihat (23).
Al-Zamakhsyari mengesampingkan makna lahir kata nazirah (melihat), lantaran berdasarkan mu’tzilah Allah SWT tidak sanggup dilihat. Oleh lantaran itu, kata nazirah diartikan dengan al-raja’(menunggu, mengaharapkan).
Al-Zamaksyari juga memeperlihatkan keberpihakannya pada Mu’tazilah dan membelanya secara gigih, dengan menarik ayat mutasyabihat pada muhakkamat. Oleh lantaran itu, ketika ia menemukan suatu ayat yang pada lahirnya (tampaknya) bertentangan dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah, ia akan mencari jalan keluar dengan cara mengumpulkan beberapa ayat, kemudian mengklasifikasikannya pada ayat muhakkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan dalam ayat muhkamat, sedangkan ayat-ayat yang tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan ke dalam ayat mutasyabihat, kemudian ditakwilkan supaya sesuai dengan rinsip-prinsip Mu’tazilah. Misalnya ketika ia menafsirkan ayat al-Quran surat al-An’am ayat 103:
لاَ تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Artinya: Dia tidak sanggup dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia sanggup melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
Demikian pula surat al-Qiyamah ayat 22-23:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (٢٢) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (٢۳)
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (22). Kepada Tuhannyalah mereka melihat (23).
Ayat 103 surat al-An’am dikelompokkan dalam ayat muhkamat, karena maknanya sesuai dengan paham Mu’tazilah, sedang ayat 22-23 surat al-Qiyamah dikelompokkan dalam ayat mutasyabihat, karena makna ayat tersebut tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah. Begitu juga kata nazirah dicarikan maknanya yang sesuia dengan paham Mu’tazilah, yaitu al-raja’ (menunggu, mengharapkan).
4. KOMENTAR PRIBADI
Bagaimanapun beragamnya pandangan para ulama wacana tafsir ini, kita harus tetap mengapresiasi karya besar Zamakhsyari ini sebagai karya agung yang memperlihatkan donasi luar biasa dalam dunia penafsiran al-Quran, terbukti bahwa karyanya ini banyak dikaji oleh sarjana-sarjana Islam bahkan para ulama’ pun banyak yang memperlihatkan komentar terhadap karya Zamakhsyari semisal Musthafa al-Juwaini dan Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur.