Tafsir Al Maraghi
A. Biografi Ahmad Musthofa Al-Maraghi.
Nama lengkap Ahmad Mustafa Al-Maraghi ialah Ahmad Mustafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im Al-Maraghi, lahir di kota Maragah, sebuah kota yang terletak dipinggiran sungai Nil, kira kira 70 Km arah selatan kota Kairo Mesir, Pada Tahun 1300 H/1883 M. ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Maragi karena dinisbahkan pada kota kelahirannya.
Ayahnya yang hakim mempunyai 8 orang anak, yang lima di antaranya laki-laki, yaitu Muhammad Musthafa al-Maraghi, Ahmad Musthafa al-Maraghi, Abdul Aziz al-Maraghi, Abdullah Musthafa al-Maraghi, dan Abdul Wafa’ Mustafa al-Maraghi. Karena nama-nama yang ibarat tersebut, tak jarang orang salah mengira ihwal penulis tafsir al-Maraghi yang sebenarnya. Kebetulan beberapa saudara Ahmad Musthafa juga jago tafsir, bahkan Muhammad Musthafa sempat menulis tafsir beberapa surah dalam Al-Quran.
Pada tahun 1314 H/1897 M, Al-Maragi menempuh kuliah di Universitas Al-Azhar dan Universitas Darul ‘Ulum di Kairo, karena kecerdasannya yang luar biasa, ia bisa menuntaskan pendidikannya di dua Universitas itu pada tahun yang sama, yaitu 1909 M.
Di dua Universitas itu, ia menyerap ilmu dari beberapa ulama kenamaan ibarat Muhammad Abduh, Muhammad Bukhait al-Muthi’I, Ahmad Rifa’I al-Fayumi, Muhammad Rasyid Ridha dan lain lain, mereka mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk intelektualitas al-Maragi. Kegigihan menuntut ilmu telah membuahkan hasil, al-Maragi sangat cakap pada semua bidang ilmu agama.
Al-Maraghi mengabdikan diri sebagai guru di beberapa madrasah, tak usang lalu ia diangkat sebagai Direktur Madrasah Al-Mu’allimin di Fayum, sebuah kota yang terletak 300 Km arah barat kota Kairo, lalu pada tahun 1916-1920 M, ia diangkat menjadi dosen tamu di Fakultas Filial Universitas Al-Azhar, di Khartoum Sudan.
Setelah itu, al-Maragi diangkat sebagai dosen bahasa arab di Universitas Darul ‘Ulum serta dosen ilmu Balaghah dan kebudayaan pada Fakultas bahasa arab di Universitas al-Azhar. Dalam rentang waktu yang sama ia juga masih menyampaikan ilmunya dibeberapa madrasah, antara lain Ma’had Tarbiyah Mu’allimin, ia pun dipercaya menakhodai Madrasaah Usman Basya di Kairo.
Al-Maragi merupakan potret ulama yang mengabdikan hampir seluruh waktunya untuk kepentingan ilmu, di sela sela mengajar, ia tetap menyisihkan waktunya untuk menulis, salah satu karya monumentalnya ialah Tafsir al-Qur’an al-Karim yang lebih dikenal dengan nama Tafsir Al-Maragi. Tafsir ini ditulis selama kurang lebih 10 tahun, semenjak tahun 1940-1950 M, berdasarkan sebuah sumber saat al-Maragi menulis tafsirnya, ia hanya beristirahat selama 4 jam sehari, dalam 20 jam yang tersisa, ia menggunakannya untuk mengajar dan menulis.
Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira kira 3.00 al-Maragi memulai aktivitasnya dengan sholat tahajud dan hajat, memohon doa dan petunjuk Allah, lalu ia menulis tafsir, ayat demi ayat, pekerjaan itu diistirahatkan saat berangkat kerja, pulang kerja, ia tidak eksklusif melepas lelah sebagaimana orang lain, acara tulis menulisnya yang sempat terhenti, dilanjutkan kembali, kadang kadang hingga jauh malam,
Dalam mukaddimah tafsirnya al-Maragi menuturkan alasan menulis kitab tafsir, ia merasa ikut bertanggung jawab untuk mencari solusi terhadap pelbagai masalah yang terjadi di masyarakat berdasarkan Al-qur’an, di tangan al-Maragi Al-qur’an ditafsirkan dengan gaya modern sesuai dengan tuntunan masyarakat. Pilihan bahasa yang disuguhkan kepada pembacapun ringan dan mengalir lancar, pada beberapa bagian, penjelasannya cukup global, tetapi dibagian lain uraiannya begitu mendetail, tergantung kondisi.
Tafsir al-Maragi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 M, terbitan pertama ini terdiri atas 30 juz, sesuai dengan jumlah juz al-Qur’an, pada penerbitan kedua terdiri dari 10 jilid, dan tafsir ini juga pernah diterbitkan 15 jilid, dan yang beredar di Indonesia ialah edisi Tafsir al-Maragi yang 10 jilid.
Keterangan | |
Cover | Cover Kalep Lux |
Jenis Kertas | HVS 70 Gram |
Penulis | Ahmad Musthafa Al-Maraghi |
Ukuran | 15 x 22 Cm |
Al-Maragi menetap di Hilwan, sebuah kota satelit yang terletak sekitar 25 Km sebelah selatan kota Kairo, hingga meninggal dunia pada usia 69 tahun (1952 M). [1]
B. Latar Belakang penulisan
Di dalam profil diatas sedikit diulas ihwal al-Maragi menulis kitab tafsir ini ialah karena ia merasa bertanggung jawab akan bencana dan problema yang terjadi di masyarakat, ia merasa terpanggil untuk memperlihatkan aneka macam solusi berdasarkan dalil dalil Qur’ani sebagai alternatif, maka dari itu tidak mengherankan apabila tafsir yang lahir dari buah pikiranya dengan gaya modern, yaitu diubahsuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, ibarat dituturkan oleh al-Maragi sendiri dalam pembukaan tafsirnya.
Dari segi sumber yang dipakai selain memakai ayat dan atsar, al-Maragi juga memakai ra’yi sebagai sumber dalam menafsirkan ayat ayat, namun perlu diketahui, penafsiran yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah dan susah diterima nalar atau tidak didukung oleh bukti bukti secara ilmiah, dan ini juga diungkapkan oleh ia didalam muqaddimahnya :
“ maka dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat riwayat kecuali riwayat tersebut sanggup diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan, dan kami tidak melihat disana hal hal yang menyimpang dari permasalahan agama yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli, dan berdasarkan kami, yang demikian itu lebih selamat untuk menafsirkan kitabullah serta lebih menggoda orang orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak puas kecuali dengan bukti bukti dan dalil dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar”
Ungkapan Maragi diatas menegaskan bahwa riwayat riwayat yang dijadikan sebagai penjelas terhadap ayat ayat Al-qur’an ialah riwayat yang shahih, dalam arti yang sanggup dipakai sebagai hujah, disamping memakai kaidah bahasa arab, dengan analisis ilmiah yang disokong oleh pengalaman pribadi sebagai insan akademis dan pandangan para cendikiawan dari aneka macam bidang ilmu pengetahuan, ini berarti dilihat dari sumbernya al-Maragi memakai naql dan ‘aql secara berimbang dalam menyusun tafsirnya.[2]
Dalam konteks modern rasanya penulisan tafsir dengan melibatkan dua sumber penafsiran tersebut merupakan sebuah keniscayaan, karena sungguh mustahil menyusun tafsir dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena jumlah riwayat sangat terbatas juga karena masalah masalah yang muncul membutuhkan klarifikasi yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika social, ilmu pengetahuan, dan tehnologi yang sangat cepat, sebaliknya melaksanakan penafsiran dengan mengandalkan nalar semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan akan penyimpangan penyimpangan, sehingga justru tidak sanggup diterima, mungkin dengan alasan inilah, semenjak memasuki masa muta’akhirin hingga kini banyak penafsiran Al-qur’an yang mengkombinasikan rasio dan riwayat.
C- Karya karya Mustafa Al-Maragi
Al-Maragi ialah ulama kontemporer terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia islam, selama hidup, ia telah mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan dan agama, banyak hal yang telah ia lakukan, selain mengajar di beberapa forum pendidikan yang telah disebutkan, ia juga mewariskan kepada umat ini karya lainnya ialah sebagai berikut;
Ø Al-Hisbat fi al-islam
Ø Al-wajiz fi Ushul al-fiqh
Ø ‘Ulumul Balaghah
Ø Muqaddimat at-tafsir
Ø Buhuts wa ‘Ara’ fi funun al-balaghah
Ø Ad-Diyanat wa al-Akhlaq
D- Metode dan Sistematika Penafsiran
Dari sisi metodologi Al-Maragi bisa disebut berbagi metode baru, bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maragi ialah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara “Uraian Global” dan “Uraian rincian” sehingga klarifikasi ayat ayat didalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu Ma’na Ijmali dan Ma’na tahlili. Namun tidak sanggup dipungkiri, tafsir Al-Maragi sangat dipengaruhi oleh tafsir tafsir yang ada sebelumnya, terutama tafsir Al-Manar, hal ini masuk akal karena dua penulis tafsir tersebut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ialah guru yang paling banyak menyampaikan bimbingan kepada Al-Maragi di bidang tafsir, bahkan sebagian orang beropini bahwa tafsir Al-Maragi ialah penyempurnaan terhadap tafsir Al-Manar yang sudah ada sebelumnya, metode yang dipakai juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang dipakai oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Adapun metode penafsiran tafsir Al-Maragi antara lain sebagai berikut :
1. Metode Tafsir Bil Iqtirani (Perpaduan antara bil ma’qul dan bil manqul)
2. Metode Tafsir Muqarin / Komparasi (bila ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap tafsiran ayat ayat Al-qur’an) yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara dalam masalah yang sama, ayat dengan hadits (isi dan matan), antara pendapat mufasir dengan mufasir yang lain dengan menonjolkan segi segi perbedaan.
3. Metode Tafsir Ithnab (bila ditinjau dari segi keluasan klarifikasi tafsirnya), ialah penafsiran dengan cara menafsirkan ayat Al-qur’an hanya secara mendetail/rinci, dengan uraian uraian yang panjang lebar, sehingga cukup terang dan terang yang banyak disenangi oleh para bakir pandai.
4. Metode Tafsir Tahlili (bila ditinjau dari segi target dan tertib ayat ayat yang ditafsirkan) ialah penefsirkan ayat ayat Al-qur’an dengan cara urut dan tertib dengan uraian ayat ayat dan surat surat dalam mushaf, dari awal surat al-Fatihah hingga selesai surat an-Nas
Sistematika dan langkah langkah penulisan yang dipakai di dalam tafsir Al-Maragi ialah sebagai berikut :
1. Menghadirkan satu, dua atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan. Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan, ayat ayat ini diurut sesuai tertib ayat mulai dari surat al-fatihah hingga an-nas (metode tahlili).
2. Penjelasan kosa kata (Syarah al-mufradat), setelah menyebutkan satu, dua atau kelompok ayat, Al-Maragi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar berdasarkan ukurannya, dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.
3. Makna ayat secara umum (Ma’na Ijmali), dalam hal ini Al-Maragi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan semoga pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah mempunyai pandangan umum yang sanggup dipakai sebagai perkiraan dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut, kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh Al-Maragi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, dimana sebelumnya tidak ada mufasir yang melaksanakan hal serupa.
4. Penjabaran (Al-Idhah), Pada langkah terakhir ini, Al-Maragi menyampaikan klarifikasi yang luas, termasuk menyebutkan asbabun nuzul bila ada dan dianggap shahih berdasarkan standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama, dalam menyampaikan penjelasan, kelihatannya Al-Maragi berusaha menghindari uraian yang bertele tele, serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahas yang sederhana, singkat, padat, dn gampang dipahami oleh akal.[3]
Namun demikian dikalangan penganut tafsir salafi, Tafsir Al-Maragi dianggap kontroversial dan banyak ditinggalkan, tafsir ini sangat digemari oleh para pelajar yang mengkaji tafsir dibangku perguruan tinggi, gaya penafsirannya dianggap modern, yakni berusaha menggabungkan aneka macam mazhab penafsiran, terutama metode tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi, kelompok yang membela Al-Maragi mengatakan, penafsiran sang Syech bersumber dari periwayatan yang relative terpelihara dari riwayat yang lemah dan susah diterima nalar atau tidak didukung oleh bukti bukti secara ilmiah, pernyataan itu mengacu kepada ucapan Al-Maragi dalam muqadimah kitab tafsir itu.
Bagian paling kontroversi dalam tafsir Al-Maragi antara lain bahwa dongeng maskh atau azab yang merubah muka bani israil menjadi rupa monyet dalam Al-qur’an bukan bencana sungguhan, melainkan hanya simbol saja. Al-Maragi juga menyampaikan bahwa adam bukanlah bapak insan ( juz 1/ hal 77) dan Hawwa tidak diciptakan dari tulang rusuknya (juz 1/ hal 93), ia menyampaikan , “sesungguhnya kajian ilmiah dan historis tidak sanggup menguatkan bahwa Adam ialah Abul Basyar/bapak manusia” (juz IV/177 dan juz 1/95)
E- Aliran atau Kecenderungan Penafsiran
Para mufasir yang mempunyai kecenderungan tersendiri dalam menafsirkan ayat ayat Al-qur’an itu akan mengakibatkan aliran aliran tafsir Al-qur’an, diantaranya ialah tafsir lughawi/adabi, tafsir al-fiqh, tafsir shufi, tafsir ‘Ilmi, tafsir falsafi.
Menurut Prof.Dr. H Abd Djalal bahwa aliran tafsir Al-Qur’an ada tujuh yakni
1. Tafsir lughawi/adabi
2. Tafsir fiqh/ahkam
3. Tafsir shufi/’isyari
4. Tafsir ‘itizali
5. Tafsir Syi’i/bathini
6. Tafsir Aqli/falsafi
7. Tafsir ‘Ilmi/asri
Menurut Prof.Dr. Quraish Shihab aliran (corak) ada:
1. Fiqhy
2. Shufy
3. ‘Ilmy
4. Bayan
5. Falsafy
6. Adaby
7. ‘Ijtimaiy
Dari pengertian tersebut maka tafsir Al-Maragi termasuk aliran atau kecenderungan tafsir lughawi/adabi yang menitik beratkan kepada bahasa meliputi segi ‘Irab dan harakat bacaannya, pembentukan kata, susunan kalimat, kesusastraan.[4]
F- Menghindari Israiliyat
Al-Maragi sengaja mengelak dari menyinggung masalah israiliyat, mengenai ahlul kitab, ia mengatakan. “ Sesungguhnya mereka itu membawa kepada kaum muslimin pendapat pendapat didalam kitab mereka, berupa tafsiran yang tidak diterima oleh akal, dinafikan oleh agama dan tidak dibenarkan oleh realita serta sangat jauh dari hal yang sanggup dibuktikan oleh ilmu pada kala abad setelahnya.”
G- Contoh Penafsiran
(diKutip dari tafsir Al-Maragi Surat Al-Baqarah : 177)
Artinya : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan menyampaikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, bawah umur yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Qs : Al-Baqarah:177)
H. Penafsiran kata kata sulit
Al-Birru : secara bahasa artinya memperbanyak kebaikan, asal kata ialah al-barr (daratan), dan lawan katanya ialah al-bahr (laut). Menurut istilah syariat setiap sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah, yaini Iman, amal shaleh, dan adab mulia.
Qibalal-Masyriqi wal-Maghrib : Mengarah kepada dua arah tersebut
Wa-aatal-Maal : Memberi harta benda
Al-Miskiin : tetap diam, karena kebutuhan telah menjeratnya
Ibnus-Sabiil : orang yang sedang mengadakan perjalanan jauh, sehingga tidak sanggup menghubungi kerabatnya untuk memina bantuan.
As-Saail : orang yang meminta minta kepada orang lain karena terdesak kebutuhan hidup.
Ar-Riqaab : membebaskan budak (hamba sahaya)
‘Aqamas-Sholaah : mendirikan sholat sebaik mungkin, atau seperti yang diperintahkan Allah
Al-ahdu : janji atau suatu ikatan yang dipegang teguh oleh sesorang kepada orang lain
Al-ba’sa : diambil dari kata kata (Al-busu’) artinya fakir atau sangat miskin
Ad-Darra’ : setiap sesuatu yang membahayakan manusia, ibarat penakit atau kehilangan yang dicintai
Shadaquu : benar benar mengaku beriman
I. Pengertian Umum (ma’na Ijmali)
Ketika Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memindahkan kiblat dari baitul Maqdis ke Ka’bah, orang orang jago kitab menentang perintah tersebut, alhasil terjadilah perdebatan sengit antara kaum muslimin dengan mereka, para jago kitab beropini bahwa sholat yang dilakukan dengan tidak menghadap kiblat jago ktab ialah tertolak di hadapan Allah, dan orang yang melakukannya tidak mengikuti petunjuk para Nabi, sebaliknya kaum muslimin menyampaikan bahwa yang menerima ridha Allah ialah yang menghadap Masjidil Haram, yakni kiblat Nabi Ibrahim dan para nabi sesudahnya.
Memperhatikan masalah tersebut, Allah menjelaskan bahwa menghadap kiblat secara tertentu itu bukanlah merupakan kebajikan yang dimaksud agama, karena di syari’atkannya Menghadap kiblat itu hanya untuk mengingatkan orang yang sedang menjalankan sholat bahwa dirinya dalam keadaan menghadap Tuhan, di samping itu berarti ia sedang meminta kepada Tuhan, berpaling dari selain Allah, semoga dijadikan sebagai lambang persatuan umat yang mempunyai tujuan satu, dengan demikian aliran ini mendidik umat islam untuk terbiasa mengambil kesepakatan dalam selrusan urusan mereka, bersatu dan melangkah secara bersama sama menuju cita cita.
J. Penjelasan (Al-Idhah)
(laisal- Birra- an- tuawwluu-wujuuhakum-qibalal-masyriqi-wal-maghrib)
Menghadap ke Timur atau ke Barat itu tidak mengandung unsur kebajikan, pekerjaan itu pada hakekatnya tidak merupakan suatu kebaikan.
(walakinnal-birra-man- aamana- billaahi-wal-yaumi aakhiri-wal-malaaikati-wal-kitaabi-wan-nabiyyiin)
Tetapi yang dinamakan kebaikan yang sesungguhnya ialah keyakinan yang dibuktikan dengan amal perbuatan dan tingkah laris yang mencerminkan keimanan tersebut.
Iman kepada Alah ialah dasar semua kebaikan, dan kenyataan ini takkan pernah terbukti melainkan bila keyakinan telah meresap kedalam jiwa dan merayap keseluruh pembuluh nadi yang disertai dengan perilaku khusu’, tenang, taat, dan hatinya tidak akan meledak ledak karena mendapatkan kenikmatan, dan tidak berputus asa saat tertimpa musibah, hal ini sesuai firman Allah ;
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Iman kepada hari selesai mengingatkan insan bahwa ternyata terdapat alam lain – yang ghaib, kelak di alam abadi yang akan dihuni, karenanya hendaklah usahanya itu jamgan dipusatkan untuk memenuhi kepentingan jasmani atau cita cita meraih duniawi saja atau memuaskan hawa nafsu.
Iman kepada malaikat ialah titik tolak keyakinan kepada wahyu, kenabian dan hari akhir, siapapun yang menolak keimanan terhadap malaikat berarti mengingkari seluruhnya, karena diantara malaikat itu ada yang bertugas sebagai penyampai wahyu kepada para Nabi, dan menyampaikan wangsit mengenai dilema agama, ibarat firman Allah
Artinya : “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izinTuhannya untuk mengatur segala urusan. (Al-qadar :4)
Iman kepada kitab kitab samawi yang dibawa oleh para nabi mendorong seseorang untuk mengamalkan kandungan kitab yang berupa perintah maupun larangan, karena orang yang yakin bahwa sesuatu itu benar, maka hatinya akan tergerak untuk mengamalkannya, dan bila ia yakin bahwa sesuatu itu sangat mambahayakan dirinya tentu akan menjauhkan dan tidak mengamalkannya.
Iman kepada Nabi mendorong untuk mengikutinya, dan menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah dan ketidaktahuan dalam menjalankan syariat sehingga menyimpang dari sunahnya, Al-Maragi menyampaikan teladan dalam pembacaan Syi’ir – syi’ir yang terdapat dalam kitab Dalalil-khairat dan Madaih Nabawiyah.
(Wa-atal-maala-‘alaa-hubbihii-dzawil-qurbaa-wal-yataamaa-wal-masaakiin-wabnis-sabiil-was-saai’ilin-wa-firriqaab)
Mengeluarkan harta kepada orang orang yang membutuhkan karena belas kasihan terhadap mereka, ialah ditujukan kepada orang orang sebagai berikut :
1- Sanak famili yang membutuhkan, mereka ialah orang yang paling berhak mendapatkan uluran tangan, karena berdasarkan fitrahnya insan akan merasa lebih kasih saying terhadap sanak familinya yang hidup miskin disbanding orang lain.
2- Anak yatim, yakni anak anak kaum miskin yang tidak mempunyai ayah yang menyampaikan nafkah kepada mereka.
3- Kaum fakir miskin, mereka ialah orang orang yang tidak bisa berusaha mencukupi hidupnya.
4- Ibnu sabil (orang yang sedang perjalanan jauh) di dalam syari’at diperintahkan untuk memberi pertolongan kepada merekauntuk bisa melanjutkan perjalanan.
5- Orang yang meminta minta, yakni orang yang terpaksa melaksanakan pekerjaan meminta kepada orang lain karena terdesak oleh kebutuhannya.
6- Memerdekakan budak atau hamba sahaya, dalam pembicaraan ini termasuk didalamnya ialah menebus tawanan perang dan menyampaikan santunan kepada hamba yang telah menandatangani perjanjian dengan majikannya untuk kemerdekaannya yang dibayar dengan cara angsuran (kitabi).
(Wa-aqaamas-sholaata)
Artinya mendirikan sholat sebaik mungkin, hal ini tentu saja tidak cukup dengan melaksanakan gerak gerak sholat dan doa doa saja, tetapi harus disertai dengan memperhatikan belakang layar yang terkandung di dalam sholat. Pelakunya harus mempunyai akhlaq mulia dan menjauhkan diri dari pelbagai perbuatan rendah. Karena orang yang melaksanakan sholat tentu tidak akan berbuat keji dan mungkar.
Artinya : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) ialah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kau kerjakan”
(Wa-aataz-zakaata)
Menunaikan zakat yang diwajibkan, sedikit sekali penyebutan perintah sholat dalam Al-qur’an yang tidak diiringi dengan penyebutan zakat, karena sholat itu berfunsi pembersih rohani, dan harta benda dekat kaitannya dengan masalah ruhani, karenanya menginfaqkan harta termasuk tiang pokok kebajikan, para sobat Nabi telah setuju memerangi orang orang yang tidak mau membayar zakat setelah Nabi wafat, yakni orang orang arab.
(Wal-muufuuna- bi’ahdihim-idza- ‘aahadu)
Orang orang yang menepati janjinya bila mereka mereka mengadakan perjanjian mengenai sesuatu, janji ini meliputi semua perjanjian yang biasanya dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, dan perjanjian yang dilakukan oleh kaum mu’min kepada Tuhan mereka – yakni janji akan taat dan mengikuti seluruh perintahNya, dan apabila ia berbuat maksiat berarti tidak menepati janjinya.
(Was-shobiriina-fil-ba’saai-wad-dharrai-wa-hiinal- ba’sa)
Orang orang yang bersikap sabar saat tertimpa kesengsaraan (miskin), atau terkena petaka ibarat kematian, kehilangan harta, atau tertimpa penyakit, dan saat berada di medan perang atau sedang berkecamuknya peperangan dengan musuh. Allah mengkhususkan sabar dalam tiga hal tersebut, sedang bersikap sabar di dalam masalah lain dan keadaan yang berbeda juga merupakan perilaku terpuji.
(Ulaaikal-ladziina-shodaquu)
Mereka ialah orang orang yang benar benar keimanannya, dan mereka bukan termasuk kelompok yang mengaku beriman hanya dimulut, sedang hatinya tidak beriman.
(Wa-ulaaika-humul-muttaquuna)
Dan merekalah orang orang yang menciptakan benteng antara diri mereka dengan marah Tuhan dengan cara meninggalkan aneka macam kemaksiatan yang menjadikan turunnya eksekusi Allah di dunia dan di akhirat.
Ada sebagian ulama yang menyampaikan bahwa siapapun yang menjalankan ayat ini, berate telah mempunyai kesempurnaan iman, atau ia telah mencapai derajat tertinggi dalam masalah iman.[5]