Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Islam Dan Budaya Lokal


        PENDAHULUAN
Secara teoritis bahwa urutan sumber aturan Islam ialah al-Qur’an dan Sunnah yang merupakan dua sumber pokok (mas}a>dir) aturan Islam. Hasil pemikiran dan pendapat para ulama kemudian menjadi sumber aturan berikutnya. Pendapat yang disepakati semua ulama (ijma>k) tentu lebih tinggi nilai dan kemungkinan benarnya sampai menjadi sumber ketiga. Sedangkan yang bersifat metode khusus yang menganalogikan apa yang terdapat dalam nash dengan kasus yang tidak tercantum dalam nash tetapi mempunyai krakteristik yang sama (al-qiya>s) menjadi sumber keempat.
Setelah sumber perimer ini, ada seperangkat dalil aturan yang bersifat melengkapi dan keberadaannya belum disepakati semua ulama diantaranya ialah ‘urf. ‘Urf ini merupakan salah satu sumber aturan yang diambil mazhab Hanafi dan Maliki, yang berada di luar lingkup nash. Secara historis, ‘urf digunakan di kalangan mahir fiqh semenjak berkembangnya permasalahan yang menyangkut furu’iyah yang terdapat dalam nash tetapi sebagian aturan yang ada dalam nash sudah menjadi kebiasaan (‘urf) masyarakat ketika itu. Kebiasaan itu sanggup diterima oleh Islam selama tidak bertentangan dengan nash. Maka dalam makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan wacana aturan Islam terkait dengan budaya lokal.

    PEMBAHASAN
A.    Universalisme Islam
Universalisme (al-'Alamiyah) Islam ialah salah satu karakteristik Islam yang agung. Islam sebagai agama yang besar berkarakteristikkan: (1) Rabbaniyyah, (2) Insaniyyah (humanistik), (3) Syumul (totalitas) yang meliputi unsur keabadian, universalisme dan menyentuh semua aspek insan (ruh, akal, hati dan badan), (4) Wasathiyah (moderat dan seimbang), (5) Waqi'iyah (realitas), (6) Jelas dan gamblang, (7) Integrasi antara al-T{abat wa al-Muru>nah (permanen dan elastis).[1]
Universalisme Islam yang dimaksud ialah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dia-lah bangsa yang terpilih, dan karenanya semua insan harus tunduk kepadanya.
Risalah Islam ialah hidayah Allah untuk segenap insan dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya. Manifesto ini termaktub infinit dalam firman-Nya:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ 
Artinya: "Dan tidak Kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam".[2]
Ayat-ayat di atas yang nota bene Makkiyah, secara implisit membantah tuduhan sebagian orientalis yang menyatakan bahwa Muhammad Saw tidak memproklamirkan pengutusan dirinya untuk seluruh umat insan pada awal kerisalahannya, akan tetapi sehabis menerima kemenangan atas bangsa Arab.[3]
Universalisme Islam menampakkan diri dalam aneka macam manifestasi penting, dan yang terbaik ialah dalam ajaran-ajarannya.[4] Ajaran-ajaran Islam yang meliputi aspek akidah, syari'ah dan moral (yang sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan perilaku hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap kasus utama kemanusiaan. Hal ini sanggup dilihat dari enam tujuan umum shari'ah yaitu; menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang luhur, yang sanggup di katakan sebagai tujuan dasar shari'ah yaitu; keadilan, ukhuwah, taka>ful, kebebasan dan kehormatan.[5]
Semua ini kesannya bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya. Dan menyerupai kita tahu, bahwa pandangan hidup (world view, weltanschawung) yang paling terperinci ialah pandangan keadilan sosial.[6]

B.     Kosmopolotalisme Kebudayaan Islam
Selain merupakan pancaran makna Islam itu sendiri serta pandangan wacana kesatuan kenabian (wahdat al-nabawiyah; the unity of prophet) berdasarkan makna Islam itu, serta konsisten dengan semangat prinsip-prinsip itu semua, kosmopolitanisme budaya Islam juga menerima pengesahan-pengesahan eksklusif dari kitab suci menyerupai suatu legalisasi berdasarkan konsep-konsep kesatuan kemanusiaan (wih}dat al-insa>niyah; the unity of humanity) yang merupakan kelanjutan konsep kemahaesaan Tuhan (wah}da>niyat atau tauh}i>d; the unity of god). Kesatuan asasi ummat insan dan kemanusiaan itu ditegaskan dalam Firman-Nya:
tb%x. â¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur y]yèt7sù ª!$# z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# šúï̍Ïe±u;ãB tûïÍÉYãBur tAtRr&ur ãNßgyètB |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3ósuŠÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# $yJŠÏù (#qàÿn=tF÷z$# ÏmŠÏù 4 $tBur y#n=tG÷z$# ÏmŠÏù žwÎ) tûïÏ%©!$# çnqè?ré& .`ÏB Ï÷èt/ $tB ÞOßgø?uä!%y` àM»oYÉit6ø9$# $JŠøót/ óOßgoY÷t/ ( yygsù ª!$# šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä $yJÏ9 (#qàÿn=tF÷z$# ÏmŠÏù z`ÏB Èd,ysø9$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ 3 ª!$#ur Ïôgtƒ `tB âä!$t±o 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ ?LìÉ)tGó¡B ÇËÊÌÈ 
"Ummat insan itu dulunya ialah ummat yang tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi untuk membawa kabar besar hati dan memberi peringatan dan bersama para nabi itu diturunkannya kitab suci dengan membawa kebenaran, supaya kitab suci itu sanggup memberi keputusan wacana hal-hal yang mereka perselisihkan...".[7]
Para pengikut Nabi Muhammad diingatkan untuk selalu menyadari sepenuhnya kesatuan kemanusiaan itu dan berdasarkan kesadaran itu mereka membentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari seluruh budaya ummat manusia.[8]
Refleksi dan manifestasi kosmopolitanisme Islam sanggup dilacak dalam etalase sejarah kebudayaan Islam semenjak jaman Rasulullah, baik dalam format non material menyerupai konsep-konsep pemikiran, maupun yang material menyerupai seni arsitektur bangunan dan sebagainya. Pada masa awal Islam, Rasulullah Saw berkhutbah hanya dinaungi sebuah pelepah kurma.
Kemudian, tatkala kuantitas kaum muslimin mulai bertambah banyak, dipanggillah seorang tukang kayu Romawi. Ia berbagi untuk Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang digunakan untuk khutbah Jum’at dan muna>sabah-muna>sabah lainnya. Kemudian dalam perang Ahzab, Rasul mendapatkan saran Salman al-Farisy untuk membuat parit (khandaq) di sekitar Madinah. Metode ini ialah salah satu metode pertahanan ala Persi. Rasul mengagumi dan melaksanakan saran itu. Beliau tidak mengatakan: "Ini metode Majusi, kita tidak memakainya!". Para sahabat juga menggandakan manajemen manajemen dan keuangan dari Persi, Romawi dan lainnya. Mereka tidak keberatan dengan hal itu selama membuat kemashlahatan dan tidak bertentangan dengan Nas. Sistem pajak jaman itu diadopsi dari Persi sedang sistem perkantoran (diwan) berasal dari Romawi.[9]
Pengaruh filsafat Yunani dan budaya Yunani (hellenisme) pada umumnya dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam sudah bukan merupakan hal gres lagi. Seperti halnya budaya Yunani, budaya Persia juga amat besar sahamnya dalam pengembangan budaya Islam. Jika dinasti Umawiyah di Damaskus menggunakan sistem administratif dan birokratif Byzantium dalam menjalankan pemerintahannya, dinasti Abbasiyah di Baghdad (dekat Tesiphon, ibu kota dinasti Persi Sasan) meminjam sistem Persia. Dan dalam pemikiran, tidak sedikit pengaruh-pengaruh Persianisme atau Aryanisme (Iranisme) yang masuk ke dalam sistem Islam. Hal ini terpantul dengan terperinci dalam buku al-Ghazali (ia sendiri orang Parsi), Nashihat al-Mulk, siyasat namah (pedoman pemerintahan), yang juga banyak menggunakan bahan-bahan pemikiran Persi.[10]
Islam, Bias Arabisme dan Akulturasi Timbal Balik dengan Budaya Lokal Walaupun Islam sebagai agama bersifat universal yang menembus batas-batas bangsa, ras, klan dan peradaban, tak sanggup dinapikan bahwa unsur Arab mempunyai beberapa keistimewaan dalam Islam. Ada hubungan besar lengan berkuasa yang mengisyaratkan ketiadaan pertentangan antara Islam sebagai agama dengan unsur Arab. Menurut Dr. Imarah, hal ini sanggup dilihat dari beberapa hal :
1.      Islam diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah, seorang Arab. Juga, mukjizat terbesar agama ini, al-Quran, didatangkan dengan bahasa Arab yang terperinci (al-Mubi>n), yang dengan ketinggian sastranya sanggup mengungguli para sastrawan terkemuka Arab sepanjang sejarah. Sebagaimana memahami dan menguasai al-Qur’a>n sangat sulit dengan bahasa apapun selain Arab. Implikasinya, Islam menuntut pemeluknya kalau ingin menyelami dan mendalami makna kandungan al-Quran, maka hendaknya mengarabkan diri.
2.      Dalam menyiarkan dakwah Islam yang universal, bangsa Arab berada di garda depan, dengan pimpinan kearaban Nabi dan al-Qur’a>n, kebangkitan realita Arab dari segi "sebab turunnya wahyu" dengan tugas sebagai buku catatan interpretatif terhadap al-Qur'a>n dan lokasi dimulainya dakwah di jazirah Arab sebagai "peleton pertama terdepan" di barisan tentara dakwahnya.
3.      Jika agama-agama terdahulu mempunyai karakteristik yang sesuai dengan konsep Islam lokal, kondisional dan temporal, pada dikala Islam berkarakteristikkan universal dan mondial, maka posisi mereka sebagai "garda terdepan" agama Islam ialah menembus batas wilayah mereka.[11]
Walaupun begitu, berdasarkan pengamatan Ibnu Khaldun, seorang sosiolog dan sejarawan muslim terkemuka, bahwa di antara hal absurd tapi nyata bahwa lebih banyak didominasi ulama dan cendekiawan dalam agama Islam ialah 'Ajam (non Arab), baik dalam ilmu-ilmu shari'at maupun ilmu-ilmu akal. Kalau toh di antara mereka orang Arab secara nasab, tetapi mereka 'Ajam dalam bahasa, lingkungan pendidikan dan gurunya.[12]
Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa bersamaan dengan meluasnya kawasan Islam, muncullah banyak kasus dan bid'ah, bahasa Arab sudah mulai terpolusikan, maka dibutuhkan kaidah-kaidah Nahwu. Ilmu-ilmu syari'at menjadi keterampilan atau keahlian istinbath, deduktif, teoritisasi dan analogi. Ia membutuhkan ilmu-ilmu pendukung yang menjadi cara-cara dan metode-metode berupa pengetahuan undang-undang bahasa Arab dan aturan-aturan istinbath, qiyas yang diserap dari aqidah-aqidah keimanan berikut dalil-dalilnya, lantaran dikala itu muncul bid'ah-bid'ah dan ilhad (atheisme). Maka jadilah ilmu-ilmu ini semua ilmu-ilmu keterampilan yang membutuhkan pengajaran. Hal ini masuk dalam golongan komoditi industri, dan sebagaimana telah dijelaskan, bahwa komoditi industri ialah peradaban orang kota sedangkan orang Arab ialah sangat jauh dari hal ini.[13] Ibnu Khaldun menyebutkan, intelektual-intelektual yang mempunyai bantuan sangat besar dalam ilmu nahwu menyerupai Imam Sibawaih, al-Farisi, dan al-Zujjaj. Mereka semua ialah 'ajam. Begitu juga intelektual-intelektual dalam bidang hadits, ushul fiqih, ilmu kalam dan tafsir. Benarlah sabda Rasulullah; "Jika saja ilmu digantungkan diatas langit, maka akan diraih oleh orang-orang dari Persia".[14]
Kita lihat juga bahwa budaya Persia; budaya yang pernah jaya dan dikala Islam masuk; ia sedang menyusut, ialah mempunyai imbas yang demikian dalam, luas, dinamis dan kreatif terhadap perkembangan peradaban Islam. Lihat saja al-Ghazali, meskipun ia kebanyakan menulis dalam bahasa Arab sesuai konvesi besar kesarjanaan dikala itu, ia juga menulis beberapa buku dalam bahasa Persi. Lebih dari itu, dalam menjabarkan aneka macam ide dan argumennya, dalam menandaskan mutlaknya nilai keadilan ditegakkan oleh para penguasa, ia menyebut sebagai tumpuan pemimpin yang adil itu tidak hanya Nabi saw dan para khalifah bijaksana khususnya Umar bin Khat}t}a>b, tetapi juga al-Nushirwan, seorang raja Persia dari dinasti Sasan.[15]
Menarik untuk diketengahkan juga walaupun dikala ini Persia atau Iran mengakibatkan Syiah sebagai mad}hab, namun lima dari penulis kumpulan hadits Sunni dan Kutub as-Sittah berasal dari Persia. Mereka ialah Imam Bukhari, Imam Muslim al-Naisaburi, Imam Abu Dawud al-Sijistani, Imam al Turmud}i dan Imam al-Nasai.
Dari paparan di atas, memperlihatkan kepada kita betapa kebudayaan dan peradaban Islam dibangun diatas kombinasi nilai ketaqwaan, persamaan dan kreatifitas dari dalam diri Islam yang universal dengan akulturasi timbal balik dari budaya-budaya lokal luar Arab yang terislamkan. Pun tidak hendak mempertentangkan antara Arab dan non Arab. Semuanya tetap bersatu dalam label "muslim".
"Yang terbaik dan termulia ialah yang paling taqwa".[16]
"yang paling suci, yang paling banyak dan tulus bantuan amal-nya untuk kemulian Islam".[17]

C.    Akulturasi Islam dengan Budaya di Indonesia
Seperti di kemukakan di atas, Islam ialah agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchawung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta mempunyai konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh aliran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.[18]
Pada dikala yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai huruf dinamis, lentur dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi Islam".
Upaya rekonsiliasi memang masuk akal antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan semenjak usang serta sanggup dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak ialah tumpuan konkrit dari upaya rekonsiliasi atau fasilitas itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang gres beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.[19]
Hal ini berbeda dengan Nasrani yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya sanggup diubahsuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat terperinci terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga imbas arsitektur khas mediterania. Budaya Islam mempunyai begitu banyak varian.[20]
Yang patut diamati pula, kebudayaan terkenal di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan terkenal di Indonesia.
Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah menyerupai wahyu, wangsit atau wali misalnya, ialah istilah-istilah pertolongan untuk meliputi konsep-konsep gres yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer.[21]
Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang "Arabi-sasi", mana yang "Islamisasi". Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta bukan menyerupai yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran.[22] Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata 'nyembah sang Hyang') ialah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat meliputi dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata. Adalah naif juga mengganti salam Islam "Assala>mu'alaikum" dengan "Selamat Pagi, Siang, Sore ataupun Malam". Sebab esensi doa dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat dalam ucapan "Selamat Pagi" yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri memang dianjurkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya.

D.    Kedudukan ‘Urf dalam Hukum Islam
1.      Pengertian ‘Urf
Secara etimologi ‘Urf berarti “yang baik”. Para ulama Ushul fiqh membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk memutuskan aturan syara’. Adat didefenisikan dengan.[23] “Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”.
Menurut defenisi ini bahwa apabila perbuatan dilakukan secara berulang-ulang berdasarkan aturan akal, tidak dinamakan adat. Tetapi adat itu meliputi kasus yang amat luas yang menyangkut permasalahan pribadi, menyerupai kebiasaan seseorang dalam tidur, makan dan mengkonsumsi jenis masakan tertentu, atau permasalah yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan buruk. Adat sanggup muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, menyerupai korupsi, sebagaimana juga adat sanggup muncul dari kasus tertentu, menyerupai perubahan budaya suatu kawasan disebabkan imbas budaya asing.
Menurut Abdul Wahab Khalla>f, ‘Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh insan dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan, perbuatan ataupun hal meninggalkan sesuatu juga disebut Adat.[24]
Menurut istilah mahir syara’, tidak ada perbedaan diantara ‘urf dengan adat, maka ‘urf yang bersifat perbuatan ialah menyerupai saling pengertian insan wacana jual beli dengan pelaksanaannya tanpa shigat yang diucapkan. Sedangkan ‘urf yang bersifat ucapan ialah menyerupai saling mengerti mereka wacana kemutlakan lafal al-wadad ialah anak pria bukan anak perempuan, dan juga pengertian mereka supaya tidak mengitlakkan lafal al-lahm yang bermakna daging atas ­al-samak yang bermakna ikan tawar. Makara ‘urf ialah terdiri dari saling pengertian insan atas perbedaan tingkatan mereka, keumumannya dan kekhususannya. Berbeda dengan ijmak, lantaran ijmak itu ialah tradisi dan kesepakatan para mujtahidin secara khusus dan umum, dan tidak termasuk ikut membentuk di dalammnya.[25]
Defenisi lain dari ‘Urf ialah sesuatu yang telah dikenal insan dan tetap dalam menjalankannya baik berupa ucapan dan perbuatan. ‘urf yang dimaksud ialah yang baik bukan yang mungkar. Dan ‘urf juga disebut adat, lantaran sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang untuk menghasilkan tujuannya. Dan adat lebih penting dari ‘urf, lantaran adat sudah menjadi kebiasaan seseorang pribadi tertentu, maka tidak dinamakan ‘urf tetapi kebiasaan yang sudah menjadi kesepakatan bersama, itulah yang dinamakan dengan‘urf baik bersifat khusus maupun bersifat umum.[26]

E.     Macam-macam ‘Urf
Ulama ushul fiqh membagi urf kepada:[27]
1.      Dari segi obyeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘Urf al-Lafz}i (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘Urf al-‘Amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a.       al-‘Urf al-Lafz}i ialah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam fikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan “daging” yang berarti daging sapi, padahal kata-kata “daging” meliputi seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu mempunyai bermacam-macam daging, kemudian pembeli menyampaikan “saya beli daging satu kilogram”, pedagang itu eksklusif mengambilkan daging sapi, lantaran kebaiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.[28]
Apabila dalam memahami ungkapan itu diharapkan indikator lain, maka tidak dinamakan ‘urf . Misalnya, seseorang tiba dalam keadaan murka dan ditangannya ada tongkat kecil, seraya berucap “jika saya bertemu dia saya akan bunuh dengan tongkat ini”. Dari ucapannya ini dipahami bahwa yang dia maksud dengan membunuh tersebut ialah memukulnya dengan tongkat. Ungkapan ini tidak dinamakan ‘urf tetapi termasuk dalam majaz (metafora).[29]
b.      al-‘Urf al-‘Amali, ialah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amanah keperdataan. Dimaksud dengan “perbuatan biasa” ialah perbuatan masyarakat dalam kasus kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, menyerupai kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu dalam menggunakan pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata ialah kebiasaan masyarakat dalam melaksanakan akad/ transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyarakat dalam berjaul beli barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat atau besar, menyerupai lemari es, ataupun peralatan rumah tangga lainya, tanpa dibebani biaya tambahan. Contoh lain ialah kebiasaa masyarakat dalam berjual beli dengan mengambil barang dan membayar uang, tanpa adanya kesepakatan secara jelas, menyerupai yang berlaku dipasar-pasar swalayan. Jual beli menyerupai ini ialah fiqh Islam disebut dengan bayu’ al-mu’athoh.[30]
Contoh lain ialah pemakaian kamar mandi atau WC umum dengan membayar tarif tertentu tanpa batas waktu tertentu. Dengan demikian: “sewa tertentu”, cukup untuk pemakaian kamar mandi atau WC umum tersebut dalam rentang waktu sesuai kebutuhan.
2.      Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khas (kebiasaan yang bersifat khusus)
a.       al-‘urf al-‘am, ialah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya, dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diharapkan untuk memperbaiki kendaraan beroda empat menyerupai kunci, tang, dongkrak dan ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa kesepakatan sendiri dan biaya tambahan, mandi dikolam dimana sebagian orang terkadang melihat aurat temannya. Ulama mazhab Hanafi memutuskan bahwa ‘urf ini (‘Urf ‘Am) sanggup mengalahkan qiyas.[31]
b.      al-‘Urf al-Khas, ialah kebiasaan yang berlaku didaerah dan masyarakat tertentu, misalnya, dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli sanggup dikembalikan dan untuk cacat lainya dalam barang itu, konsumen tidak sanggup mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garasi terhadap barang tertentu.
3.      Dilihat dari segi keabsahannya ‘urf dibagi kepada :
a.       ‘Urf yang Fa>sid (rusak/ jelak) yang tidak bias diterima, yaitu ‘urf yang bertentangan dengan nash qath’iy. Misalnya, wacana makan riba.
b.      ‘Urf yang S{ahih (baik/ benar) ‘Urf shahih ialah suatu yang telah dikenal insan dan tidak bertentangan dengan dalil syara’.[32] ‘Urf ini sanggup diterima dan dipandang sebagai sumber pokok aturan Islam.[33] ‘Urf ini tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib, menyerupai saling mengerti mausia wacana kontrak pemborogan, atau pembagian mas kawin (mahar) kepada mahar yang didahulukan atau yang diakhirkan.

F.     Syarat-syarat ‘Urf
Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu ‘urf gres sanggup dijadikan sebagai salah satu dalil dalam memutuskan aturan syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[34]
1.      ‘Urf itu baik (baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan), berlaku secara umum. Artinya, ‘urf itu berlaku dalam lebih banyak didominasi kasus yang terjadi ditengan-tengah masyarakat dan dianut oleh lebih banyak didominasi masyarakat tersebut.
2.      ‘Urf telah memasyarakat ketika kasus yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran aturan itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitannya dengan hal ini terdapat kaidah ushuliyyah yang menyampaikan : “Urf yang datang, kemudian tidak sanggup dijadikan sandaran aturan terhadap kasus yang telah lama”
3.      ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara terperinci dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah memilih secara terperinci hal-hal yang harus dilakukan, menyerupai dalam membeli lemari es, disepakati oleh pembeli dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli kerumahnya. Sekalipun ‘urf memilih bahwa lemari es yang dibeli dihantarkan pedagang kerumah pembeli, tetapi lantaran dalam kesepakatan secara terperinci mereka telah sepakat bahwa pembeli akan membawa barang tersebut sendiri ke rumahnya, maka ‘urf itu tidak berlaku lagi.
4.      ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash sehingga mengakibatkan aturan yang dikandung itu tidak sanggup diterapkan. ‘Urf menyerupai ini tidak sanggup dijadikan dalil syara’, lantaran kehujjahan ‘urf sanggup diterima apabila tidak ada nash yang mengandung aturan permasalahan yang dihadapi.

G.    Kehujjahan ‘Urf
Ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘Urf al-S{ah}ih}, yaitu ‘urf yang tidak bertetangan dengan syara’. Baik yang menyangkut ‘urf al-‘am dan ‘urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan ‘urf al-lafz}i dan ‘urf al-amali, sanggup dijadikan hujjah dalam memutuskan aturan syara’.[35]
Dan para ulama telah mengakibatkan dalil ‘urf sebagai hujjah dengan dalil-dalil sebagai berikut :
1.      Firman Allah Swt. Dalam surat al-A’raf ayat 199 :
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ 
Artinya: “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
2.      Hadis Rasulullah saw :
Rasulullah Saw berkata kepada Hindun isteri Abu Sufyan, ketika menceritakan kepada Rasul wacana kebakhilan suaminya kepadanya akan nafkah hidupnya :
Al-Qurthubi mengatakan, hadis ini merupakan I’tibar bahwa ‘urf merupakan syari’at.[36]
Seorang mujtahid dalam memutuskan suatu hukum, berdasarkan Imam al-Qarafi (w. 684 H /1285 M. mahir fiqh Maliki),[37] harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga aturan yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Seluruh Imam mazhab, berdasarkan al-Syatibi (w. 970 H. / mahir ushul fiqh Maliki), dan Imam Ibn Qoyyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M / mahir ushul fiqh Hanbali), mendapatkan dan mengakibatkan ‘urf sebagai dalil shara’, dalam menatapkan hukum, apabila tidak ada nash yang mejelaskan aturan suatu kasus yang dihadapi. Misalnya, seseorang yang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Akan tetapi, perbuatan menyerupai ini telah berlaku luas ditengah-tengah masyarakat, sehingga seluruh ulama mazhab menganggap sah kesepakatan ini. Alasan mereka ialah ‘urf al-‘amali yang berlaku.
Para ulama juga sepakat menyampaikan bahwa ketika ayat-ayat Alqur’an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada sebelum Islam. H{adis Rasulullah juga banyak memperlihatkan keberadaan ‘urf yang berlaku dimasyarakat menyerupai H{adis wacana jual beli pesanan (salam). Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Ibn Abba>s dikatakan bahwa Rasulullah Saw. Hijrah kemadinah, dia melihat penduduk setempat melaksanakan jual beli salam tersebut. Lalu Rasululllah Saw, bersabda: “Siapa yang melaksanakan jual beli salam pada kurma, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya”. (HR al-Bukhari). Dari beberapa kasus ‘urf yang dijumpai, para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang terkaitan dengan‘urf diantaranya ialah yang paling mendasar. العدة محكمة “Adat kebiasaan itu sanggup menjadi hukum”.
لا ينكر تغير الاحكام بتغير لازمنةوالامكنة Tidak diingkari perubahan aturan disebabkan perubahan zaman dan tempat. المعروف عرفا كالمشروط شرطا Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagimana yang disyaratkan itu menjadi syarat. الثابت بالعرف كالثانت بالنص Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat atau hadis) Hukum-hukum yang diasarkan kepada ‘urf sanggup berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat tertentu.

H.    Pertentangan ‘Urf dengan Dalil Syara’
‘Urf yang berlaku dimasyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam pertentagan ‘urf dengan nash, ulama us}u>l fiqh memperlihatkan perincian sebagai berikut:
1.      Pertentanag ‘urf dengan nash yang bersifat khusus/ rinci.
Apabila petentangan ‘urf dengan nash khusus menyebutkan tidak berfungsinya aturan yang dikandung nash, maka ‘urf tidak sanggup diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman Jahiliyah dalam mengadopsi anak, dimana anak yang diadopsi statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka menerima waris apabila ayah angkatnya wafat. ‘Urf menyerupai ini tidak berlaku dan tidak sanggup diterima. Dalam Al-qur’a>n dijelaskan, bahwa pengangkatan anak (adopsi) yang menjadikannya berstatus sebagai anak kandung sendiri, Islam melarang hal ini dengan turunnya ayat Al-qur’a>n al-Ahza>b ayat 37 :
øŒÎ)ur ãAqà)s? üÏ%©#Ï9 zNyè÷Rr& ª!$# Ïmøn=tã |MôJyè÷Rr&ur Ïmøn=tã ô7Å¡øBr& y7øn=tã y7y_÷ry È,¨?$#ur ©!$# Å"øƒéBur Îû šÅ¡øÿtR $tB ª!$# ÏmƒÏö7ãB Óy´øƒrBur }¨$¨Z9$# ª!$#ur ,ymr& br& çm9t±øƒrB ( $£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷ƒy $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 Ÿw tbqä3tƒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷Šr& #sŒÎ) (#öqŸÒs% £`åk÷]ÏB #\sÛur 4 šc%x.ur ãøBr& «!$# ZwqãèøÿtB ÇÌÐÈ  
Artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri kepreluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kau dengan dia (setelah habis iddahnya) supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini isteri-isteri bawah umur angkat mereka, apabila bawah umur angkat itu telah menuntaskan keperluannya daripada isteri-isterinya. Dan ialah ketetapan Allah itu niscaya terjadi”.
2.      Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum Must}afa Ahmad al-Zarqa> mengatakan, apabila ‘urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafz}i dengan ‘urf al-‘amali. Apabila ‘urf tersebut ialah ‘urf al-lafzhi, maka ‘urf itu sanggup diterima, sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas ‘urf al-lafz}i yang telah berlaku tersebut, dengan syarat, tidak ada indikator yang memperlihatkan bahwa nash umum itu tidak sanggup dikhususkan oleh ‘urf. Misalnya, kata-kata shalat, puasa, haji dan jual beli, diartikan dengan makna ‘urf kecuali ada indikator yang memperlihatkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologinya.
Apabila ‘urf yang ada ketika datangnya nash yang bersifat umum itu ialah ‘urf al-‘amali, maka terdapat perbedaan pendapat ulama wacana kehujjahanya. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ‘urf al-‘amali itu bersifat umum, maka ‘urf tersebut sanggup mengkhususkan aturan nash yang umum, lantaran pengkhususan itu, berdasarkan ulama Hanafiyah hanya sebatas al-‘urf al-‘amali yang belaku, diluar itu nash yang bersifat umum tersebut tetap berlaku. Misalnya, dalam sebuah Hadis Rasulullah saw : “Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki insan dan memberi dispensasi dalam jual beli pesanan “ (HR al-Bukhari dan Abu Daud) H{adis ini, berdasarkan Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku untuk seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum ada, kecuali dalam jual beli pesanan. Termasuk dalam larangan ini ialah kesepakatan istis}na’ (akad yang berkaitan dengan produk suatu industri). Akan tetapi lantaran kesepakatan istisna’ ini telah menjadi ‘urf dalam masyarakat diberbagai daerah, maka ijtihad para mahir fiqh, termasuk Jumhur ulama membolehkannya sesuai dengan ‘urf menyerupai ini tidak sanggup mengkhususkan aturan umum yang dikandung nash tersebut.
3.      ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut.
Apabila suatu ‘urf terbentuk sehabis datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ‘urf menyerupai ini, baik yang bersifat lafzhi maupun ‘amali, tidak sanggup dijadikan dalil-dalil dalam memutuskan aturan syara’, lantaran keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah menetukan aturan secara umum.
Akan tetapi apabila illat suatu nash syara’ ialah ‘urf itu sendiri, dalam arti turunnya nash didasarka atas ‘urf al-‘amali sekalipun ‘urf itu gres tercipta maka ketika illat nash itu hilang, hukumnya pun berubah. Misalnya, dijelaskan dalam sebuah hadis Rsulullah Saw, bahwa gejala kerelaan anak perawan ketika diminta izin untuk dikawinkan, ialah “diamnya”, atau diamnya ialah kerelaannya, lantaran sudah menjadi watak perempuan merasa malu untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai perkembangan zaman, hal ini demikian hampir tidak dijumpai lagi bahwa anak perawan lebih kasar untuk mengungkapkan keinginannya untuk dikawinkan dengan lelaki yang ia sukai. Menurut Must
}afa al-Zarqa>, ‘urf para anak gadis dikala ini telah berubah. Dengan demikian, untuk menikahkan anak perawan apabila diminta izinnya kemudian diam, tidak sanggup lagi diamnya itu dijadikan persetujuan. Dan harus menunggu keterusterangan dari anak perawan itu. Dalam hal ini, ‘urf gadis pintar balig cukup akal dalam menyangkut persetujuannya untuk dinikahkan telah berubah dari yang tercantum dalam Hadis diatas maka hukumnya pun berubah.

   PENUTUP
Sejarah rekonsiliasi antara Islam sebagai agama dan budaya lokal yang melingkupinya serta adanya landasan aturan legitimatif dari shara' berupa 'urf dan mashlahah. Maka untuk seni manajemen pengembangan budaya Islam di Indonesia, kita perlu bervisi ke depan. Kenapa harus budaya? Karena budaya menyentuh seluruh aspek dan dimensi cara pandang, perilaku hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Selain itu, gerakan kultural lebih integratif dan massal sifatnya.
Kebiasaan yang dilakukan oleh insan ditengah-tengah masyarakat tertentu apabila tidak bertentangan dengan syara’ sanggup diterima sebagai ‘urf. Dan disamping tidak bertentangan dengan syara’ harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ushul fiqh untuk sanggup dijadikan hujjah. Dilihat dari pembagian ‘urf ada ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid, maka ‘urf yang shahih diterima sebagai dasar hukum, terhadap satu kasus yang harus dicari jawabannya.
Pada perinsipnya ‘urf tidak memperlihatkan dampak yang negatif terhadap perkembangan aturan Islam, tetapi memperlihatkan dampak positif dan membantu kekurangan aturan Islam itu sendiri. Karena tidak semua kebutuhan insan ada dalam nash lantaran kasus akan terus berkembang dari masa ke masa.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Us}u>l al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Qardhawi, Yusuf, Al-khas}a>ish al-'Amiyah al-Islam Beirut cet. VIII, 1993.
Haroen, Nasrun, Us}u>l al-Fiqh, Lohgos; Wacana Ilmu, 1991.
Khaldun, Ibnu, "Muqaddimah Ibnu Khaldun", Beirut, cet. VII, 1989.
Imarah, Muhammad, "Al-Isla>m wa al-'Arubah , al-Haiahal-Mashriyah al-'Ammah li al-Kitab, 1996.
Kuntowijoyo, "Paridigma Islam", Mizan, cet. III, 1991.
Khallaf, Abd Wahab, al-, Ilmu Us}u>l al- Fiqh, terj. Noer Iskandar Al- Barsany, Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 1994.
Khayyat , Abd Aziz, al-, Naz}a>riyyah al-‘Urf, ‘Amman : Maktabah al-Aqsha, t.t.
Madjid, Nurcholish, "Islam, Doktrin dan Peradaban", Jakarta, cet. II, 1992.
Qardhawi, Yusuf,  "Madkhal li al-Dira>sat al-Isla>miyah", Beirut, cet. I,1993.
Qarafi, Ahmad ibn Idris, Shiha>bu al-Di>n al-, Anwa>r al-Baru>q fi Anwa’ al-Furu’, Mesir Dar al-‘Ihya> al-Kutub al-‘Arabiyah, 1344 H.
Sunnah, Abu, Ahmad Fahmi,  Al-‘urf wa al-Adah fi Ra’yi al-Fuqaha>, Mesir: Da>r al-Fikri al-“Arabi, t.t.
Subri, Zakaria al-, Mas}a>dir al-Ahka>m Isla>miyah, Mesir: al-Qa>hirah, 1975.
Syafe’i, Rachmad, Ilmu Us}u>l Fiqh, Bandung, CV Pustaka Setia, 1999.
Wahid, Abdurrahman, "Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah". Yayasan Paramadina, cet. I, Mei 1994.
Wahid, Abdurrahman, "Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan", akarta, cet. I, 1989.
Zarqa>’, Ahmad bin Muhammad, Al-, Sharh al-Qawa>’id al-Fiqhiyah. Beirut: al-Qalam, 1988.