Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori Konstruktivisme Sosial

Konstruktivisme sosial dikembangkan oleh Lev Semenovich Vygotsky*, yang menyatakan bahwa pembentukan pengetahuan dan perkembangan kognitif terbentuk melalui internalisasi/penguasaan proses sosial. Teori ini merupakan teori sosiogenesis, yang membahas perihal faktor primer (kesadaran sosial) dan faktor sekunder (individu), serta pertumbuhan kemampuan. Peserta didik berpartisipasi dalam aktivitas sosial tanpa makna, kemudian terjadi internalisasi atau pengendapan dan pemaknaan atau konstruksi pengetahuan baru, serta perubahan (transformasi) pengetahuan.
Tingkat perkembangan kemampuan nyata terjadi secara berdikari dan kemampuan potensial melalui bimbingan orang dewasa. Proses konstruksi pengetahuan dilakukan secara bahu-membahu dengan pertolongan yang diistilahkan scaffolding, contohnya dengan memperlihatkan petunjuk, pedoman, bagan/gambar, prosedur, atau balikan. Oleh alasannya itu, diperlukan contoh, demonstrasi, atau praktik dari orang lebih dewasa. Teori ini melandasi munculnya pembelajaran kolaboratif/kooperatif, pembelajaran berbasis dilema (PBL), dan pembelajaran kontekstual.

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun oleh insan secara bertahap dan balasannya diperluas melalui konteks yang terbatas. Individu menghubungkan dan mengasimilasikan pengetahuan, kecakapan, pengalaman yang telah dimilikinya dengan pengetahuan, kecakapan, pengalaman gres sehingga terjadi perubahan/perkembangan. Menurut konstruktivisme, mencar ilmu adalah: 1) proses aktif dan konstruktif yang terjadi di lingkungan luar kelas; 2) mengubah info menjadi proses mental; 3) membangun pengetahuan dan pengertian dari pengalaman pribadi; 4) mengaitkan pengetahuan gres dengan pengalaman usang (asimilasi); 5) membangun pengetahuan gres dari fenomena usang (akomodasi); 6) proses kognitif untuk memecahkan dilema dunia nyata, memakai alat yang tersedia dalam situasi pemecahan masalah; 7) bersifat situasional, interaktif; 8) bekerja dengan teman dalam konstruksi sosial yang berarti bagi dirinya; 9) proses pribadi yang terus-menerus untuk memonitor kemajuan belajar.

Menurut teori ini, pengetahuan ada dalam pikiran insan dan merupakan interpretasi insan terhadap pengalamannya perihal dunia, bersifat perspektif, konvensional, tentatif, dan evolusioner. Pengetahuan/konsep gres dibangun secara bertahap dari waktu ke waktu dalam konteks sosial. Peserta didik berinteraksi dengan materi pengetahuan dan mengintegrasikan info usang dengan info gres dan kesadaran perihal apa yang dipelajari (metakognitif). Prinsip teori ini yakni sebagai berikut.
1. Pembelajaran sosial: penerima didik mencar ilmu melalui interaksi dengan orang remaja atau teman sebaya yang lebih mampu
2. Zona perkembangan terdekat: penerima didik lebih gampang mencar ilmu konsep kalau konsep itu berada pada zona perkembangan terdekat mereka
3. Pemagangan kognitif: penerima didik secara bertahap memperoleh keahlian melalui interaksinya dengan orang lain yang telah menguasai bidangnya
4. Scaffolding: penerima didik diberikan tugas-tugas kompleks, sulit dan realistis untuk kemudian diberikan pertolongan secukupnya untuk menuntaskan tugas-tugas tersebut.

Pembelajaran konstruktivisme menekankan pada proses belajar, bukan mengajar. Peserta didik diberi kesempatan pada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman gres yang didasarkan pada pengalaman yang nyata. Teori ini beropini bahwa mencar ilmu merupakan suatu proses, bukan menekankan hasil. Peserta didik didorong untuk melaksanakan penyelidikan dalam upaya berbagi rasa ingin tahu secara alami. Penilaian hasil mencar ilmu ditekankan pada kinerja dan pemahaman penerima didik. Implikasi teori konstruktivisme sosial dalam pembelajaran dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
1. Dasar pembelajaran yakni bahwa dalam diri siswa sudah ada pengetahuan, pemahaman, kecakapan, pengalaman tertentu
2. Peserta didik mencar ilmu mengonstruksi (menambah, merevisi, atau memodifikasi) pengetahuan, pemahaman, kecakapan, pengalaman usang menjadi pengetahuan, pemahaman, kecakapan, dan pengalaman baru
3. Guru berperan memfasilitasi terjadi terjadinya proses konstruksi pengetahuan


Menurut konstruktivisme sosial, pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri dan tidak sanggup dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar. Peserta didik aktif mengonstruksi secara terus-menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah. Peran guru hanya sekedar membantu menyediakan saran dan situasi biar proses konstruksi berjalan lancar. Berikut sketsa konstruksi pengetahuan pada diri penerima didik.

Ciri tahapan pembelajaran konstruktivisme yakni sebagai berikut
1. Orientasi: berbagi motivasi dan mengadakan observasi
2. Elisitasi: mengungkapkan pandangan gres secara terperinci serta mewujudkan hasil observasi
3. Restrukturisasi ide: penjelasan ide, membangun pandangan gres baru, dan mengevaluasi pandangan gres baru.
4. Penggunaan ide dalam banyak situasi
5. Review atau kaji ulang: merevisi dan mengubah ide

Beberapa kelebihan pembelajaran konstruktivisme yakni sebagai berikut:
1. Peserta didik terlibat secara eksklusif dalam membangun pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan sanggup mengaplikasikannya
2. Peserta didik aktif berpikir untuk menuntaskan masalah, mencari pandangan gres dan menciptakan keputusan
3. Selain itu, murid terlibat secara eksklusif dan aktif mencar ilmu sehingga sanggup mengingat konsep secara lebih lama

Model mencar ilmu konstruktivisme

Sumber
Sani, Ridwan Abdullah. 2015. Inovasi Pembelajaran. Bumi Aksara. Jakarta


Download

Baca Juga
1. Teori Konstruktivisme dalam Pendidikan
2. Teori Konstruktivisme dalam Pendidikan. Konsepsi Anak
3. Teori Konstruktivisme dalam Pendidikan. Proses Perubahan Konseptual 
4. Teori Belajar dari Vygotsky