Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aliran Filsafat Mu’Tazilah



PENDAHULUAN

            Pada awal perkembangannya teologi islam telah dihadapkan dengan masalah- kasus teologi seperti, orang mukmin yang berbuat dosa besar masih dibenarkan untuk menjadi khalifah ataukah harus diperangi, bahkan dibunuh dikarenakan telah menjadi kafir. Kemudian mengenai perbuatan manusia, apakah insan bertanggungjawab atas perbuatannya alasannya ialah ia sendiri yang memilih pilihan ataukah insan merupakan sosok makhluk yang terpaksa melaksanakan perbuatan yang diciptakan oleh tuhan.selanjutnya mengenai sifat tuhan, disini muncul pertanyaan apakah ilahi mempunyai sifat- sifat yang terpisah dari dzat-Nya ataukah sifat- sifat itu ialah esensi atau dzat Tuhan sendiri.[1]
            Ketiga kasus ini menimbulkan pembicaraan panjang yang tak kunjung terselesaikan. Maka dari itu kaum Mu’tazilah yang dipelopori oleh Washil bin Atha tampil guna menuntaskan ketiga pokok kasus dalam teologi tersebut.
            Diawal kelahirannya, Mu’tazilah sungguh membawa warna gres dalam pemikiran serta perkembangan teologi islam. Ia membawa kasus teologi jauh lebih dalam dan bersifat filosofis bila dibandingkan dengan aliran teologi lain. Dalam pembahasannya aliran ini lebih bersifat rasional, alasannya ialah lebih banyak memakai akal. Hal inilah yang menimbulkan golongan ini dikenal dengan sebutan “kaum rasional islam.”[2]


PEMBAHASAN
A.    Biografi tokoh-tokoh Mu’tazilah
      Al- Mu’tazilah berasal dari akar kata   إعتزل- يعتزلyang berarti memisahkan, menjauhi ataupun menyisihkan diri. Dapat juga diartikan orang- orang yang memisahkan diri atau menyisihkan diri dari jama’ah. Kata mu’tazilah atau mu’tazilin sudah digunakan dalam menyebut sekelompok sobat Nabi yang menjauhkan diri dari pertikaian antara golongan pendukung Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. kaum muslim yang tidak mau membai’at Ali bin Abi Thalib padahal mereka juga bukan pendukung Utsman bin Affan juga disebut al-Mu’tazila.[3] Dengan demikian sanggup dimengerti bahwa kata al- Mu’tazilah disini ialah menyangkut kasus politik dan bukan kasus agama maupun aqidah.
      Kata al- Mu’tazilah juga digunakan untuk suatu kelompok pendukung Ali yang menjauhi politik, ketika Hasan bin Ali menyerahkan kekhalifaan kepada Mu’awiyah, bahkan menjauhkan diri dari masyarakat dengan kompesensi positif menekuni ilmu dan ibadah di masjid atau rumah- rumah mereka.[4] 
      Penamaan al-Mu’tazilah tidak sanggup dipastikan, namun terang nama al-Mu’tazilah diberikan kepada Washil dan kelompoknya. baik itu Mu’tazilah yang dibangun oleh Washil bin Atha maupun Mu’tazilah awal , keduanya mempunyai dasar politik, alasannya ialah mereka juga membahas masalah kekhalifaan, tetapi Washil menambahkan persoalan- kasus teologi dan filsafat kedalam ajaran- aliran dan pemikiran mereka.
      Selain dengan nama Mu’tazilah, golongan ini juga menamai diri mereka dengan Ahl al-Tauhid, al-Adliyah, ahl al-Adl, al-Muwahhidah, al-Wa’diyah wa al-Wa’idiyah, al-Qadariyah, al-Munazzihah dan Ahl al-Tanzih. Sedangkan nama yang diberikan oleh para lawan mereka yang berkonotasi negatif ialah an-Nufat, al-Mu’athathilah, al-Jahmiyah, Makhanis al-Khawarij, dan al-Mubtadi’ah.[5]Adapun tokoh-tokoh mu’tazilah antara lain:

1.      Washil bin Atha
                 Wasil bin Atha' ialah teolog dan filsuf muslim terkemuka pada zaman dinasti Bani Umayyah. Pada mulanya ia mencar ilmu pada Abu Hasyim ‘Abdullah ibn Muhammad al-Hanafiyyah. Selanjutnya, ia banyak menimba ilmu pengetahuan di Mekkah dan mengenal aliran Syi’ah di Madinah. Ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru pada Hasan al-Bashri.
                  Washil ialah spesialis sejarah, aturan islam, tasawuf, dan teologi,[6]Dialah pendiri madzhab Mu'tazilah. Pengikut madzhab ini beropini bahwa sumber pengetahuan yang paling utama ialah akal. Sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi kontradiksi antara ketetapan kebijaksanaan dan ketentuan wahyu maka yang diutamakan ialah “ketetapan akal”. Adapaun ketentuan wahyu kemudian dita'wilkan sedemikian rupa supaya sesuai dengan ketetapan akal, atas dasar inilah orang beropini bahwa timbulnya aliran Mu'tazilah merupakan lahirnya aliran rasionalisme di dalam Islam.
2.      Amr bin Ubaid (wafat 143 H)
                 Amr ialah ipar dari Washil, beliau termasuk salah satu dari pemuka Mu’tazilah yang pertama namun ilmunya lebih rendah dibandingkan dengan Washil. Istri Washil mengungkapkan bahwa perbedaan ilmu Amr dan Washil ialah bagaikan langit dan bumi. Namun Amr populer alasannya ialah ketakwaannya dan adab muliannya.
3.      Abu Huzail al-Allaf (wafat 235 H)
                 Nama lengkapnya Abu Huzail Hamdan ibn Huzzail al-Allaf,ia dilahirkan pada tahun 135 H[7] di Bashrah yang kemudian menjadi sentra pengembangan Mu’tazilah dan meninggal pada tahun 235.Ia banyak membaca buku-buku filsafat Yunani yang memberi imbas baginya dalam menyusun dasar-dasar pemikirannya.Ia mencar ilmu dengan seorang yang berjulukan Utsman ibn Khalid ibn Thawil sedang Utsman ibn kholid ibn thowil pernah mencar ilmu dengan Washil ibn ‘Atha’ yang mendapatkan aliran itu dari Abu Hasyim Abdullah ibn Muhammad ibn Hanafiyah.Dikatakan orang aliran itu diambilnya dari Hasan Bashri Abu Huzail dikenal sebagai anak yang cerdas dan aktif mengikuti program diskusi-diskusi.Pada umur 15 tahun beliau telah sanggup mengalahkan seorang yahudi dalam suatu perdebatan sengit dimana yahudi tersebut telah banyak mengalahkan ulama-ulama Bashrah.[8]
                 Al-‘Allaf menulis dan mengarang banyak buku,sayangnya karya-karya itu tidak terselamatkan dan musnah dimakan zaman.Tetapi Ibn Khalkan menyebutkan satu kitab yang dinisbatkan kepada Abu Huzail yaitu kitab “Milasy”.
4.      Al- Nazzam (wafat 231 H)
                 Al-Nazzam ialah salah satu tokoh besar Mu’tazilah yang mendalam pemikirannya,paling berani,paling banyak berpikir merdeka.Dia ialah anak saudara wanita al-‘Allaf dan juga muridnya sekaligus.Al-Nazzam dilahirkan dan dibesarkan di Bashrah kemudian mengembara di pusat-pusat peradaban Islam dan kesudahannya ia menetap di Bagdad.Ia meninggal pada usia antara 60-70 tahun.
5.      Al-Jahiz (Wafat 256 H)
                 Nama lengkapnya ialah Amr bin Bakr Abu Utsman al-Jahiz. Ia ialah jago sastra, teologi, kalam, filsafat geografi, dan ilmu jiwa. Ia ialah murid al-Nazzam dan telah menjadi pengkhutbah yang handal dan pembela Mu’tazilah yang tangguh. Ia juga mengarang dan menerjemahkan banyak buku.
6.      Al-Jubba’i (wafat 303)
                 Nama lengkapnya ialah Abu ‘Ali Muhammad ibn ‘abd al-Wahhab al-Jubbai,ia dilahirkan pada tahun 235 dan wafat pada tahun 303 H.Sebutan al-Jubba’i diambil dari nama satu daerah yaitu Jubba di propinsi Khuzestan (Iran) daerah kelahirannya.
                 Al-Jubba’i ialah salah satu tokoh besar Mu’tazilah yang juga guru dari Abu Hasan al-‘Asy’ari tokoh utama ahlu al-sunnah.Ia mencar ilmu kepada Abu ya’qub al-Syahhab dan mutakallimin lain sezamannya.Ia banyak menulis wacana tantangannya kepada orang-orang yang menolak pendapat Mu’tazilah dan juga wacana tafsir al-Quran.Di antara kitab-kitabnya ialah kitab al-ushul,kitab asma’ wa al-sifat,dan beliau juga menulis kitab yang berisikan sanggahan-sanggahan terhadap rekan-rekannya satu madzhab menyerupai kitab al-makhluk,sanggahan terhadap Abu Huzail.

B.     Konsep pemikiran tokoh-tokoh Mu’tazilah
1.      Aliran Bashrah
a.       Washil bin Atha
          Ajaran aliran Washil sanggup disimpulkan sebagai berikut:
1)      Paham  nafy al-sifat. Ia, beropini bahwa Allah tidak mempunyai sifat alasannya ialah apabila Allah mempunyai sifat, sifat tersebut bersifat qadim, ini berarti Allah tidak Esa lagi. Peniadaan sifat ini dimaksudkan biar tidak ada ta’addud al-qudama’ sehingga Tuhan bukan satu lagi, melainkan banyak.
2)      Paham al-Qadariyah. Paham ini diperoleh Washil dari Ma’bad al-Juhaini dan Ghailan yang menyatakan bahwa insan mempunyai kenenasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan- perbuatannya. Pendapat ini berdasarkan dalil aqli: man amila salihah falinafsih dan in ahsatun ahsantum li anfusikum. Dan dalil aqli apabila insan bukan pencipta perbuatannya, ia tidak akan diberi ganjaran maupun mendapatkan saksi tetapi insan diberi pertanggung jawabannya. Golongan ini bukanlah orang yangt terlalalu mengagungkan kemampuan manusia, tetapi ajaran- aliran mereka bertujuan untuk menandakan keadilan mutlak bagi Allah, mereka beropini bahwa dengan diberinya insan kebebasan berbuat, ini memperlihatkan qudrah yang diciptakan-Nya pada manusia.
3)      Paham al-manzilah bain al-manzilatain, yaitu mencari jalan tengah bagi yang berbuat dosa besar, orang yang berbuat dosa besar ialah fasik. Pendapat ini berdasarkan pemikiran bahwa orang tersebut bukan termasuk mukmin alasannya ialah melanggar ajaran- aliran agama alasannya ialah melaksanakan dosa besar, tetapi juga bukan termasuk kafir alasannya ialah masih mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan perbuatan baik lainnya.[9]
4)      Washil beropini bahwa bai’at Abu Bakar ialah sah, pembunuhan Utsman ialah merupakan kekeliruan. Golongan yang terlibat dalam perang Shiffin melawan Ali telah melaksanakan dosa besar, dalam hal ini Mu’tazilah membela Ali. Dari sinilah timbul pernyataan bahwa diperbolehkan membunuh orang- orang fasik, sekalipun ia seorang sahabat.[10]
b.      Amr bin Ubaid (wafat 143 H)
          Amr memandang golongan yang terlibat dalam perang jamal tidak sanggup dinyatakan pihak mana yang bersalah, tetapi mesti ada yang bersalah. Karena Ali, Thalhah, Zubair, dan Aisyah orang- orang yang betul- betul berjasa dalam islam,[11] Washil dan Amr menyerahkan kasus ini kepada Allah.
c.       Abu Huzail al-Allaf (wafat 235 H)
          Ia hidup di masa kejayaan pemerintahan dinasti Bani Abbas dan menjadi guru bagi khalifah al-Ma’mun. Ia juga mempelajari filsafat Yunani dan mengislamkan beberapa aliran aneh tersebut, adapun ajaran- aliran Huzail sebagai berikut:
1)      Peniadaan sifat Allah. Ia beropini Allah Maha Mengetahui, dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya ialah Allah sendiri, sifat tidak berdiri sendiri dan menempel pada dzat-Nya. Ajaran ini diambil dari pendapat Aristoteles wacana Tuhan.[12]
2)      Kehendak Allah. Iradat ialah satu sifat perbuatan, yaitu sifat yang mengandung arti adanya kekerabatan Allah dengan makhluk-Nya, bial ia berkehendak berarti Allah mengetahui wacana keadaan sebelumnya. Dari sini bisa diketahui bahwa kehendak Allah tak bersifat mutlak alasannya ialah dibatasi dengan keadilan-Nya dan aturan alam.[13]
3)      Manusia sanggup menhetahui hal yang baik dan jelek melalui akalnya, walaupun ia belum mengethui syariat islam. Bila ia melaksanakan kejahatan, maka ia pun akan mendapatkan tanggapan atas perbuatannya.[14]
4)      Paham al-shalah wa al-ashlah. Allah membuat segala perbuatan baik dan bermanfaat bagi manusia. Dengan kata lain Allah telah berbuat zalim dan jahat berdasarkan pemikiran Mu’tazilah, akan tetapi dibalik itu semua selalu ada nasihat baiknya.[15]
d.      Al- Nazzam (wafat 231 H)
          Dia ialah murid dari Huzail yang populer pintar dan rasional. Al-Nazzam beropini bahwa perduga terhadap sesuatu yang mewaspadai ialah ilmu. Ia tidak percaya akan takhayul dan pesimisme, dengan demikian insan tidak akan bisa melihat jin yang berbeda susunannya dengan manusia.[16]
          Ia juga mengingkari ijma’ dan sedikit sekali mempercayai qiyas. Al-Nazzam beropini kemukjizatan al-Qur’an itu terdapat pada berita- informasi ghaibnya, adapun mengenai bentuk dan susunannya manusiapun bisa membuatnya apabila Allah tidak menghalanginya.[17]ia juga memandang bahwa hakikat insan ialah jiwanya, tubuh hanyalah alat saja, ia juga menyampaikan tubuh ialah penjara jiwa, kalaupun jiwa lepas dari tubuh maka ia akan kembali keasalnya.[18]
e.       Al-Jahiz (Wafat 256 H)
          Al-Jahiz populer dengan pendapatnya masalah perbuatan dan pengetahuan manusia. Dalam perbuatan, insan bisa membuat perbuatannya sendiri, sedangkan pengetahuan bukanlah belahan dari perbuatan insan alasannya ialah pengetahuan itu lahir dari indra atau melalui penalaran. Manusia dalam perbuatannya hanya menyatakan kehendak untuk berbuat, dan pengetahuan yang akan ia peroleh ialah perbuatan natur.dalam hal lain, al-Jahiz juga tidak mempercayai hadist nabi yang mutawatir.[19]
f.        Al-Jubba’i (wafat 303)
          Pendapat populer yang ia utarakan ialah mengenai pengingkaran sifat Allah alasannya ialah menurutnya ialah Allah mengetahui, berkuasa, dan hidup melalui esensinya. Kewajiban kebijaksanaan ialah mengetahui yang baik dan buruk, walaupun tanpa pemberian wahyu. Tentang kalam Allah, ia menyampaikan bahwa Allah membuat kalam bukan Allah yang berbicara.[20]
2.      Aliran Baghdad
a.       Bisyr bin al-Mu’tamar (wafat 210 H)
          Ia pindah ke Baghdad sehabis menerima ilmu dari Washil bi Atha, pendapat yang penting ialah mengenai pertanggungjawaban perbuatan manusia. Perbuatan anak kecil menurutnya tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, memang Allah kuasa memberi siksa, namun jikalau melaksanakan hal itu maka Allah berlaku zalim kepada dirinya sendiri alasannya ialah hal itu tidak pantas dilakukan oleh-Nya. Tentang perbuatan dosa besar apabila itu diulangi maka orang itu akan mendapatkan dosa sekalipun dahulu ia pernah bertaubat. Namun jikalau seseorang tidak mengulangi perbuatannya lagi maka taubat itu sanggup menghapus dosa.[21]
b.      Abu Musa al-Mundar (wafat 226 H)
          Abu Musa merupakan pemimpin aliran baghdad yang sangat ekstrim alasannya ialah pendapatnya yang mudahh mengkafirkan seseorang, menurutnya yang mengatakan, orang yang memandang bahwa, Allah sanggup dilihat dengan mata kepala, perbuatan insan diciptakan oleh Allah, yang memandang tidak jelasnya kekuasaan manusia, orang yang memperlihatkan sifat Allah menyerupai apa yang dimiliki makhluknya, dan yang memandang insan terpaksa dalam melaksanakan perbuatannya, semuanya ialah kafir.[22]
          Ia lah yang pertama kali mengeluarkan fitnah wacana khalq al-Qur’an dan juga menyatakan bahwa insan bisa menjiplak dalam bentuk dan gaya bahasa yang serupa.[23]
c.       Sumamah bin al-Asyras (wafat 213 H)
          Ia ialah salah satu pemimpin Mu’tazilah yang berjasa dalam penyebaran paham- paham Mu’tazilah hingga ketika itu khalifah al-Ma’mun selalu menuruti apa yang ia usulkan. Ia mempunyai perbedaan mengenai orang fasik, ia beropini bahwa orang fasik akan didera dineraka kelak bila tidak bertaubat. Sumamah juga menerangkan secara luas mengenai perbuatan jelek terjadi tanpa pelaku, pengetahuan lahir alasannya ialah daypikir dan pembahasan juga teori mutawalidat[24]
d.      Ahmad bin Abi Daud
Dari dialah khalifah- khalifah menyetujui diadakannya al-minhah khalaq al-Qur’an yang kemudian menjadi peristiwa bagi kaumnya sendiri. Dari suatu mazhab resmi negara menjadi mazhab yang dijauhi orang alasannya ialah ulah pemuka- pemukanya sendiri dan dukungan khalifah terhadap ajaran- ajarannya.[25]
C.     Implikasi aliran Mu’tazilah bagi perkembangan peradaban islam
            Jika dilihat dari bidang politik nampak bahwa aliran mu’tazilah mempunyai tugas yang besar didalamnya, selain dijadikan sebagai paham negara, para tokoh aliran ini banyak berkontribusi dalam kepemerintahan. Terbukti beberapa tokoh mu’tazilah diangkat menjadi penasehat negara dan guru bagi putra putri kerajaan. Adapun munculnya aliran mu’tazilah Bashrah juga terdapat unsur politik.
            Akal, pengetahuan dan pendidikan ialah suatu hal yang saling berhubungan. Karena aliran ini memakai kebijaksanaan sebagai pokok acuan, maka berkembang pula pendidikan kala itu. Bahkan bisa dibilang sebagai sentra pendidikan dunia. Pada masa ini para pengarang, penulis dan penerjemah buku sangat dijunjung tinggi, jikalau mereka menyelesaikan sebuah buku mereka akan diberi imbalan berupa kepingan emas seberat buku yang mereka buat. Ketika perpustakaan Eropa mempunyai 1.500 judul buku, perpustakaan islam telah mempunyai 1.800.000 judul buku. Tercatat, banyak ilmuan-ilmuan islam hadir ketika itu.
Para pemeluk agama islam terdahulu yang masuk islam, menyerupai penduduk Mesir, Syria, Persia, Romawi, dan Irak, telah telah mempunyai kebudayaan yang telah terpengaruh oleh peradaban Yunani, Romawi, dan Bizantium. Mereka telah terpengaruh oleh filsafat dan negara-negara itu. Untuk kepentingan penyebaran islam dan mempertahankannya, golongan mu’tazilah memperdalam filsafat. Demikian, mereka mengaitkan agama dengan filsafat biar sanggup lebih diterima oleh mereka yang telah lebih dulu memahami filsafat. Dengan filsafat, golongan ini mengalami kemajuan, namun dengan filsafat pula golongan ini mengalami kemunduran.
Hadirnya golongan ini juga telah memberi warna dalam ilmu teologi islam. Aliran kalam yang sebelumnya hanya memekai wahyu dalam pelaksanaannya, dirubah dengan memakai kebijaksanaan dan pikiran- pikiran rasional. Sampai pada kesudahannya menerima julukan sebagai “kaum rasional islam”. Hal ini pula yang membuat ilmu kalam selalu menarik untuk dikaji hingga ketika ini[26].

KESIMPULAN

            Berbicara mengenai asal permintaan munculnya aliran Mu’tazilah dan semenjak kapan nama ini dipakai, sebenar-benarnya memang sulit, banyak sekali pendapat juga telah diutarakan oleh para ahli, namun belum mencapai kesepakatan. namun terang bahwa Mu’tazilah ialah aliran teologi islam yang rasional juga liberal yang hadir sehabis insiden Washil bin Atha dan Hasan al-Bashri meskipun sebelum masa itu telah muncul kata al-Mu’tazilah.
            Bila dilihat dari insiden Washil bin Atha dan Hasan al-Bashri. Dapat terlihat bahwa hadirnya aliran Mu’tazilah ini mencoba menjadi jalan tengah bagi aliran- aliran sebelumnya. Meski banyak dari tokoh- tokoh Mu’tazilah yang mempunyai pendapat yang terkesan menjadikan kontrofersi, namun kita patut berterimakasih pada aliran ini, alasannya ialah merekalah yang memberi warna gres dalam berkembangnya ilmu teologi islam, juga dalam menempatkan kebijaksanaan dalam islam.
            Pada masa kekhalifaan Bani Abbasiyah aliran Mu’tazilah mengalami perkembangan yang sangat pesat beriringan dengan perkembangan kekhalifaan Bani Abbasiyah. Bahkan pada masanya aliran ini juga sangat disegani, mereka juga menghiasi jabatan- jabatan penting didalam pemerintahan. Bani Abbasiyah memakai aliran Mu’tazilah sebagai Mazhab tak lepas dari perkembangan pemikiran rasional para pemimpinnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abu, Muhammad Zahrah. tarikh al-Mazahib al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Fikr al-   Arabi, t.t.
Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1964.
Amin, M. Nurdin. sejarah pemikiran islam. Jakarta: Amzah, 2015.
Ibrahim, Muhammad. al-Fayumi al-Mu’tazilah Takwin al-‘Aqli al-‘Arabi. Kairo:Dar al- Fikri al-‘Arabi, 2002.
J, E. Brill. First Encyclopedia of Islam. Leiden: 1987.
Jabar al-Qadhi, Abdul . Syarh al- Ushul al- Khamsah. Kairo: Maktabah al- Wahibiyah, 1965.
Jabar al-Qadhi, Abdul.  al-Muniyyat wa al-Amal. Iskandariyah: Dar al-Ma’rifat al-  Jami’iyah, 1985.
Musthafa, Ali al-Ghurabi. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah.Mesir: Muhammad Ali Shubaih wa Auladuh, 1958.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta: UI Press, 2013.
Rahman (al) Badawi, ‘Abd. Madzahib al-Islamiyyin. Beirut: Dar al-‘Ilmi li al-  Malayin, 1998.