Pembelajaran Progresif
John Dewey* memperkenalkan konsep berguru progresif (learning by doing), yakni bahwa berguru menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri. Maka, inisiatif harus tiba dari dirinya sendiri, sedangkan guru berfungsi sebagai pembimbing, pengarah, atau fasilitator. Jangan paksa penerima didik untuk berguru dan guru sebaiknya menunggu mereka siap untuk berguru atau guru mengatur suasana sehingga mereka siap untuk belajar.
Proses berguru sebaiknya dialami melalui perbuatan pribadi dan harus dilakukan oleh penerima didik secara aktif. Prinsip ini didasarkan pada perkiraan bahwa penerima didik sanggup memperoleh lebih banyak pengalaman jikalau terlibat secara aktif, daripada hanya melihat atau mendengarkan informasi.
Menurut Dewey*, suatu pengalaman memperlihatkan nilai atau imbas yang berbeda untuk setiap individu. Pengalaman yang berkhasiat untuk seorang individu mungkin tidak bermanfaat bagi individu lain. Individu menggunakan pengalaman masa lampau baik yang positif maupun negatif untuk mengatur seni administrasi semoga sukses dalam hidup. Apabila seseorang mempelajari sesuatu, pengetahuan yang diperoleh dari kejadian pembelajaran itu bersifat pribadi alasannya merupakan hasil interaksi antara pengalaman individu dengan kejadian pembelajaran tersebut. Setiap penerima didik mempunyai pengalaman lampau yang berbeda sehingga setiap kejadian pembelajaran akan menghasilkan pengalaman gres yang berbeda pula untuk masing-masing penerima didik.
Menurut Dewey*, individu mengalami tiga tahapan belajar, yakni: a) tahap bermain; b) tahap bekerja; dan c) tahap simbol. Ketiga tahapan berguru tersebut bukan merupakan tahap perkembangan yang berurutan. Maksudnya ialah tahap simbol sanggup lebih dulu dari tahap main atau kerja. Berbagai kondisi sanggup menimbulkan terjadinya perbedaan urutan tahapan yang dialami setiap orang. Tahapan berguru yang sedang dialami seseorang sanggup dianalisis melalui abjad berguru dan kegiatan belajarnya secara langsung. Deskripsi perihal tiga tahapan berguru berdasarkan Dewey* ialah sebagai berikut.
a. Tahap bermain (play) ialah tahapan berguru yang didominasi pelaksanaan kegiatan untuk memperlihatkan kepuasan (kepuasan) dalam bermain bagi individu. Jika bawah umur sangat bersemangat untuk bermain sambil belajar, sanggup dikatakan bahwa mereka dalam tahap bermain. Melalui proses bermain, penerima didik berguru membuatkan banyak sekali kemampuan dirinya (kognitif, psikomotor, dan afektif). Penggunaan metode permainan akan sanggup memotivasi daya tarik yang berpengaruh untuk menciptakan anak belajar.
b. Tahap bekerja (work) ialah tahapan berguru di mana sebagian besar kegiatan yang dilakukan ialah suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan atau hasil tertentu. Upaya untuk mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan akan membuatkan kemampuan diri secara maksimal. Peserta didik yang sudah mempunyai tujuan tertentu atau impian jangka panjang pada umumnya mengalami tahapan berguru ini. Aktivitas berguru sebaiknya diarahkan untuk memperoleh hasil atau manfaat nyata, tidak hanya untuk mendapat kesenangan.
c. Tahap simbol (symbols) ialah tahapan berguru yang didominasi kegiatan yang didasari makna atau nilai tertentu dalam kegiatan tersebut. Individu dalam tahapan ini rela sanggup melaksanakan kegiatan yang tidak menyenangkan dan merugikan alasannya memperjuangkan nilai tertentu, misalnya: kebebasan berpendapat. Proses berguru pada tahapan ini pada umumnya lebih fokus pada pendalaman nilai-nilai kehidupan.
Belajar merupakan proses kompleks yang secara alamiah menempel dalam diri manusia. Proses berguru sanggup ditinjau melalui dua pandangan, yaitu pandangan mikro (dalam diri) dan makro (interaksi dengan lingkungan luar).
a. Pandangan Mikro
Pada dasarnya anak mempunyai sifat aktif sehingga selalu ingin berguru alasannya dalam diri mereka terdapat suatu dorongan berpengaruh dan alami untuk mengenal, merasakan, dan melaksanakan banyak sekali macam hal. Menurut Dewey*, semua anak mempunyai pikiran, sensasi, dan gerak yang mengakibatkan diri mereka aktif belajar. Setiap indra anak ialah jendela pikiran mereka menuju dunia. Proses berpikir dan menentukan pilihan akan mengarahkan badan mereka untuk bergerak. Berbeda dengan orang sampaumur yang membutuhkan waktu usang dalam menentukan pilihan dan memikirkan sesuatu, bawah umur berpikir dan menentukan dengan sangat cepat. Dunia bagi bawah umur ialah segala sesuatu yang menggoda mereka, bukan tertarik pada fakta-fakta objektif. Anak mengenali dan mempelajari semua hal melalui sentuhan dan interaksi langsung. Pada umumnya bawah umur pribadi berguru dengan melaksanakan pada kondisi yang sebenarnya (learning by doing), berbeda dengan orang sampaumur yang berguru melaksanakan sesuatu (dimulai dengan teori) sebelum menerapkannya pada kondisi yang sesungguhnya. Namun, keaktifan anak untuk bermain dan berguru tidak otomatis mengarahkan mereka pada proses berguru yang baik sehingga diharapkan peranan orang bau tanah atau guru untuk mengarahkan mereka.
b. Pandangan Makro
Belajar merupakan proses sosial, di mana anak berinteraksi dengan banyak sekali aspek lingkungan. Dorongan insting anak untuk berinteraksi dengan lingkungan akan menciptakan mereka melaksanakan tindakan secara cepat. Jika mereka menemui kendala sehingga menciptakan suasana menjadi menegangkan, terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam diri mereka, baik pikiran maupun perasaannya. Selanjutnya mereka akan menjalani suatu proses penyelesaian persoalan dan pembiasaan diri dengan kendala yang dihadapi. Jika proses tersebut berhasil, anak akan mengalami harmonisasi diri dan penguatan keseimbangan personal (personal equilibrium).
Contoh sederhana pada proses di atas sanggup dilihat pada seorang anak yang mendapat mainan gres berupa sepeda. Anak mempunyai motivasi berpengaruh untuk menggunakan dan bermain dengan sepeda barunya. Namun, kendala terjadi dikala ia belum bisa menggunakan sepeda tersebut sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam dirinya, contohnya menjadi sedih dan kecewa. Penyelesaian persoalan tersebut sanggup dilakukan dengan mencoba banyak sekali aktivitas, contohnya meminta proteksi ibunya untuk membantu menggunakan sepeda atau mencoba berguru naik sepeda secara mandiri. Jika anak tersebut telah bisa mengendarai sepeda, beliau akan mendapat kembali keseimbangan personal.
Model berguru berdasarkan teori Dewey*
Aplikasi teori humanisme dalam pembelajaran adalah:
a. Menentukan tujuan instruksional
b. Menentukan bahan pelajaran
c. Mengidentifikasi “entry behavior” penerima didik
d. Mengidentifikasi topik-topik yang memungkinkan penerima didik mempelajarinya secara aktif/mengalami
e. Mendesain wahana (lingkungan, media, fasilitas, dan sebagainya) yang akan dipakai penerima didik dalam belajar
f. Membimbing penerima didik berguru secara aktif
g. Membimbing penerima didik memahami hakikat makna dari pengalaman berguru mereka
h. Membimbing penerima didik menciptakan konseptualisasi pengalaman tersebut
i. Membimbing penerima didik hingga mereka bisa mengaplikasikan konsep-konsep gres ke situasi yang baru
j. Mengevaluasi proses dan hasil belajar-mengajar
Sumber
Sani, Ridwan Abdullah. 2015. Inovasi Pembelajaran. Bumi Aksara. Jakarta
Download
Baca Juga
1. John Dewey. Biografi
2. John Dewey. Pendidikan Progresif
3. John Dewey. Tentang Pengalaman dan Pikiran
4. Aliran Filsafat. Pragmatisme
Menurut Dewey*, suatu pengalaman memperlihatkan nilai atau imbas yang berbeda untuk setiap individu. Pengalaman yang berkhasiat untuk seorang individu mungkin tidak bermanfaat bagi individu lain. Individu menggunakan pengalaman masa lampau baik yang positif maupun negatif untuk mengatur seni administrasi semoga sukses dalam hidup. Apabila seseorang mempelajari sesuatu, pengetahuan yang diperoleh dari kejadian pembelajaran itu bersifat pribadi alasannya merupakan hasil interaksi antara pengalaman individu dengan kejadian pembelajaran tersebut. Setiap penerima didik mempunyai pengalaman lampau yang berbeda sehingga setiap kejadian pembelajaran akan menghasilkan pengalaman gres yang berbeda pula untuk masing-masing penerima didik.
Menurut Dewey*, individu mengalami tiga tahapan belajar, yakni: a) tahap bermain; b) tahap bekerja; dan c) tahap simbol. Ketiga tahapan berguru tersebut bukan merupakan tahap perkembangan yang berurutan. Maksudnya ialah tahap simbol sanggup lebih dulu dari tahap main atau kerja. Berbagai kondisi sanggup menimbulkan terjadinya perbedaan urutan tahapan yang dialami setiap orang. Tahapan berguru yang sedang dialami seseorang sanggup dianalisis melalui abjad berguru dan kegiatan belajarnya secara langsung. Deskripsi perihal tiga tahapan berguru berdasarkan Dewey* ialah sebagai berikut.
a. Tahap bermain (play) ialah tahapan berguru yang didominasi pelaksanaan kegiatan untuk memperlihatkan kepuasan (kepuasan) dalam bermain bagi individu. Jika bawah umur sangat bersemangat untuk bermain sambil belajar, sanggup dikatakan bahwa mereka dalam tahap bermain. Melalui proses bermain, penerima didik berguru membuatkan banyak sekali kemampuan dirinya (kognitif, psikomotor, dan afektif). Penggunaan metode permainan akan sanggup memotivasi daya tarik yang berpengaruh untuk menciptakan anak belajar.
b. Tahap bekerja (work) ialah tahapan berguru di mana sebagian besar kegiatan yang dilakukan ialah suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan atau hasil tertentu. Upaya untuk mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan akan membuatkan kemampuan diri secara maksimal. Peserta didik yang sudah mempunyai tujuan tertentu atau impian jangka panjang pada umumnya mengalami tahapan berguru ini. Aktivitas berguru sebaiknya diarahkan untuk memperoleh hasil atau manfaat nyata, tidak hanya untuk mendapat kesenangan.
c. Tahap simbol (symbols) ialah tahapan berguru yang didominasi kegiatan yang didasari makna atau nilai tertentu dalam kegiatan tersebut. Individu dalam tahapan ini rela sanggup melaksanakan kegiatan yang tidak menyenangkan dan merugikan alasannya memperjuangkan nilai tertentu, misalnya: kebebasan berpendapat. Proses berguru pada tahapan ini pada umumnya lebih fokus pada pendalaman nilai-nilai kehidupan.
Belajar merupakan proses kompleks yang secara alamiah menempel dalam diri manusia. Proses berguru sanggup ditinjau melalui dua pandangan, yaitu pandangan mikro (dalam diri) dan makro (interaksi dengan lingkungan luar).
a. Pandangan Mikro
Pada dasarnya anak mempunyai sifat aktif sehingga selalu ingin berguru alasannya dalam diri mereka terdapat suatu dorongan berpengaruh dan alami untuk mengenal, merasakan, dan melaksanakan banyak sekali macam hal. Menurut Dewey*, semua anak mempunyai pikiran, sensasi, dan gerak yang mengakibatkan diri mereka aktif belajar. Setiap indra anak ialah jendela pikiran mereka menuju dunia. Proses berpikir dan menentukan pilihan akan mengarahkan badan mereka untuk bergerak. Berbeda dengan orang sampaumur yang membutuhkan waktu usang dalam menentukan pilihan dan memikirkan sesuatu, bawah umur berpikir dan menentukan dengan sangat cepat. Dunia bagi bawah umur ialah segala sesuatu yang menggoda mereka, bukan tertarik pada fakta-fakta objektif. Anak mengenali dan mempelajari semua hal melalui sentuhan dan interaksi langsung. Pada umumnya bawah umur pribadi berguru dengan melaksanakan pada kondisi yang sebenarnya (learning by doing), berbeda dengan orang sampaumur yang berguru melaksanakan sesuatu (dimulai dengan teori) sebelum menerapkannya pada kondisi yang sesungguhnya. Namun, keaktifan anak untuk bermain dan berguru tidak otomatis mengarahkan mereka pada proses berguru yang baik sehingga diharapkan peranan orang bau tanah atau guru untuk mengarahkan mereka.
b. Pandangan Makro
Belajar merupakan proses sosial, di mana anak berinteraksi dengan banyak sekali aspek lingkungan. Dorongan insting anak untuk berinteraksi dengan lingkungan akan menciptakan mereka melaksanakan tindakan secara cepat. Jika mereka menemui kendala sehingga menciptakan suasana menjadi menegangkan, terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam diri mereka, baik pikiran maupun perasaannya. Selanjutnya mereka akan menjalani suatu proses penyelesaian persoalan dan pembiasaan diri dengan kendala yang dihadapi. Jika proses tersebut berhasil, anak akan mengalami harmonisasi diri dan penguatan keseimbangan personal (personal equilibrium).
Contoh sederhana pada proses di atas sanggup dilihat pada seorang anak yang mendapat mainan gres berupa sepeda. Anak mempunyai motivasi berpengaruh untuk menggunakan dan bermain dengan sepeda barunya. Namun, kendala terjadi dikala ia belum bisa menggunakan sepeda tersebut sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam dirinya, contohnya menjadi sedih dan kecewa. Penyelesaian persoalan tersebut sanggup dilakukan dengan mencoba banyak sekali aktivitas, contohnya meminta proteksi ibunya untuk membantu menggunakan sepeda atau mencoba berguru naik sepeda secara mandiri. Jika anak tersebut telah bisa mengendarai sepeda, beliau akan mendapat kembali keseimbangan personal.
Model berguru berdasarkan teori Dewey*
Aplikasi teori humanisme dalam pembelajaran adalah:
a. Menentukan tujuan instruksional
b. Menentukan bahan pelajaran
c. Mengidentifikasi “entry behavior” penerima didik
d. Mengidentifikasi topik-topik yang memungkinkan penerima didik mempelajarinya secara aktif/mengalami
e. Mendesain wahana (lingkungan, media, fasilitas, dan sebagainya) yang akan dipakai penerima didik dalam belajar
f. Membimbing penerima didik berguru secara aktif
g. Membimbing penerima didik memahami hakikat makna dari pengalaman berguru mereka
h. Membimbing penerima didik menciptakan konseptualisasi pengalaman tersebut
i. Membimbing penerima didik hingga mereka bisa mengaplikasikan konsep-konsep gres ke situasi yang baru
j. Mengevaluasi proses dan hasil belajar-mengajar
Sumber
Sani, Ridwan Abdullah. 2015. Inovasi Pembelajaran. Bumi Aksara. Jakarta
Download
Baca Juga
1. John Dewey. Biografi
2. John Dewey. Pendidikan Progresif
3. John Dewey. Tentang Pengalaman dan Pikiran
4. Aliran Filsafat. Pragmatisme