Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Etika Dan Instruksi Etik Mujtahid


                     Pendahuluan
             Shari`at Islam tiba membawa rahmat bagi umat manusia. Oleh lantaran itu, ada tiga target aturan Islam : Pertama, penyucian jiwa, biar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan, bukan sumber keburukan bagi masyarakat lingkungannya. Hal ini ditempuh melalui aneka macam ragam ibadah yang dishari`atkan, yang kesemuanya dimaksudkan untuk membersihkan jiwa serta memperkokoh kesetiakawanan sosial. Kedua, menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam, adil baik menyangkut urusan di antara sesame kaum muslimin maupun dalam bekerjasama dengan non muslim.Ketiga, dan ini merupakan tujuan puncak yang hendak dicapai, yang harus terdapat di dalam setiap aturan Islam, ialah kemaslahatan. Tidak sekali kali suatu kasus dishari`atkan oleh Islam melalui al-Qur`an maupun Sunnah melainkan di situ terkandung maslahat yang hakiki, walaupun maslahat itu tersamar pada sebagian orang yang tertutup oleh hawa nafsunya. Maslahat yang dikehendaki oleh Islam bukanlah maslahat yang seiring dengan harapan hawa nafsu, akan tetapi maslahat yang hakiki yang menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pihak tertentu.[1]
            Perintah mengembalikan sesuatu yang diperdebatkan, diperselisihkan kepada al-Qur`an dan Sunnah, ialah peringatan biar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasulnya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadith yang barangkali tidak gampang untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah kaidah umum yang disimpulkan dari al-Qur`an dan Sunnah, menyerupai menyamakan aturan sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam al-Qur`an dan Sunnah lantaran persamaan `illatnya menyerupai dalam praktik qiyas / analogi, atau dengan meneliti kebijaksanaan kebijaksanaan shari`at. Melakukan ijtihad menyerupai inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasulnya.[2]
          Betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping al-Qur`an dan Sunnah, ijtihad berfungsi sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadith yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak pribadi sanggup dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk membuatkan prinsip prinsip aturan yang terdapat dalam al-Qur`an dan Sunnah menyerupai dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Pengembangan prinsip prinsip aturan dalam al-Qur`an dan Sunnah ialah penting, lantaran dengan itu ayat ayat dan hadith hadith aturan yang sangat terbatas jumlahnya itu sanggup menjawab aneka macam permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
          Dari citra wacana ijtihad diatas terlihat bahwa ijtihad itu ialah acara orang yang memenuhi syarat tertentu dengan melaksanakan penggalian terhadap aturan Allah dari petunjuk atau dalil tertentu dan merumuskannya dalam bentuk aturan tertentu. Dari sini tampak bahwa unsure pokok dalam berijtihad ialah ; (1) orang yang melaksanakan ijtihad yang disebut mujtahid, (2) dugaan berpengaruh wacana aturan Allah yang terdapat dalam penunjuk yang menjadi target ijtihad yang disebut mujtahad.
           Tidak gampang melaksanakan ijtihad, ada syarat syarat tertentu, yang tanpa syarat itu seseorang tidak akan sanggup melaksanakan ijtihad, dan kalaupun ia melaksanakan ijtihad, maka alhasil diragukan kebenarannya.
          Berfilsafat ialah berfikir secara mendasar, hingga ke akar akarnya, begitu juga berijtihad, mengerahkan segala pikiran dan tenaga, berfikir secara mendalam. Dalam meng-istimbat-kan sebuah hukum, seorang mujtahid mengikuti referensi pikir seorang filosof (mendasar, hingga ke akar akarnya).
PEMBAHASAN

PENGERTIAN IJTIHAD
          Sebelum kita berbicara panjang lebar wacana sopan santun dan arahan etik mujtahid, terlebih dahulu kita ketahui pengertian dari ijtihad itu sendiri. Kata ijtihad secara etimologi berarti bersungguh sungguh dalam memakai tenaga baik fisik maupun pikiran. Ijtihad berdasarkan ulama ushul ialah perjuangan seorang yang andal fiqh yang memakai seluruh kemampuannya untuk menggali aturan yang bersifat amaliah / mudah dari dalil dalil yang terperinci.[3] Sementara itu, sebagian ulama yang lain memperlihatkan definisi ijtihad ialah perjuangan mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan aturan shara` maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya.[4]
          Ibnu `Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikan ijtihad sebagai berikut ; pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan aturan shara` hingga ke tingkat Danni / dugaan keras sehingga mujtahid itu mencicipi tidak lagi bisa berupaya lebih dari itu.[5] Sedangkan al-Baidawi, andal ushul dari kalangan Syafi`iyah mendefinisikannya sebagai berikut ; pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan aturan hukum shara`.[6]
          Abu Zahrah, andal ushul fiqh yang hidup pada awal masa ke duapuluh, mendefinisikan ijtihad sebagai berikut ; pengerahan spesialis fiqh akan kemampuannya dalam upaya menemukan aturan yang bekerjasama dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya.[7] Pada definisi ini, ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan kemampuannya itu ialah andal fiqh, yaitu mujtahid, dan kawasan menemukan aturan hukum itu ialah dalil dalilnya.
          Definisi ijtihad lain yang dikemukakan oleh Abu Zahrah ialah ; mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-istimbat-kan aturan shara` maupun dalam penerapannya. Berdasarkan definisi ini, ijtihad terbagi kepada dua macam, yaitu ijtihad untuk membentuk atau meng-istimbat-kan aturan dari dalilnya, dan ijtihad untuk menerapkannya. Menurut Abu Zahrah, ijtihad bentuk pertama itu khusus dilakukan oleh para ulama yang mengkhususkan diri untuk meng-istimbat-kan aturan dari dalilnya.[8]
          Menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada masa tertentu mungkin terjadi kevakuman dari ijtihad menyerupai ini bilamana hasil ijtihad di masa lampau masih dianggap cukup untuk menjawab problem kasus yang muncul di kalangan umat Islam.Menurut kalangan Hanabilah, tidak ada satu masa yang boleh kosong dari acara ijtihad menyerupai ini lantaran selalu banyak problem kasus gres yang harus dijawab.
          Sedangkan ijtihad dalam bentuk kedua, yaitu ijtihad dalam penerapan hukum, akan selalu ada di setiap masa, selama umat Islam mengamalkan pemikiran agama mereka, lantaran kiprah mujtahid semacam ini ialah untuk menerapkan aturan Islam termasuk hasil hasil ijtihad para ulama terdahulu.[9]


DASAR HUKUM IJTIHAD
          Perintah mengembalikan sesuatu yang diperdebatkan kepada al-Qur`an dan Sunnah, berdasarkan Ali Hasaballah, ialah peringatan biar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasulnya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadith yang barangkali tidak gampang untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah kaidah umum yang disimpulkan dari al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah, menyerupai menyamakan aturan sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam al-Qur`an lantaran persamaan `illatnya menyerupai dalam praktek qiyas / analogi, atau dengan meneliti kebijaksanaan kebijaksanaan shari`at. Melakukan ijtihad menyerupai inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasulnya menyerupai yang termaktub dalam QS. An-Nisa` : 59.

FUNGSI IJTIHAD
          Imam Syafi`I, penyusun pertama ushul fiqh, dalam  bukunya Ar-Risalah, saat menggambarkan kesempurnaan al-Qur`an menegaskan ; maka tidak terjadi suatu peristiwapun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk wacana hukumnya. Menurutnya, aturan hukum yang dikandung oleh al-Qur`an yang bisa menjawab aneka macam permasalahan itu harus digali dengan acara ijtihad. Oleh lantaran itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad dalam upaya menimba aturan hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia menyampaikan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melaksanakan ijtihad, sama halnya menyerupai Allah menguji ketaatan hambanya dalam hal hal yang diwajibkan lainnya.[10]
          Pernyataan Imam Syafi`I diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadith yang tidak hingga ke tingkat hadith mutawattir menyerupai hadith ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadith yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak pribadi sanggup dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk membuatkan prinsip prinsip aturan yang terdapat dalam al-Qur`an dan Sunnah menyerupai qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip prinsip aturan dalam al-Qur`an dan Sunnah ialah penting, lantaran dengan itu ayat ayat dan hadith hadith aturan yang sangat terbatas jumlahnya itu sanggup menjawab aneka macam permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
          Dari citra umum wacana ijtihad yang diuraikan diatas terlihat bahwa ijtihad itu ialah acara orang yang memenuhi syarat tertentu dengan melaksanakan penggalian terhadap aturan Allah dari petunjuk atau dalil tertentu dan merumuskannya dalam bentuk aturan tertentu. Dari sini tampak bahwa unsur  pokok dalam berijtihad ialah ; (1) orang yang melaksanakan ijtihad yang disebit mujtahid, (2) dugaan berpengaruh wacana aturan Allah yang terdapat dalam penunjuk yang menjadi target ijtihad yang disebut mujtahad.

SYARAT MENJADI MUJTAHID
          Dalam literatur ushul fiqh terlihat bahwa para andal ushul memperlihatkan rumusan yang berbeda wacana syarat mujtahid. Perbedaan rumusan itu banyak ditentukan oleh titik pandang yang berbeda wacana mujtahid. Dari rumusan yang berbeda itu terlihat ada kesamaan diantara mereka dalam memandang dua titik pada seorang mujtahid  itu, yaitu wacana kepribadiannya dan wacana kemampuannya. Untuk kedua hal tersebut para andal menetapkan syarat atau criteria tertentu yang tanpa syarat dan keriteria itu seseorang tidak akan sanggup melaksanakan ijtihad, dan kalaupun ia melaksanakan ijtihad, maka alhasil diragukan kebenarannya.

SYARAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPRIBADIAN
Syarat kepribadian ini menyangkut dua hal ;
          SYARAT UMUM yang harus dimiliki seorang mujtahid ialah telah baligh dan berakal.
          Seorang mujtahid itu harus telah dewasa, lantaran hanya pada orang yang telah remaja sanggup ditemukan adanya kemampuan. Orang yang belum remaja atau anak anak tidak akan mungkin melaksanakan ijtihad. Kemudian, seseorang mujtahid itu harus berakal atau tepat akalnya, lantaran pada orang yang berakal ditemukan adanya kemampuan ilmu dan ijtihad itu sendiri ialah suatu karya ilmiah. Orang yang tidak tepat akalnya menyerupai orang abnormal tidak akan mungkin melaksanakan ijtihad.
          Dua syarat tersebut merupakan sebagian dari syarat pembebanan aturan shara` secara penuh terhadap seseorang, yang disebut taklif. Ada dua syarat taklif yang tidak terdapat disini yaitu syarat “ kemerdekaan dan laki laki “. Kedua syarat itu ditemukan dalam beberapa persyaratan taklif. Hal ini mengandung arti bahwa berijtihad itu sanggup dilakukan oleh hamba sahaya, lantaran ternyata banyak hamba sahaya mempunyai kemampuan berijtihad yang tidak kalah dari orang merdeka. Ijtihad juga sanggup dilakukan oleh wanita ; lantaran dalam kenyataanya banyak wanita yang mempunyai kemampuan ilmiah yang setara ( melebihi ) kemampuan laki laki.[11]
          SYARAT KEPRIBADIAN KHUSUS. Ijtihad itu merupakan karya ilmiah secara umum. Namun yang dilakukan dan dihasilkan didalamnya ialah aturan yang dinisbatkan kepada Allah. Oleh lantaran itu dituntut pada seorang mujtahid adanya persyaratan kepribadian khusus yaitu keimanan. Ia harus beriman kepada Allah secara sempurna, baik yang berkenaan dengan zat, sifat dan perbuatannya. Ia percaya akan keberadaan dan kemahakuasaan Allah dan percaya akan adanya aturan Allah yang mengatur segala segi kehidupan manusia. Ia percaya kepada kerasulan nabi Muhammad SAW dan percaya pula akan fungsi dia sebagai penyampai dan penjelas aturan Allah kepada umat manusia.
          Imam al-Ghazali mensyaratkan sifat adil dalam kepribadian ini. Yang dimaksud dengan adil disini ialah adil yang dipersyaratkan dalam periwayatan hadith dan dalam kewalian, yaitu malakah atau potensi yang menempel dalam pribadi seseorang yang tidak memungkinkannya untuk melaksanakan dosa besar dan tidak berketerusan dalam berbuat dosa kecil.
          Adapun beberapa sifat utama menyerupai ; zuhud, wara`, tawadhu`, dan lainnya tidak merupakan persyaratan untuk sahnya sebuah ijtihad, tetapi merupakan sifat keutamaan bagi seseorang mufti yang memberikan hasiil ijtihadnya.[12]

SYARAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEMAMPUAN

  1. Megetahui ilmu alat, menyerupai ; ilmu nahwu, sharaf, bayan, ma`ani dan badi`
  2. Pengetahuan wacana al-Qur`an. Mengerti dengan makna makna yang dikandung oleh ayat ayat aturan dalam al-Qur`an baik secara bahasa maupun berdasarkan istilah shara`. Tidak perlu menghafal diluar kepala dan tidak pula perlu menghafal seluruh al-Qur`an. Seorang mujtahid cukup mengetahui kawasan tempat dimana ayat ayat aturan itu berada sehingga gampang baginya menemukan yang dibutuhkan. Menurut imam al-Ghazali, jumlah ayat ayat aturan yang perlu dikuasai itu sekitar 500 ayat. Pembatasan jumlah ayat ayat aturan menyerupai dikemukakan al-Ghazali itu oleh sebagian ulama tidak disepakati. Al-Syaukani umpamanya menyebutkan bahwa ayat ayat aturan dalam al-Qur`an bisa jadi berlipat ganda dari jumlah yang disebutkan al-Ghazali itu. Orang yang mendalam pemahamannya bahkan mungkin meng-istimbat-kan aturan dari ayat ayat dalam bentuk cerita umat umat terdahulu. Pembatasan jumlah ayat yang dikemukakan al-Ghazali itu, demikian komentar al-Syaukani, bisa dianggap benar bilamana yang dimaksud ialah ayat ayat yang dengan pribadi memperlihatkan hukum, dalam arti belum termasuk kedalamnya ayat ayat yang tidak pribadi memperlihatkan hukum. Mengetahui makna ayat secara bahasa, yaitu dengan mengetahui makna makna mufrad / tunggal dari suatu lafal dan maknanya dalam susunan suatu redaksi. Pengetahuan menyerupai itu mungkin didapatkannya lantaran talenta atau lantaran tumbuh di kalangan masyarakat yang menguasai seluk beluk bahasa arab atau dengan cara mempelajari ilmu bahasa arab. Adapun pengetahuan wacana makna makna ayat secara shara` ialah dengan mengetahui aneka macam segi penunjukan lafal terhadap hukum, menyerupai melalui mantuq / makna tersurat, lewat mafhum muwafaqah / makna tersirat, mafhum mukhalafah / makna kebalikan dari makna tersurat, serta mengetahui lafal dari segi cakupannya, menyerupai lafal umum dan lafal  khusus, dan mengerti pula dengan tingkatan kejelasan dan ketidakjelasan dari penunjukan suatu lafal terhadap maknanya. Disamping itu, juga mengetahui wacana `illat atau alasan logis mengapa sesuatu diperintah dan mengapa dilarang.
  3. Mengetahui wacana hadith hadith aturan baik secara bahasa maupun dalam pemakaian shara`, menyerupai telah diuraikan pada syarat pertama. Seperti halnya al-Qur`an, maka dalam problem hadith juga tidak mesti dihafal seluruh hadith yang bekerjasama dengan hukum, tetapi cukup adanya pengetahuan dimana hadith  hadith aturan yang sanggup dijangkau bilamana diperlukan. Menurut sebagian ulama contohnya Ibnu al-`Arabi, andal tafsir dari kalangan Malikiyah, seperrti dinukil Wahbah al-Zuhayli, jumlah hadith hadith aturan sekitar 3000 hadith, sedangkan berdasarkan riwayat dari Ahmad bin Hanbal bahwa hadith hadith aturan sekitar 1200 hadith. Namun, Wahbah al-Zuhayli tidak sependapat dengan pembatasan jumlah hadith aturan itu. Menurutnya, yang penting bagi seorang mujtahid mengerti dengan seluruh hadith hadith aturan yang terdapat didalam kitab kitab hadith besar yang sudah diakui, menyerupai sahih al-Bukhari, sahih Muslim,dll. Hadith hadith aturan harus diketahui, disamping pengertiannya secara bahasa dan secara shara`, juga mengetahui kesahihannya.
  4. Mengetahui wacana mana ayat atau hadith yang telah dimansukh ( telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasulnya ), dan mana ayat atau hadith yang menasakh atau sebagai penggantinya. Pengetahuan menyerupai ini diperlukan, biar seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadith yang sudah dinyatakan tidak lagi berlaku.
  5. Mempunyai pengetahuan wacana problem problem yang sudah terjadi ijma` wacana hukumnya dan mengetahui kawasan tempatnya. Pengetahuan ini diharapkan biar seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi aturan yang telah disepakati para ulama.
  6. Mengetahui wacana seluk beluk qiyas, menyerupai syarat syaratnya, rukun rukunnya, wacana `illat aturan dan cara menemukan `illat itu dari ayat atau hadith, dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat aturan dan prinsip prinsip umum shari`at Islam.
  7. Menguasai bahasa arab serta ilmu ilmu Bantu yng bekerjasama dengannya, pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat al-Qur`an dan Sunnah ialah berbahasa arab. Seseorang tidak akan bisa meng-istimbat-kan aturan dari dua sumber tersebut tanpa mengetahui seluk beluk bahasa arab. Antara lain, misalnya, mengetahui mana lafal umum dab mana lafal khusus, mana lafal hakikat dan mana lafal majaz, lafal mutlaq dan muqayyad, dan aneka macam cara penunjukan lafal terhadap maknanya. Penguasaan bahasa arab tidak perlu menjadi ahli, tetapi cukup sekedar bisa memahami secara benar ungkapan ungkapan dalam bahasa arab dan kebiasaan orang arab dalam pemakaiannya.
  8. Menguasai ilmu ushul fiqh, menyerupai wacana aturan dan macam macamnya, wacana sumber sumber aturan atau dalil dalilnya, wacana kaidah kaidah dan cara meng-istimbat-kan aturan dari sumber sumber tersebut, dan wacana ijtihad. Pengetahuan wacana hal ini diharapkan lantaran ushul fiqh merupakan pedoman yang harus dipegang dalam melaksanakan ijtihad.
  9. Mampu menangkap tujuan shari`at dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan lantaran untuk memahami suatu redaksi dan dalam penerapannya kepada aneka macam peristiwa, ketepatannya sangat tergantung kepada pengetahuan wacana bidang ini. Hal ini disebabkan, penunjukan suatu lafal kepada maknanya mengandung aneka macam kemungkinan, dan pengetahuan wacana maqasid al-Shari`ah memberi petunjuk untuk menentukan pengertiannya yang mana yang layak diangkat dan difatwakan. Disamping itu, dan yang terpenting, dengan penguasaan bidang ini prinsip prinsip aturan dalam al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah sanggup dikembangkan, menyerupai dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.
KESIMPULAN
          Tidak semua orang bisa menjadi mujtahid, lantaran hal itu tidaklah mudah, ada syarat syarat tertentu yang tanpa syarat itu seseorang tidak akan sanggup melaksanakan ijtihad, dan kalaupun ia melaksanakan ijtihad, maka alhasil diragukan kebenarannya, bisa berakibat sesat dan menyesatkan.Ada kemiripan antara seorang filosof dengan seorang mujtahid, mereka sama sama mempunyai tingkat kecerdasan yang sangat luar biasa, referensi pikir mereka sangat mendasar, bisa meneliti sesuatu secara mendalam, detail, hingga ke akar akarnya.

DAFTAR PUSTAKA
 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group, 2008.
 Satria Effendi, Ushul Fiqh, Prenada Media, 2005.
 Jaih Mubarak, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Uli Press, 2002.
 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dzikrul Hakim, 2005
  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Dzikrul Hakim, 2005.