Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tafsir Adwa'ul Bayan


PENDAHULUAN
Al-Qur’an yaitu kitab yang dijadikan pedoman dan referensi utama bagi semua umat Islam. Di dalamnya berisi petunjuk bagi insan dalam mengarungi kehidupannya. Orang yang mengikuti petunjuk al-Qur’an niscaya akan benar dan selamat sementara orang yang menyalahinya niscaya akan tersesat dan binasa. Untuk sanggup mengikuti petunjuk al-Qur’an seseorang harus paham kandungan yang ada di dalamnya.
Al-Qur’an berbahasa Arab, dan orang yang menguasai bahasa Arab dengan seluruh aspeknyalah yang sanggup memahaminya dengan baik. Dan masalahnya yaitu tidak semua umat Muhammad paham betul wacana hal itu. Oleh lantaran itu dibutuhkan penafsir yang mempunyai kompetensi yang memenuhi syarat dalam melaksanakan tafsir terhadap al-Qur’an. Dan salah seorang penafsir yang telah diakui oleh kredibilitasnya yaitu Muhammad al-Ami>n al-Shanqit}i> . dengan karyanya Ad}wa>’ al-Baya>n fi> I<d}a>h} al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n.
Dalam goresan pena ini, penulis mencoba melaporkan hasil membaca dari kitab ini sesuai dengan yang penulis pahami. Dalam membaca tafsir ini,  penulis hanya membaca secara global bagian-bagian yang penulis anggap sebagai info utama,  mengingat tebalnya kitab dan keterbatasan waktu.

1. Nama pengarang : Muhammad al-Ami>n bin Muhammad al-Mukhta>r bin Abd al-Qa>dir bin Muhammad bin Ahmad Nu>h{ bin Muhammad Si>di> Ahmad bin al-Mukhta>r al-Jaki>ni> al-Shanqit}i> al-Mu>ri>ta>ni> al-Ma>liki> al-Afri>qi>. Dan beliau dikenal dengan Muhammad al-Ami>n al-Shanqit}i> .
2. Nama Kitab           : Ad}wa>’ al-Baya>n fi I<d}a>h} al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n
3. Kota Penerbitan   : Bairut
4. Penerbit                 : Da>r Ih}ya>’ al-Turath al-‘Arabi>
5. Jumlah Juz/ Jilid: Kitab ini terdiri dari 6 (enam) jilid dan masing-masing  memilihi rincian halaman sebagai berikut : 
a.    Jilid I  = 518 (lima ratus delapan belas) halaman;
b.    Jilid II = 544 (lima ratus empat puluh empat) halaman;
c.    Jilid III = 572 (lima ratus tujuh puluh dua) halaman;
d.   Jilid IV = 498 (empat ratus sembilan puluh delapan) halaman;
e.    Jilid V = 574 (lima ratus tujuh puluh empat) halaman; dan
f.     Jilid VI = 412 (empat ratus dua belas) halaman.
6. Riwayat hidup penulis, keahlian ilmu dan lain-lain
Nama dia yaitu Muhammad al-Ami>n bin Muhammad al-Mukhta>r bin Abd al-Qa>dir bin Muhammad bin Ahmad Nu>h{ bin Muhammad Si>di> Ahmad bin al-Mukhta>r dari cucunya T{a>lib Ubek al-Jakniyyi>n. Dan ini yaitu cucu dari Kari>r bin al-Muwa>fi bin Ya’qu>b bin Ja>kin al_Abar (Kakek dari Kabilah Jakniyyi>n. Dan mereka dikenal dengan Tajka>nat. Jika terus diruntut, maka nasab Kabilah dia akan hingga ke tempat Himyar di Yaman.[1]
Beliau dilahirkan di sebuah kota yang berjulukan Shinqit}. Adapun nama tempat kelahiran dia yaitu Tanbah, sebuah desa di kota Shinqit, yang merupakan sebuah tempat di belahan timur dari Negara Islam yang kini populer dengan nama Mauritania. Yaitu sebuah Negara Islam di benua Afrika yang berbatasan dengan Sinegal, Mali, dan al-Jazair (Algeria).Tepatnya, dia dilahirkan pada tahun 1325 H /1905 M. Dari seorang  ibu yang merupakan sepupu ayahnya sendiri. Beliau wafat di kota Madi>nah al-Munawwarah, pada tanggal 17 D}u al-H{ijjah  1393 H /1973 M.
Syaikh Muhammad terdidik di kalangan masyarakat yang cinta akan ilmu, baik kaum pria maupun wanitanya. Beliau berguru dari  paman-paman dia dari pihak ibunya, juga dari sepupu-sepupunya dasar-dasar ilmu agama dan ilmu al-Qur`an. Hafalan kitab-kitab merupakan santapan dia sehari-hari. Beliau hafal al-Qur`an saat berusia sepuluh tahun. Beliau juga berguru menulis khat Utsmani dari pamannya, Muhammad bin Ahmad. Dari pamannya ini juga dia berguru ilmu Tajwid dengan bacaan Nafi’, yang meriwayatkan dari Warsy, dari jalan Abu Ya’qub al-Azraq dan Qalun, dari periwayatan Abu Nasyith. Dan darinya juga dia mengambil sanad bacaan itu hingga hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Dan saat itu, usia dia masih enam belas tahun. Di sela-sela proses berguru bacaan tersebut, dia juga berguru kitab-kitab ringkas fikih Imam Malik, ibarat Rojaz Ibnu ‘Asyir. Dan di sela-selanya juga dia berguru sastra secara panjang lebar dari istri pamanku (bibi). Darinya juga Beliau menimba dasar-dasar ilmu Nahwu, ibarat kitab al-Ajurrumiyyah beserta latihan-latihannya. Beliau pun berguru wacana nasab-nasab bangsa Arab, sejarah mereka, serta sejarah Nabi Muhammad SAW. dan nazhom peperangan karya Ahmad al-Badawi asy-Syinqithi yang jumlah baitnya lebih dari lima ratus bait.
Setelah dia hafal al-Qur`an, sudah bisa menulis al-Qur`an dengan khat utsmani, dan dia bisa unggul di atas teman-temannya, sehingga ibu dan bibi-bibinya menaruh perhatian khusus kepada beliau. Dengan tekad bundar mereka mengarahkan dia untuk berguru disiplin ilmu yang ada.
Setelah dia mempelajari fikih maz}hab Maliki, juga kitab Alfiyyah Ibnu Malik dalam bidang ilmu nahwu, Beliau Kemudian mengambil disiplin ilmu lainnya dari beberapa masha>yi>kh dari Kabilah al-Jakniyyun pada beberapa cabang ilmu. Dan di antara mereka yaitu para ulama populer di negeri itu. Mereka antara lain: Shaykh Muhammad bin S}a>lih (Ibnu Ahmad al-Afram),  Shaykh Ahmad al-Afram bin Muhammad al-Mukhtar, Shaykh, al-’Alla>mah Ahmad bin Umar,  Muhammad an-Ni’mah bin Zaidan (Pakar fikih terkemuka). Ahmad bin Muud (Pakar fikih terkemuka), al-’Alla>mah Ahmad Fa>l bin A<duh. Dan masha>yi>kh lainnya dari kabilah al-Jakniyyun. 
Beliau Sungguh, telah menimba segala disiplin ilmu dari mereka, ibarat Nahw, S}arf, Us}u>l, Bala>ghah, serta sebagian Tafsi>r dan Hadi>th. Adapun ilmu Mantiq, tata cara membahas, serta berdiskusi dan berdebat, maka dia peroleh dari belajar sendiri dari hasil menelaah kitab-kitab. Beliau senantiasa mengamati dan mencermati pada setiap cabang ilmu yang ada, serta melanjutkan belajarnya hingga keesokan hari, sehingga dia benar-benar paham seluk-beluk setiap bidang ilmu tersebut.
Kegiatan dan aktifitas Shaykh Muh}ammad seperti para ulama lainnya, yaitu belajar, mengajar, dan memberi fatwa. Namun dia lebih populer dengan pemutus aturan dan ketajaman firasatnya dalam dilema hukum.  Meskipun ada seorang Hakim perancis, namun penduduk negeri itu begitu menaruhkan kepercayaan kepada beliau. Mereka tiba kepada Shaykh Muh}ammad untuk tetapkan masalah yang terjadi di antara mereka. Dan begitu banyak utusan-utusan dan tamu yang tiba dari tempat yang jauh hanya untuk bertemu dengan beliau. Metode dia dalam tetapkan masalah aturan yaitu kalau tiba kepada dia dua kelompok yang berseteru, maka dia meminta keduanya menulis wacana kesenangannya meminta putusan aturan kepada beliau, dan keduanya harus bersedia mendapatkan apapun hasil putusan beliau. Kemudian dia meminta pendakwa  menulis dakwaannya kemudian dia menulis jawaban orang yang didakwa di bawah goresan pena dakwaan. Beliau menulis aturan beserta  jawabannya kemudian berkata pada keduanya: “Pergilah kalian dengannya kepada orang yang kalian inginkan dari para shaykh dan mahir hukum!” Dan tidaklah para shaykh dan para mahir aturan mendatangkan sebuah aturan tersebut, kecuali sama dengan apa yang telah diputuskan oleh Shaykh Muh}ammad. Dan dia tetapkan semua masalah kecuali dalam dilema dima>’ (qis}as}) dan h}udu>d.
Beliau keluar meninggalkan negerinya dalam rangka melaksanakan kewajiban ibadah haji, dengan niatan ia akan kembali lagi ke negerinya seusai pelaksanaan ibadah haji tersebut. Namun setelah Shaykh Muh}ammad sampai ke negeri tujuannya, ternyata niatnya berubah. Ia ingin menetap sementara di sana. Sebab, saat berada di negerinya dahulu dia mendengar nama Wahha>biyyah,[2] dan dia ingin mengetahui wacana hakekat sebenarnya.
Ketika menginap di beberapa tempat, secara kebetulan kemah dia berdekatan dengan kemah al-Ami>r Kha>lid al-Sudayri>, dan tatkala itu satu sama lain belum saling kenal. al-Ami>r pada waktu itu bersama sahabat duduknya mencari sebuah majlis yang mengajarkan sastra, alasannya yaitu dia begitu berjiwa sastrawan. Dan perbincangan yang terjadi diantara mereka menjadi panjang lebar, hingga balasannya mereka bertanya-jawab dengan Shaykh Muh}ammad yang ikut hadir juga pada waktu itu. Dan ternyata mereka telah mendapatkan seorang Shaykh yang alim bagaikan lautan yang tak bertepi. al-Ami>r menasehatinya, saat ia tiba ke kota Madinah nanti, biar ia menemui dua orang Syaikh di sana; Shaykh ‘Abd Allah  al-Za>h}im dan Shaykh Abd al-‘Azi>z bin S{a>lih}.
Di kota Madinah dia berhasil bertemu dengan keduanya. Yang merupakan dua orang Hakim yang tetapkan kasus-kasus yang terjadi diantara penduduk kota, baik dalam dilema fikih, maupun dilema manhaj dan akidah.
Beliau begitu banyak berdiskusi dengan Shaykh Abd al-‘Azi>z ibn S{a>lih}.. Hingga balasannya Shaykh Abd al-‘Azi>z ibn S{a>lih} menghadiahkan kitab al-Mughni>, dan beberapa kitab Shaykh al-Isla>m Ibn Taymiyyah kepada beliau. Beliau pun membacanya hingga sanggup memahami madzhab Ima>m Ah>mad ibn Hanbal. Juga sanggup mengetahui manhaj yang selamat dan aqi>dah salaf yang bersandar kepada al-Qur`a>n dan al-Sunnah dengan pemahaman kaum salaf.
Sebelum kedatangan Shaykh Muh}ammad al-‘Ami>n ke kota Madi>nah, yaitu Shaykh al-T{ayyib (w. 1363 H), dengan mediator dirinya Allah berikan manfaat yang banyak kepada umat Islam di kota itu, hingga ia wafat. Adapun setelahnya, majlis Shaykh al-T{ayyib digantikan oleh murid-muridnya,  juga oleh Shaykh Muh}ammad al-‘Ami>n. Dan Syaikh - dahulu mengajar kitab tafsir al-Qur`an, dan sempat khatam hingga dua kali.
Hal yang sudah diketahui bersama bahwa pelajaran tafsir tidaklah terbatas pada sebuah pembahasan saja, akan tetapi pelajaran tafsir yaitu ilmu yang meliputi seluruh isi al-Qur`an dan segala keumuman yang ada di dalamnya. Dan manhaj dia dalam mengajar pertama kali yaitu menjelaskan makna kosakata, kemudian membuktikan segi i’ra>b-nya, ilmu s}orof-nya, kemudian balaghah-nya dengan membawakan dalil-dalil penguat pada pembahasannya.
Di masjid,  Shaykh Muh}ammad al-‘Ami>n mulai mengajar materi us}u>l al-fiqh dan kaidah-kaidahnya. Banyak sekali orang-orang yang tiba ke majlisnya untuk mengambil faedah dari beliau. Hingga orang-orang yang berasal dari ujung kota Riyadh pun rela tiba ke sana demi untuk ikut serta dalam majlisnya itu.
Oleh lantaran pelajaran Ushul di masjid bersifat untuk umum, maka para pelajar yang begitu semangat, mereka menginginkan adanya pelengkap pelajaran khusus yang diadakan di rumah Syaikh Muhammad. Dan Syaikh pun balasannya mengabulkan seruan mereka dan membuka majlis khusus di rumahnya sesudah S}ala>h ‘As}r.
7. Karya dan Tulisan beliau
Shaykh Muh}ammad al-‘Ami>n mempunyai karya dan goresan pena yang begitu banyak, diantaranya adalah :
a.       Ad}wa>’ al-Baya>n fi I<d}a>h} al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n. Merupakan sebuah kitab yang berisi penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an. Dan kitab ini merupakan kitab dia yang paling terkenal;
b.      Man’u Jawa>z al-Maja>z fi al-Munazzal li al-Ta’abbud wa al-Ija>z. Beliau membuktikan dan membantah habis adanya majaz dalam al-Qur`an, dalam ayat-ayat asma>’ dan s}ifah Allah;
c.       Daf’u I<ha>m al-Idht}ira>b ‘An Ayy al-Kita>b. Beliau jelaskan di dalamnya ayat-ayat al-Qur`an yang secara dzahirnya mempunyai makna yang bertentangan namun secara hakekatnya sama sekali tidak bertentangan. Beliau bawakan di dalamnya ayat-ayat yang secara sekilas bertentangan mulai dari surat al-Baqarah hingga surat al-Na>s. Dan dia dudukan permasalahannya satu demi satu secara berurutan;
d.      Mudzakkirah al-Us}u>l ‘Ala> Raudhah al-Na>z}ir. Beliau padukan di dalamnya ushul-ushul madzhab Hambali, Maliki, kemudian asy-Syafi’i.
e.       A<da>b al-Bah}th wa al-Muna>z}arah. Di dalamnya menerangkan tata cara membahas, ibarat pengumpulan dilema dan klarifikasi dalil-dalil.
f.       Fi> Ansa>b al-‘Arab, dalam bentuk nazam dan dikarang sebelum dia baligh;
g.      Rajz fi> furu>’ maz}hab Ma>lik, (Khusus dilema janji jual-beli, dan gadai);
h.       Alfiyah fi al-Mant}iq;
i.        Naz}am fi al-Fara>’idh;
Beliau juga mempunyai beberapa ceramah yang kemudian dicetak dan disebarluaskan dalam bentuk buku, seperti:
  1. A<ya>t al-Shifaat, menjelaskan penetapan sifat-sifat Allah;
  2. Hikmah al-Tashri>, di dalamnya terhimpun hikmah tashri>’ dari sebagian besar hukumnya.
  3. Al-Mathal al-‘Ulya>, didalamnya menjelaskan percontohan aqi>dah, aturan shari>’ah, dan akhla>q;
  4. Al-Mas}a>lih} al-Mursalah,
  5. Hawl Shubhah al-Raqi>q
  6. ‘Ala>

8. Analisis terhadap tafsir
Dalam tafsir Ad}wa>’ al-Baya>n fi I<d}a>h} al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n , pengarang mengemukakan dua tujuan terpenting dalam penulisan tafsir ini. Pertama, penjelasan makna ayat Al Qur’an dengan ayat Al Qur’an (Qur’an bil Qur’an). Dan ini merupakan salah satu kelebihan dari tafsir ini lantaran sesuai dengan yang telah disepakati oleh pada ulama, bahwa tafsir yang paling utama dan mulia yaitu menafsirkan ayat-ayat kitabullah dengan memakai kitabullah juga (ayat-ayat lainnya). Sebab tidak seorangpun yang sanggup mengetahui secara persis maksud suatu ayat kecuali Allah SWT sendiri. Pengarang kitab ini berkomitmen untuk menjelaskan Al Qur’an dengan memakai qira>’ah  sab’ah dan dia tidak mendapatkan qira>’ah sha>dhddah (menurut pengarang,  qira>’ah Abi> Ja’far, Ya’qu>b, dan Khalaf bukan termasuk kategori qira>’ah sha>dhddah). Dengan demikian tafsir ini termasuk tafsir yang mu’tabarah (diperhitungkan) dikalangan para ulama’. Kedua,  penjelasan hukum-hukum fiqh di semua ayat-ayat yang dijelaskan dengan analisis dalam kitab ini disertai dengan dalil-dalil hadith dan Qawl para ulama’. Dan baliau men-tarjih-nya dengan dalil-dalil dengan tanpa fanatik pada madhab tertentu ataupun pada orang yang mengatakan. Karena bagi dia yang terpenting yaitu dza>t al-qowl (esensi perkataan) bukan pada orang yang mengatakan. Karena berdasarkan penulis kitab ini bahwa sesungguhnya segala perkataan di dalamnya itu sanggup diterima ataupun ditolak, kecuali perkataan Rasulullah SAW. Dan telah menjadi pengetahuan umum bahwa kebenaran yaitu tetap menjadi benar walaupun yang menyampaikan itu yaitu seorang yang hina. Statemen ini sanggup saja diterima, namun hal itu kalau menyangkut sebuah pengetahuan yang bersifat umum (banyak orang yang mengetahui dan diakui kebenarannya). Jika dipakai untuk perkara-perkara tertentu yang bersifat khusus, maka hal itu tidak sanggup dilakukan lantaran dikhawatirkan adanya pembohongan atas nama Rasulullah sebagaimana adanya h}adi>th-h}adi>th palsu yang salah satu indikatornya yaitu tidak amanahnya perawi h}adi>th yang menyampaikan.
Dalam tafsir ini terdapat baya>n al-‘Ijma>ly  (penjelasan global) lantaran alasannya yaitu Ishtira>k  (makna lebih dari satu) baik itu Ishtira>k  dalam ‘Ism, Fi’l, ataupun H{arf.
Berikut ini beberapa pola Ishtira>k  yang terdapat dalam kitab ini :
a. Ishtira>k  dalam ‘Ism adalah firman Allah SWT:
[البقرة : 228] (ثَلَاثَةَ قُرُوءٍkarena  القَرْءُ  mengandung makna antara suci dan haid}. Allah telah mengisyaratkan makna tersebut dengan masa suci dalam surat
[الطلاق : 1] (فَطَلِّقُواهُنَّ لِعِدَّتِـهِنَّ).
b. Ishtira>k  dalam Fi’l yaitu firman Allah SWT:
 [الأنعام : 1] (ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبّـِهِمْ يَعْدِلُونَ) para ulama ada yang memaknai  الْعَدْلُ  dengan makna adil (seimbang) dengan dalil  [الأنعام : 1] (تَا اللهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ. إِذْ نُسَوِّيْكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ.) dan juga mereka ada yang memaknainya dengan makna cenderung dan berpaling. Mereka berdalil dengan [البقرة : 165] (وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَـهُمْ كَحُبِّ اللهِ).
c. Ishtira>k  dalam H{arf. Seperti Ishtira>k  makna yang terkandung dalam وَ  (h}arf ‘at}af ) dalam firman Allah SWT:
[البقرة : 7] (خَتَمَ اللهُ عَلى قُلُوبِـهِمْ وَ عَلى سَمْعِهِمْ وَ عَلى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ) lantaran  و yang terdapat dalam lafaz} وَ عَلى سَمْعِهِمْ  dan lafaz} وَ عَلى أَبْصَارِهِمْ mengandung fungsi‘at}f pada lafaz} sebelumnya  (عَلى قُلُوبِـهِمْ) dan bisa juga sebagai Isti’na>f (permulaan kalimat). Akan tetapi Allah telah menjelaskan dalam surat  الجاثية   bahwa [البقرة : 7] (وَ عَلى سَمْعِهِمْ) at}f  pada [البقرة : 7] (عَلى قُلُوبِـهِمْ) sedangkan [البقرة : 7] (وَ عَلى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ) adalah Jumlah Isti’na>f  berupa Mubtada’ dan Khabar. Sehingga jadilah  الْخَتَمُ itu berlaku untuk الْقُلُوبُ dan الأَسْمَاعُ. Sedangkan   الْغِشَاوَةُ yaitu khusus pada الْأَبْصَارُ saja. Adapun ayat yang menjelaskan demikian itu yaitu [الجاثية : 23] (أَفَرَءَيتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلـهَـهُ هَوَاهُ وَ أَضَلَّهُ اللهُ عَلى عِلْمٍ وَ خَتَمَ عَلىَ سَمْعِهِ وَ قَلْبِهِ وَ جَعَلَ  عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً  ).

Tafsir ini juga dilengkapi  klarifikasi tambahan. Seperti pola pembahasan beberapa dilema kebahasaan (Lughah) dan hal-hal yang dibutuhkannya ibarat S{arf  (pembahasan wacana perubahan suatu kata) dan I’ra>b (pembahasan wacana kedudukan kata dalam suatu kalimat), penyebutan syair-syair Arab sebagai penguat serta analisis terhadap masalah-masalah yang dibutuhkan dalam menafsirkan sebuah ayat ibarat dilema Us}u>liyyah (yang pokok) dan Kala>m (akidah) yang dilandasi sanad-sanad hadits.
Tafsir ini hanya menafsiri ayat yang ada penjelasannya dengan ayat lain, sehingga ayat yang tidak ada komparasinya dengan ayat lain dilewatkan (tidak ditafsikan). Hal ini sanggup dilihat pada sebagian kasuistis. Setelah Su>rah al-Ka>firu>n secara berurutan seharusnya yaitu al-Nas}r, al-Lahab, al-Ikhla>s}, al-Falaq, dan al-Na>s. Namun pada tafsir ini sesudah membahas Su>rah al-Ka>firu>n langsung membahas Su>rah al-Na>s dan Su>rah - Su>rah yang terletak di antara keduanya dilewatkan (tidak masuk pembahasan).

9. Mazhab dari penafsir dan penafsirannya
Dalam Pengantar Penafsir, di sana di jelaskan bahwa penafsir mendasarkan pendapatnya lebih mayoritas pada penukilan teks-teks al-Qur’an dan Hadith. Dengan begitu penafsir ini agaknya lebih condong dengan mazhab Hanbali.
Namun dia juga tidak fanatik kepada mazhab-mazhab tertentu. Hal itu tampak dari dia dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memakai  penjelasan hukum-hukum fiqh di semua ayat-ayat yang dijelaskan dengan analisis dalam kitab ini disertai dengan dalil-dalil hadith dan Qawl para ulama’. Dan baliau men-tarjih-nya dengan dalil-dalil dengan tanpa fanatik pada madhab tertentu ataupun pada orang yang mengatakan.

10. Metode penafsirannya
Metode penafsiran yang dipakai oleh penafsir kitab ini adalah  metode Muqaran (perbandingan). Hal ini berdasarkan dari perbandingan dan komparasi yang dia lakukan dalam menafsirkan sebuah ayat dengan memakai ayat lainnya. Sebagai pola adalah tafsirnya dalam ayat (وَ عَسى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ). Di sini “kebaikan” tidak disifatkan dengan “banyak”. Dan hal itu “kebaikan” disifatkan dengan “banyak” telah disifatkan  pada Su>rah  al-Nisa>’ ayat 19 (فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَ يَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا).

11. Asas penafsirannya
Asas penafsiran yang dipakai dalam kitab Ad}wa>’ al-Baya>n fi I<d}a>h} al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n yaitu bi al-ma’tsu>r , yaitu mendasarkan tafsirannya pada dalil naqli, berupa klarifikasi ayat al-Qur’an dengan ayat lain dalam al-Qur’an.
Hal ini tampak pada sebagian pola tafsirnya dalam menafsiri surat al-Fa>tih}ah ayat 4 (ملِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ)  dengan memakai Su>rah  al-Infit}a>r ayat 17-19 (وَمَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّيْنِ. ثُمَّ مَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّيْنِ . يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا) bahwa yang dimaksud dengan الدِّيْنِ adalah الجَزَاءُ (balasan) dan sebagian tafsirannya yaitu  (يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيْهِمُ اللهُ دِيْنَهُمُ الْحَقُّ) adalah pembalasan amal-amal mereka dengan adil.  

12. Komentar pribadi
Penafsir kitab ini menceritakan semua kelebihan dirinya. Beliau menceritakan wacana kemampuannya mengagumkan, baik dalam dilema bagusnya hafalan dan kecerdasan dia dalam menyerap semua ilmu yang dia pelajari secara maksimal di atas rata-rata insan pada zamannya. Dalam lembaga ilmuiah, dongeng ibarat ini bukanlah ini termasuk bentuk ujub atau sebuah kesombongan yang dicela oleh Islam. Namun hal ini yaitu sebuah klarifikasi mengenai kompetensi dia yang harus diketahui oleh khalayak atau masyarakat luas mengingat predikat dia sebagai mufassir. Sehingga semua orang sanggup menilai bobot dan kelayakan hasil tafsir yang dia buat.
Tafsir dengan metode muqaran mempunyai kelebihan yaitu ketepatan maksud dalam penafsirannya lantaran yang dijadikan perbandingan yaitu ayat dengan ayat al-Qur’an juga yang sudah terperinci kebenarannya. Namun kelemahannya yaitu tidak semua ayat memilki perbandingan. Sehingga ayat yang tidak mempunyai perbandingan dibiarkan sebagaimana adanya tanpa adanya penafsiran.
Bahasa yang dipakai Tafsir ini gampang untuk dipahami lantaran struktur kalimatnya memakai bahasa Arab Fus}h}ah dan sesuai dengan standar penulisan ilmiah.