Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nasikh Mansukh Hadith


PENDAHULUAN
Ilmu hadith mengalami perkembangan yang sangat luas biasa pada awal kala ke tiga hijriyyah. Hanya saja, perkembangan itu masih berkutat pada upaya mengatahui yang sanggup diterima dan ditolak karenanya pembahasan seputar periwayatan dan hadist yang diriwayatkan. Menurut sejarah ulama yang pertama-tama menghimpun ilmu hadith  riwayat ialah Muhammad Ibnu Shihab Al Juhri atas perintah dari khalifah Umar bin Abdul Aziz. Al Zuhri ialah salah satu seorang tabi’in kecil yang banayak mendengar hadist dari para sahabat dan tabi’in besar[1].
Sedangkan ilmu hadith dirayah semenjak pertengahan kala kedua Hijriyyah telah dibahas oleh para ulama hadist, tetapi belum dalam bentuk kitab khusus dan belum merupakan disiplin ilmu yang bangun sendiri. Pada masa Al Qadhi Ibnu Muhammad Al Ramahurmudzi (265-360 H), barulah kemudian dibukukan dalam kitab khusus yang dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdidri sendiri.
Setelah itu barulah diikuti oleh ulama-ulama berikutnya menyerupai Al Hakim Abdul Al Naysaburi dll. Pada masa ulama konten porer ilmu hadist dirayah dinamakan dengan Ulumul Hadith dan pada masa terakhir ini lebih mashur[2].
Salah satu cabang pengkajian Ilmu Hadith yang terpenting utamanya ialah yang berkenaan dengan hadits hukum yaitu Ilmu Na>sikh dan Mansu>kh. Kepentingannnya tidak sanggup dihilangkan lantaran ia merupakan salah satu syarat ijtihad. Secara azas seorang mujtahid harus mengetahui latar belakang dalil secara aturan khususnya hadith yang akan dijadikan azas hukum. Ilmu ini membahas hadith-hadith yang bertentangan. Hukum hadith yang satu menghapus aturan hadits yang lain . Hadits yang tiba lebih dulu disebut ma>nsukh dan yang tiba kemudian ialah na>sikh. Na>sikh ialah yang menghapus atau yang membatalkan. Dengan mempelajari cabang ilmu hadith ini, seseorang itu akan mengetahui sejarah perkembangan hadith dan aturan Islam itu sendiri. Dimana didalam makalah ini akan dijelaskan pengertian na>sikh dan ma>nsukh serta hal-hal yang berkaitan dengan na>sikh dan ma>nsukh.

A.    PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH HADITH
Naskh menururt bahasa memiliki dua makna, menghapus dan menukil. Sehingga seakan-akan yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, kemudian memindahkan atau menukilkannya kepada aturan yang lain. Sedangkan berdasarkan istilah ialah “pengangkatan yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu aturan yang tiba terdahulu dengan aturan yang tiba kemudian.”[3]
Naskh berdasarkan bahasa memiliki dua makna, yaitu : menghapus dan menukil. Sehingga seakan-akan orang yang menasakh itu telah menghapuskan yang ma>nsukh, kemudian memindahkan atau menukilkannya kepada aturan yang lain.
Sedangkan berdasarkan istilah, naskh ialah “pengangkatan yang dilakukan oleh Penetap Shari’at terhadap suatu aturan yang tiba terdahulu dengan aturan yang tiba kemudian”[4]
Para muhaddithin memperlihatkan ta’rif ilmu itu secara lengkap ialah:
هوالعلم ااذ ي يبحث عن الاحاديث المتعارضة التلى لايمكن التو فيق بينها من حيث الحكم على بعضها باء نه ناسخ, وعلى بعضهاالاخر بانه منسوخ, فما ثبت تقد مه كان منسوخا وما تاخره كان ناسخا.
”Ilmu yang membahas hadis-hadis yang mustahil sanggup dikompromikan dari segi aturan yang terdapat pada sebagianya, lantaran ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap aturan yang terdapat pada sebagian yang lain, lantaran ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadis yang mendahului ialah sebagai mansukh  dan hadis terakhir adalah  sebagai nasikh.[5]

Para muhaddithin memperlihatkan citra wacana ilmu hadits na>sikh dan mansukh secara lengkap yaitu merupakan ilmu yang membahas hadits-hadits yang saling berlawanan maknanya yang mustahil sanggup dikompromikan dari segi aturan yang terdapat pada sebagiannya, lantaran ia sebagai nasikh (penghapus) pada aturan yang terdapat pada sebagian yang lain lantaran ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadits yang mendahului ialah sebagai mansukh dan hadits yang terakhir ialah sebagai na>sikh[6].
Imam Ibn Hazm berkata : ”Tidak boleh bag seorang Muslim yang beriman dengan Allah dan hari selesai untuk menyampaikan ayat al-Qura>n dan hadith ini telah dimansukhkan kecuali dengan yakin.”. Al-Quttubi menuliskan bahwa : ”Mengetahui ilmu na>sikh dan ma>nsukh ialah rukun yang paling penting yang sangat dibutuhkan oleh ulama.”. Hanya orang yang jahil dan ndeso yang menafikan lantaran ilmu membuktikan aturan halal dan haram[7]. Na>sikh dan ma>nsukh sanggup diketahui dengan salah satu dari beberapa hal berikut :
1. Pernyataan dari Rasulullah s}allallaahu ‘alaihi wasallam[8],
     menyerupai sabda dia :
”Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang) berziarahlah kalian, lantaran hal itu sanggup mengingatkan akhirat” (HR. Muslim).

2. Perkataan shahabat.
3. Mengetahui sejarah, menyerupai hadits Syaddad bin ‘Aus :
”Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas :”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbekam sedangkan dia sedang ihram dan berpuasa” (HR.Muslim).

Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadits itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi Fathu Makkah; sedangkan Ibnu ‘Abbas menemani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan ihram pada dikala haji wadai tahun 10 hijriyah.
4. Ijma’ ulama’; menyerupai hadits yang berbunyi :
Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jikalau dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Nawawi berkata,”Ijma’ ulama memperlihatkan adanya naskh terhadap hadits ini”. Dan ijma’ tidak sanggup dinasakh dan tidak sanggup menasakh, akan tetapi memperlihatkan adanya nasikh[9].

Adapun  syarat – syarat Nasakh
1.      Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa aturan yang dihapus itu ialah         berupa aturan syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
2.      Adanya mansukh bih (yang dipakai untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).
3.      Adanya na>sikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
4.      Adanya mansukh ‘anhu (arah aturan yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah pandai baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi target aturan yang menghapus atau yang dihapus itu ialah tertuju pada mereka[10].
   Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa nasakh gres sanggup dilakukan apabila :
1.     Adanya dua aturan yang saling bertolak belakang dan tidak sanggup dikompromikan, serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
2.      Ketentuan aturan syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan aturan syara’ yang diangkat atau dihapus.
3.      Harus diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilan ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh[11].
  Oleh kerana penentuan nasakh merupakan kasus yang diijtihadkan, tentu sekali ada perbedaan pendapat ulama dalam memilih sesuatu hadis itu dimansukhkan ataupun tidak. Tidak semua hadis yang dikatakan sebagai telah mansukh dipersetujui oleh semua pihak.

B.      FAEDAH MENGETAHUI ILMU HADITH NASIKH DAN MANSUKH
Mengetahui ilmu nasikh dan mansukh ialah termasuk kewajiban yang penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu  shari’at. Karena seorang pembahas ilmu shari’at tidak akan sanggup memetik aturan dari dalil-dalil nash, dalam kaitan ialah hadis, tanpa mengetahui dalil-dalil nash yang sudah dinasakh dan dalil-dalil yang menasakhnya[12].
Atas dasar itulah al-Hazimy berkata : ”Ilmu ini termasuk sarana penyempurna ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama didalam melaksanakan ijtihad. Itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik aturan dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukil dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya. Memahami khitab Hadits berdasarkan arti yang tersurat ialah gampang dan tidak banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menyebabkan kesukaran adal mengistinbathkan aturan dari dalil-dalil nash yang tidak terperinci penunjukannya. Diantara jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah mengetahui mana  dalil yang terdahulu dan mana pula yang terkemudian dan lain sebaginya dari segi makna.”[13].

C.    STATUS HUKUM  HADITH  MANSUKH
Para andal us}ul fiqih sepakat membolehkan sunnah dibatalkan dengan sunnah; sunnah mutawatir dibatalkan sunnah mutawatir, sunnah mutawatir dibatalkan sunnah masyhur bagi kalangan pengikut Hanafi; sunnah minggu dibatalkan sunnah mutawatir dan ahad[14]. Misalnya larangan nabi SAW kepada umat Islam menziarahi kubur yang kemudian dibatalkan melalui hadis yang sama, yaitu :
”Adalah saya yang melarang kau menziarahi kubur, tetapi kini ziarahilah….” (HR. Muslim).

Dalam kategori ini terdapat empat bentuk Naskh mutawatir dengan mutawatir, naskh minggu dengan ahad, naskh minggu dengan mutawatir, naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama diperbolehkan namun bentuk ke empat terjadi perbedaan pendapat.
Menurut Imam Syafi’i dan Ibn Uqail dari mazhab Hanbali bahwa sesuatu yang dibatalkan mesti sama kekuatan yang membatalkan atau lebih berpengaruh dari yang dibatalkan. Perkataan Nabi SAW lebih berpengaruh dari perbuatannya, maka perkataan itu harus dibatalkan dengan perkataan juga[15]. Demikian pula perbuatan Nabi SAW tidak sanggup dibatalkan kecuali dengan perbuatannya pula.
Pendapat Imam Syafi’i ini sanggup dibantah dengan alasan bahwa perkataan dan perbuatan Nabi merupakan sunnah yang disyari’atkan bagi umat manusia. Tampaknya, tiada alasan yang yang melarang terjadinya naskh antara perkataan dan perbuatan Nabi SAW. Secara realitas, banyak teladan yang memperlihatkan telah terjadi naskh antara keduanya.  Contoh masalah pada hadith ziarah qubur.
Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits
1.  Nasakh Hadith Dengan Hadith
            Ulama Usul al-Fiqh sepakat menyampaikan hadis boleh dinasakhkan dengan hadis, mutawatir dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur dan mutawatir dengan ahad. Contohnya ialah hadis larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging korban.
2.  Nasakh Hadith dengan al-Qur’an
            Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya nasakh hadis dengan al-Qur’an. Walau bagaimanapun, Imam al-Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur berhujah bahawa nasakh menyerupai ini memang berlaku dengan mengemukakan teladan perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke arah Baitul Maqdis sememangnya thabit tetapi dengan hadis bukan al-Qur’an. Al-Hazimi mengemukakan satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان اول ماقد المد ينة نزل على احداده من الاء نصاروانه صلى قبل بيت المقد س سته عشر شهرا اءوسبعه عشر شهر.
Daripada al-Barra’ bin `Azib bahawa kasus yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. apabila hingga di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari kalangan Ansar dan baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan.

Hadith  ini telah dinasakhkan oleh ayat berikut:
Sesungguhnya Kami sering melihat mukamu mengadah ke langit, maka sesungguhnya Kami akan memalingkan kau ke kiblat yang kau sukai. Palingkanlah mukamu kr arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kau berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (Surah al-Baqarah: 144)
3.  Nasakh al-Qura>n Dengan Hadith
            Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadis dengan al-Qur’an sementara Imam al-Syafie menegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan nasakh al-Qur’an dengan hadis mutawatir dan masyhur kerana ianya tersebar luas di kalangan manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah dengan ayat wasiat kepada ibu bapa dan kaum kerabat.
Diwajibkan ke atas kamu, apabila seorang di antara kau kedatangan gejala maut, jikalau ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapa dan kaum kerabat secara ma`ruf, ini ialah kewajipan atas orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah:180)

Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadis:
عن ابي امامة, قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسم يقو ل: " ان الله قد أعطى كل ذي حق حقه, فلا وصية لوارث" ابو داود
Daripada Abu Umamah, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah memilih kepada setiap orang yang memiliki hak akan hak masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris (orang yang berhak mendapatkan pusaka).”

            Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahawa ayat wasiat itu sebetulnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah al-Maidah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.[16]

D.    URGENSI DAN HIKMAH NASIHK MANSUKH
Mengetahui nasikh dan mansukh merupakan suatu keharusan bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah, lantaran mustahil sanggup menyimpulkan suatu aturan tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. Oleh alasannya ialah itu, para ulama sangat memperhatikan ilmu tersebut dan menganggapnya sebagai satu ilmu yang sangat penting dalam bidang ilmu hadits.
Para ulama banyak menaruh perhatian yang khusus dalam ilmu ini, Imam Syafi’i termasuk ulama yang memiliki keahlian dalam ilmu nasikh dan mansukh[17]. Hal ini kita ketahui berdasarkan wawancara Imam Ahmad dengan Ibnu Warih yang gres saja tiba dari Mesir. Imam Ahmad berkata : ”Apakah telah kau kutip tulisan-tulisan Imam Syafi’i?, ”Tidak”, jawabnya. ”Celakalah kamu” hardik Imam Ahmad. ”Kamu tidak sanggup mengetahui dengan tepat wacana nasikh dan mansukhnya suatu hadits sebelum kita semua ini duduk belajar dengan Imam Syafi’i.[18]
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah ketemu dengan seorang qadli, kemudian ditanyalah sang qadli itu, ”Apakah kau mengenal nasikh dan mansukhnya suatu Hadits?”. ”Tidak”, jawab qadli itu. ”Celakalah dirimu dan menciptakan pula celaka orang lain.”, bentaknya.
Sebagian ulama menyusun buku wacana nasikh dan mansukh dalam hadits, diantaranya :
1. An-Na>sikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), namun tidak hingga ke tangan kita.
2. Na>sikhul-Hadith wa Mansukhihi, karya andal hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
3. Nasikhul-Hadith wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad.
4. Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H).
5. An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi[19].

KESIMPULAN
Misi utama kedatangan shari’at ialah mereformasi atau memperbaiki kondisi umat insan dan mewujudkan apa yang menjadi kemaslahatan mereka. Kemasalahatan ini tentunya sesuai dengan tuntutan sebab-sebab tertentu. Berangkat dari pemaparan di atas maka sanggup kita simpulkan, bahwa jikalau tiba nash shar’i yang mengandung suatu ketetapan hukum, dan kemudian pada waktu yang lain tiba lagi nash shar’i yang membatalkan ketetapan aturan yang terkandung di dalam nash shar’i yang pertama, baik sebagian atau seluruhnya, maka yang pertama di sebut mansukh (yang terhapus) dan yang kedua disebut na>sikh (yang menghapus)
Ilmu na>sikh dan mansukh sudah ada semenjak periode hadits pada awal kala pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang bangun sendiri.
Syarat-syarat nasakh yaitu: Adanya mansukh (yang dihapus), Adanya mansukh bih (yang dipakai untuk menghapus), adanya nasikh (yang berhak menghapus), adanya mansukh ‘anhu (arah aturan yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah pandai baligh atau mukallaf).
Demikianlah makalah sederhana kami, supaya apa yang telah kami paparkan dalam makalah ini, sanggup memberi pemahaman kepada kita semua yang nantinya bermanfaat bagi kami khususnya, dan bagi seluruh mahasiswa pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mifdlol. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar. 2005.

Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits ,Bandung: Pustaka Setia, 2009

Fachtur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1974

Nur , M. Qodirun dan Ahmad Musyafiq. Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta : Gaya  Media Pratama. 1998.

Thahani (At) , Mahmud. Taisir Musthalah Al-Hadits, Surabaya : Bungkul Indah, 1985

Salih (As), Subhi. Mus}t}olah Hadith, tt.

Qattan (Al), Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits cet. 1, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005

Zuhaili, Ilmu Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 2. (tt) h 967