Sejarah Perkembangan Hadith Pada Kala Nabi Muhammad Dan Sahabat
PENDAHULUAN
Sebelum mempelajari lebih dalam wacana hadis, akan lebih baik kalau kita mengenal sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, sejarah ilmu-ilmunya serta hal yang terkait pokok dasar. Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini dibutuhkan sanggup menambah pengetahuan kita mengenai proses pertumbuhan dan perkembangannya dari masa ke masa, termasuk perjuangan pelatihan dan pemeliharaan hadis pada tiap-tiap periodenya hingga terwujud kodifikasi hadis secara sempurna.
Pada periode modern ini, memperdalam wacana sejarah perkembangan hadis menjadi sangatlah penting. Perkembangan budi insan yang makin kritis mengundang kalangan orientalis untuk memecah umat islam dengan serangkaian pendapat atas pemahaman yang keliru. Goldziher misalnya, dia mengemukakan pendapat-pendapat yang miring wacana islam dan mewaspadai orisinalitas sebagian besar hadis. Salah satu alasannya ialah jauhnya rentang waktu antara wafat Rasulullah Saw Muhammad dengan masa pengumpulan dan pembukuan hadis. Oleh lantaran itu mengkaji sejarah ini berarti melaksanakan upaya mengungkap fakta-fakta yang sebetulnya sehingga sulit untuk ditolak kebenaranya.
Terdapat perbedaan di kalangan ulama terkait penyusunan periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadis. Ada yang membagi menjadi tujuh periode, menyerupai masa Rasulullah, masa Khulafa’ Rasyidin, masa sahabat, masa pengumpulan dan pembukuan hadis, masa pentashihan dan penyusunan kaidah-kaidahnya.
Terlepas dari periodisasi yang dikemukakan di atas, dalam makalah ini akan diuraikan secara khusus pada pembahasan masa Rasulullah Saw Muhammad dan masa Sahabat, cara Rasul memberikan hadis kepada para sahabat, latar belakang perbedaan jumlah hadis yang diterima sahabat dan solusi hadis yang ta’arud tentang perintah dan larangan menulis hadis. Penulis menyadari makalah ini jauh akan kesempurnaan, untuk itu penulis mengajak untuk bersama mencar ilmu dan mengembangkan wawasan dan pengetahuan.
PEMBAHASAN
A. HADIS PADA MASA RASULULLAH SAW MUHAMMAD SAW
1. Cara Rasulullah Menyampaikan Hadis
Allah menurunkan al-Qur’an sebagai pedoman dan mengutus Rasul-Nya merupakan hal yang tak sanggup dipisahkan. Segala yang Rasulullah ucapkan, lakukan dan keadaannya serta taqrir beliau merupakan perwujudan dari al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah yang tertuang pada surat an Najm: 3-4:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ اْلهَوَى, اِنْ هُوَ اِلَاوَحْيُ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) berdasarkan kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS an-Najm: 3-4)[1].
Adalah sebuah keistimewaan dimana pada masa ini, para sahabat dan umat islam lainnya sanggup secara pribadi berinteraksi dengan Rasulullah. Mereka sanggup bergaul secara bebas dimana pun. Rasulullah sanggup berinteraksi dengan mereka dimana pun, contohnya di rumah, masjid, pasar, atau pun dalam perjalanan, dan lain sebagainya[2]. Oleh lantaran itu, mereka sanggup secara pribadi memperoleh hadis dari Rasulullah.
Kedudukan Rasulullah yang demikian otomatis menimbulkan semua perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah sebagai refrensi para sahabat, para sahabat secara proaktif berguru dan bertanya wacana segala sesuatu yang mereka tidak mengerti baik urusan dunia maupun urusan akhirat, mereka mentaati bahkan menirunya.
Cara sahabat khulafa al-Rashidin misalnya, mendapatkan hadis berbeda dengan cara yang dialami generasi setelahnya. Pada masa itu, para sahabat mempunyai semangat yang sangat besar untuk menerima hadis secara langsung, melihat perbuatan, mendengar perkataan bahkan taqrir Rasulullah. Oleh lantaran itu, mereka berusaha keras untuk selalu sanggup mengikuti Rasul.
Jika ada diantara sahabat yang berhalangan, mereka meminta sahabat yang lain untuk mengikuti kajian Rasulullah. Sebagai tumpuan atas kegigihan sahabat dalam mendapatkan hadis, yaitu apa yang dilakukan sahabat Umar bin Khattab. Jika ia berhalangan, ia meminta tetangganya untuk menghadiri majlis yang diselenggarakan Rasulullah. Keesokan harinya, giliran Umar yang mengikuti. Siapa pun sahabat yang menemui dan mengikuti Rasulullah serta menerima hadis dari Rasullullah, maka ia segera memberikan ke sahabat yang lain.[3]
Ada beberapa cara Rasulullah memberikan hadis pada para sahabat yaitu:
Pertama, melalui ceramah terbuka yang ia berikan setiap Jum’at, hari raya dan waktu-waktu yang tidak ditentukan, kalau keadaan menghendaki.[4] melalui majlis ini para sahabat banyak memperoleh hadis sehingga mereka selalu berusaha untuk berkonsentrasi guna mengikuti aktivitas dan anutan yang diberikan kepada Rasulullah. Sehingga para sahabat rela untuk bergantian hadir untuk sanggup mendapatkan hadis, bahkan terkadang kepala suku yang jauh dari madinah mengirimkan utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkanya kepada suku mereka sekembalinya dari mendapatkan hadis.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga memberikan hadis melalui sahabat tertentu, yang kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain, hal ini disebabkan lantaran terkadang ketika Rasulullah Saw memberikan hadis para sahabat yang hadir hanya beberapa saja.
Ketiga, Untuk hal-hal yang sensitif, menyerupai yang berkaitan dengan keluarga dan kebutuhan biologis, disampaikan melalui istri-istrinya, begitu pula para sahabat kalau ada hal yang berkaitan dengan hal itu segan bertanya kepada Rasulullah maka para sahabat menanyakan kepada istri-istri Rasul.
Keempat, cara lain yang dilakukan Rasulullah Saw ialah melalui praktek langsung. Sahabat melihat secara pribadi Rasulullah melaksanakan perbuatan terkait dengan ibadah, contohnya sholat dan berwudhu. Sebagai tumpuan kejadian yang terjadi antara Rasulullah Saw dengan malaikat Jibril mengenai iman, islam, ikhsan dan gejala hari kiamat.[5]
2. Latar belakang perbedaan jumlah hadis
Rasulullah hidup di tengah masyarakat dan para sahabatnya. Beliau populer sebagai sosok yang gampang bergaul dan berinteraksi dengan siapa pun. Oleh karenanya, ia sanggup memperlihatkan hadis dimana pun serta kapan pun. Misalnya, di masjid, di rumah, atau pun ketika di perjalanan, dan yang lainnya.
Para sahabat dalam mendapatkan hadis dari Rasulullah selalu berpegang pada kekuatan hafalannya. Hanya sedikit saja sahabat yang mencatat hadis ketika mendengarkan sabda ia atau melihat ia melaksanakan suatu pekerjaan. Pada ketika Rasulullah mengadakan ceramah terbuka misalnya, tidak semua sahabat turut hadir sehingga mereka mendengar dari sahabat lain yang mendengar sendiri dari Rasul.
Meskipun pada kesempatan lain, sahabat yang berhalangan menghadiri majlis atau ceramah terbuka meminta sahabat yang lain untuk menyampaikan, ada kemungkinan tidak semua melaksanakan hal yang sama.
Adanya kecenderungan masing-masing sahabat mempunyai fokus perhatian pada bidang yang berbeda dalam periwayatan hadis menjadi latar belakang perbedaan jumlah hadis yang diterima sahabat.
3. Perintah dan larangan menulis hadis
a. Menghafal Hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan hadis, sebagai sumber anutan Islam, Rasulullah Saw menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Qur’an Rasulullah Saw secara resmi menginstruksikan kepada sahabat disamping menghafal supaya untuk ditulis juga, sedangkan untuk hadis ia menyuruh hanya untuk menghafal saja, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ».
Dari Abu Sa'id al-Khudri ra. Rasulullah saw bersabda: Janganlah kalian menulis dariku, dan barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur'an maka hendaklah dia menghapusnya. Dan bicarakanlah tentangku tanpa masalah, dan barang siapa yang berbohong atas namaku maka dia sudah mendudukkan kursinya di Neraka. (HR. Muslim)
Hadis tersebut selain menganjurkan semoga meriwayatkan hadis secara lisan, juga memberi peringatan bagi seseorang yang menciptakan riwayat palsu. Maka segala hadis yang diterima dari Rasulullah Saw oleh para sahabat diingat secara sungguh-sungguh dan hati-hati, mereka sangat khawatir dengan bahaya Rasulullah Saw untuk tidak terjadi kekeliruan wacana apa yang diterimanya.
Larangan penulisan hadis setiap Rasulullah menyampaikannya ialah untuk menghindari kemungkinan adanya ketercampuran penulisan antara hadis dan wahyu, lantaran sahabat menganggap semua yang disampaikan Rasulullah merupakan wahyu.[6] Selain itu, lantaran orang Arab berpengaruh berpegang teguh pada kekuatan hafalan.[7]
Para sahabat yang pada umumnya mempunyai kelebihan berupa ingatan atau penghafalan yang sangat kuat, sehingga dalam rangka memelihara hadis Rasulullah Saw Muhammad SAW menyuruh untuk menyimpan dalam ingatan atau dalam dada para sahabat.
Beberapa alasan yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat, diantaranya adalah:
1) Kegiatan menghafal merupakan budaya Arab yang telah ada semenjak zaman pra Islam.
2) Mereka populer berpengaruh hafalan kalau dibanding bangsa-bangsa lain.
3) Rasulullah banyak memberi spirit melalui doa-doanya semoga mereka diberikan kekuatan hafalan dan sanggup mencapai derajat yang tinggi.
4) Dan Rasul sering kali menjanjikan kebaikan alam abadi bagi mereka yang menghafalkan hadist dan memberikan kepada orang lain[8].
b. Menulis Hadis
Dibalik larangan Rasulullah Saw wacana penulisan hadis, ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang mempunyai catatan dan melaksanakan penulisan diantaranya ialah Abdullah Ibn ‘Amr al-‘Ash, ia mempunyai catatan hadis yang berdasarkan pengakuannya dibenarkan oleh Rasulullah Saw[9]. Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang-orang Qurash mengeritik perilaku Abdullah ibn ‘Amr lantaran sikapnya yang selalu menulis apa yang tiba dari Rasulullah Saw, kritikan ini disampaikan kepada Rasulullah Saw, dan Rasulullah Saw menjawab dengan menyampaikan :
اكْتُبُوا لأَبِى شَاهٍ[10]
Rasulullah saw pun berkata kepada beberapa orang sahabat: Kalian tuliskan untuk Abu Syah.
Beberapa sahabat juga mengaku kalau dia mempunyai catatan hadis dan dibenarkan Rasulullah Saw.
Nash-nash yang melarang menulis hadis di satu pihak dan memerintahkan di pihak lain, bukanlah hal yang patut dipertentangkan. Akan tetapi, keduanya sanggup dikompromikan sebagai berikut:
1. Larangan penulisan hadis pada masa Rasulullah dikarenakan adanya kekhawatiran bahwa hadis akan bercampur dengan al-Qur’an yang masih berada dalam tahap proses penurunan.[11]
2. Larangan menulis hadis itu bersifat umum, sedangkan izin menuliskannya bersifat khusus bagi orang yang memilili keahlian tulis menulis sehingga terjaga dari kekeliruan. Seperti pada Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.[12]
B. HADIS PADA MASA SAHABAT
Periode kedua sejarah perkembangan hadis, ialah masa sahabat, khususnya pada masa Khulafa’ al-Rasyidin, yang berlangsung sekitar tahun 11 H hingga 40 H, masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar[13].
Setelah Rasulullah Saw Muhammad SAW wafat para sahabat belum memikirkan akan penghimpunan dan pengkodifikasian hadis, lantaran banyak peroblem yang dihadapai para sahabat, diantaranya timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak penghafal al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu Bakar dalam pembukuan al-Qur’an. Demikian juga perkara lain kondisi orang-orang abnormal atau non Arab yang masuk Islam yang tidak faham dalam bahasa Arab secara baik sehingga dikhawatirkan tidak sanggup membedakan al-Qur’an dan Hadis. Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan sunah tetapi digagalkan lantaran kekhawatirkan terjadi fitnah ditangan orang-orang yang tidak sanggup dipercaya[14].
Pada masa ini yakni pada masa sahabat periwayatan hadis belum begitu berkembang dan kelihatanya berusaha untuk membatasinya.
1. Menjaga Pesan Rasulullah Saw
Pada masa menjelang simpulan kerasulannya, Rasulullah Saw berpesan kepada para sahabat semoga berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain.
Pesan Rasul sangat mendalam pengaruhnya bagi para sahabat sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya, kecintaan mereka kepada Rasulullah Saw, dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya.[15]
2. Berhati-hati dalam meriwayatkan dan mendapatkan hadis
Perhatian para sahabat pada masa ini masih terfokus pada perjuangan memelihara dan membuatkan al-Qur’an, ini terlihat bagaimana al-Qur’an dibukukan oleh sahabat. Kehati-hatian dan perjuangan membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan lantaran mereka khawatir terjadi kekeliruan, dimana mereka sadari hadis merupakan sumber tashri’ yang kedua sehabis al-Qur’an, yang harus terjaga dari kekeliruan sebagaimana al-Qur’an. Oleh kesannya para sahabat khususnya khulafa al-Rashidin berusaha memperketat periwayatan hadis.[16]
Pada masa ini pula belum ada secara resmi menghimpun hadis dalam suatu kitab, menyerupai halnya al-Qur’an. Hal ini desebabkan semoga tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka dalam mempelajari al-Qur’an, alasannya ialah banyak para sahabat yang sudah menyebar ke berbagai kekuasaan Islam dengan kesibukanya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi menyerupai ini ada kesulitan untuk mengumpulkan mereka secara lengkap.[17]
PENUTUP
Cara sahabat khulafa al-Rashidin misalnya, mendapatkan hadis berbeda dengan cara yang dialami generasi setelahnya. Pada masa itu, para sahabat mempunyai semangat yang sangat besar untuk menerima hadis secara langsung, melihat perbuatan, mendengar perkataan bahkan taqrir Rasulullah. Oleh lantaran itu, mereka berusaha keras untuk selalu sanggup mengikuti Rasul.
Jika ada diantara sahabat yang berhalangan, mereka meminta sahabat yang lain untuk mengikuti kajian Rasulullah. Siapa pun sahabat yang menemui dan mengikuti Rasulullah serta menerima hadis dari Rasullullah, maka ia segera memberikan ke sahabat yang lain.
Ada beberapa cara Rasulullah memberikan hadis pada para sahabat yaitu, melalui ceramah terbuka yang ia berikan, melalui sahabat sahabat tertentu, melaui praktek pribadi yang dilihat para sahabat, terkait hal-hal yang sensitif menyerupai yang berkaitan dengan keluarga dan kebutuhan biologis disampaikan melalui istri-istri Rasul.
Nash-nash yang melarang menulis hadis di satu pihak dan memerintahkan di pihak lain, bukanlah hal yang patut dipertentangkan. Akan tetapi, keduanya sanggup dikompromikan sebagai berikut:
1. Larangan penulisan hadis pada masa Rasulullah dikarenakan adanya kekhawatiran bahwa hadis akan bercampur dengan al-Qur’an yang masih berada dalam tahap proses penurunan.
2. Larangan menulis hadis itu bersifat umum, sedangkan izin menuliskannya bersifat khusus bagi orang yang memilili keahlian tulis menulis sehingga terjaga dari kekeliruan. Seperti pada Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur'an,
Mukhlisin, M., Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: PT Pustaka Jaya, 2000
Rahman, Fatchur , Ikhtisar Musthalahul Hadis, Bandung: PT al-Ma’arif, 1974
Sajidin, M., Ilmu Hadis, Jakarta: Pena Mutika, 1999
Shiddieqy, Hasbi ash, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2011
Sumbullah, Umi, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, Malang: UIN Malang Press
Suparta, Munazier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persda, 2002
Yunus, Mahmud, Ilmu Musthalah al-Hadis, Jakarta: As- Sya’diyah, 1987
