Dinasti Umayyah Berdirinya Dan Munculnya Sistem Monarki
PENDAHULUAN
Membahas wacana sejarah Bani Umayyah tentunya tidak sanggup dipisahkan dari seorang tokoh Mu’awiyah Ibn Abi Sofyan keturunan ketiga dari Umayyah Ibn ‘Abd Sham yang juga disebut dengan Bani Umayyah, dan juga kebijakan-kebijakan politik di masa khulafaur rhasidin. Seperti dijelaskan oleh beberapa tokoh menyerupai Fakhri,bahwa, Mu’awiyah merupakan tokoh yang memeiliki kepribadian menarik, lemah lembut, cakap dalam mengatur siasat, bijaksana, kapasitas intelektual yang tinggi, dan juga fasih dalam berbicara.[1] Karir politiknya mulai terlihat pada masa khalifah Abu Bakar yang ditandai dengan keterlibatannya sebagai militer. Kemudian di masa khalifah Umar, ia diangkat sebagai Gubernur di Damaskus. Beriringan dengan kepemerintahannya di damaskus, wilayah kekuasaannya bertambah luas ketika khalifah ‘Usman bekuasa, lantaran seluruh wilayah Syam berada dalam pengawasannya.
Ambisi Mu’awiyah untuk menjadi orang nomor satu di dunia Islam ditengarahi ketika kekhalifahan sudah di tangan Ali ibn Abi Thalib, yang mana dalam kepemimpinannya, Ali banyak tetapkan kebijakan-kebijakan yang menimbulkan suhu perpolitikan semakin kisruh, ditambah dengan terbunuhnya khalifah ‘Usman, sehingga dimana-mana terjadi pemberontakan, menyerupai perang Jamal dan perang Shiffin.
Peralihan kekuasaan kepemimpinan umat Islam dari khalifah Ali bin Abi Thalib ke Mu’awiyah tidak sama dengan khalifah-khalifah sebelumnya yang berlangsung secara damai, tertib dan demokratis. Peralihan kekuasaan dari Ali ke Mu’awiyah diwarnai dengan peperangan (Perang Shiffin) yang awalnya kemenangan hampir berpihak kepada Ali, namun dengan tipu siasat Mu’awiyah yang mengajak Ali untuk berdamai dan menciptakan janji bahwa untuk menentukan pemimpin diserahkan sepenuhnya kepada rakyat. Perundingan itu ditandai dengan proses tahkhim, yang senyatanya itu hanya dijadikan siasat Mu’awiyah untuk menjadi seorang pemimpin.
Darisinilah pemerintahan Mu’awiayah ibn Abi Shofyan dimulai dengan bebagai corak gres sistem kepemerintahannya (sistem kerajaan atau sistem monarki), yang sekaligus mengawali munculnya secara terang-terangan kekeuasaan Dinasti Umayyah[2] sebagai generasi kekhalifahan setelah khulafaur rhasidin.
PEMBAHASAN
A. Berdirinya Dinasti Umayyah
Bani Umayyah, sebelum menjadi Dinasti tak lain ialah salah satu kabilah yang ada di bangsa Arab, sama halnya dengan kabilah-kabilah yang lain (quraisy, ansor, muhajirin dll). Setelah wafatnya Rasulullah, kekelifahan dilanjutkan oleh sahabat-sahabatnya yang lebih dikenal dengan masa khulafaur rashidin (Abu Bakar, Umar, ‘Usman, Ali). Dengan corak kepemimpinannya masing-masing khalifah, pada masa Ali, kekhalifahannya mengalami pergolakan politik yang sangat besar. Banyaknya pemberontakan-pemberontak terhadap Ali, menyerupai perang Jamal dan perang Shiffin. Pada perang Shiffin[3] (anatara Ali dan Mu’awiyah) inilah kekhalifahan Ali berakhir, alasannya ialah peperangan telah dimenangkan oleh pasukan Mu’awiyah secara politik yang licik (menghianati tahkim).
Babak gres kekhalifahan Mu’awiyah telah dimulai.[4] Banyak perubahan-perubahan yang dilakuan oleh Mu’awiyah, terutama dalam sistem pemerintahannya dirubah menjadi “bentuk negara”[5]. Mu’awiyah menentukan bentuk kerajaan atau mamlakat[6] dengan pertimbangan untuk menghindari terjadinya kericuhan-kericuhan dalam menentukan khalifah sesudahnya (kericuhan ketika terpilihnya Abu Bakar, antara suku ansor dan muhajirin di sakhifah, ataupun pada masa ‘Umar, Usman, dan Ali)[7]. Apa yang dilakukan oleh Mu’awiyah dalam menentukan sistem kerajaan atau monarki bahwasanya tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan politiknya, alasannya ialah tidak menutup kemungkinan Ia mempunyai ambisi biar dunia Islam dipimpin oleh dinastinya sendiri (Bani Umayyah), dan kemungkinan yang lain ialah untuk mempermudah anaknya, yakni Yazid bin Mu’awiyah untuk naik kesinggasana sebagai pengganti dirinya.[8] Pada masa kekuasaan Mu’awiyah inilah kekuasaan Dinasti Umayyah dimulai,[9]
Dinasti Umayyah (40 – 131 H / 661 – 750 M)[10] mempunyai sistem pemerintahan lebih modern dibandingkan pada masa khulafaur rashidin (hidup dalam kesederhanaan, rakyat cukup gampang untuk menemui seorang khalifah), sementara Mu’awiyah corak hidupnya dipenuhi dengan kemewahan, berfoya-foya, dan menutup diri terhadap rakyatnya, bahkan dalam urusan sembahyang Ia mempunyai tempat khusus di dalam Masjid yang hanya dirinya sendiri yang boleh menempati.
Untuk mengkokohkan struktur pemerintahannya, Dinasti Umayyah (Mu’awiyah) telah mengangkat tiga orang untuk menempati posisi yang sangat strategis, yakni : 1) ‘Amr bin ‘As (pada tahun 656 M Ia mendukung Mu’awiyah dan pribadi diangkat menjadi Gubernur di Mesir), 2) Mughirah bin Shu’bah (karena mempunyai kekuatan politik yang besar dan memadahi, ia diangkat menjadi Gubernur di Kuffah), 3) Ziyad bin Abihi (diangkat sebagai gubernur di Bashrah propinsi Persia Utara)[11]
Tidak berhenti disitu, Dinasti Umayyah juga membentuk beberapa dewan atau forum beserta pembagian kiprah masing-masing, lembaga-lembaga tersebut ialah Diwan Rasail (Sekretaris Negara) yang bertugas untuk mengeluarkan surat-surat penting kepada para amir dan gubernur, Diwan Kharaj yang bertugas mengurus uang pajak, Diwan Jundi yang berfokus pada kasus pertahanan dan keamanan, Diwan Mustaghilah atau Iradat yang fungsinya sangat umum, Diwan Katib yang kerjanya khusus mencatat dan memperbanyak segala keputusan khalifah baik berupa perintah maupun larangan.[12]
Dengan terbentuknya struktur kepemerintahan yang berpengaruh dan didukung keuangan yang kaya, Dinasti Umayyah banyak meraih kemajuan-kemajuan dan pembaharuan. Diantaranya adalah:[13]
1. Perkembangan di bidang kesusasteraan dan cerita-cerita rismi.
2. Di bidang Ilmiyah, tepatnya pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azis berhasil mentrjemahkan buku-buku kedokteran, ilmu kimia kedalam bahasa Arab (memerintah dari 97-100 H/717-720 M)[14].
3. Arsitektur, di masa “abd al- Malik pada tahun 691 H.
4. Membuat langbang kerajaan, berupa bendera warna merah.
5. Pembuatan mata uang yang lalu disebarkan keseluruh punjuru negeri Islam.
6. Pembuatan panti asuhan untuk bawah umur yatim, penti jompo.
7. Pengembangan angkatan bahari dengan jumlah 1700 buah.
8. Pengadaan kertas.
9. Kodifikasi hadis.
Dari paparan di atas, sanggup kita tarik benang merah bahwa Dinasti Umayyah yang mana Mu’awiyah bin Abi Shofyan sebagai aktivis pertama, menimbulkan politik sebagai dasar kekuatanya. Dengan modal kecakapan berdiplomasi dan merubah gaya kepemerintahan dari khalifah-khalifah sebelumnya (pemerintahan yang bersifat demokratis bermetamorfosis sistem Kerajaan atau Monarki) atau monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), Mu’awiyah berhasil menimbulkan Bani Umayyah menjad Dinasti Umayyah yang berkuasa selama kurang lebih 90 tahun.
Mu’awiyah telah memindahkan Ibu Kota sebelumnya (Madinah) ke Damaskus, yang mana ini merupakan tempat kekuasaannya ketika ia menjabat sebagai gubernur. Adapun khalifah-khalifah besar dimasa Dinasti Umayyah antara lain ialah Mu’awiyah bin Abi Shofyan (menjabat dari 661-680 M), Abd Al-Malik ibn Marwan (685-705 M), Walid ibn Abdul Malik (705715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M), dan Hasyim ibn Abd Al-Malik (724-743 M).[15]
B. Munculnya Sistem Monarki Dinasti Umayyah
Corak sistem pemerintahan di dunia Islam sebelum masanya Mu’awiyah bin Abi Shofyan, lebih bercorak musyawarah atau demokratis dalam menentukan pemimpin, serta tidak adanya struktur pemerintahan yang rapi. Berbeda dengan masa Mu’awiyah, berpijak dari kemampuan gaya berpolitiknya dan dengan diplomasinya yang cerdik, Mu’awiyah telah merubah gaya kepemerintahan menjadi sistem kerajaan atau monarki. Langkah ini ia lakukan lantaran ambisinya untuk menguasahi dunia Islam yang harus dipimpin dari golongannya sendiri (Bani Umayyah).
Berawal dari pengangkatannya terhadap anaknya sendiri, yakni Yazid bin Mu’awiyah menjadi penggantinya, Bani Umayyah telah benar-benar menimbulkan model Negara Monarki sebagai pola bernegara. Meskipun bahwasanya model tersebut telah menerima tantangan dari para ulama, lantaran bentuk kekaisaran atau monarki sama sekali tidak dikenal dalam Islam. Sistem ini telah diadopsi dari Bizantium dan Sasanid. Ia tetap memakai istilah “khalifah”, namun diinterprestasikan dalam pengertian yang baru, artinya, khalifah merupakan jabatan yang diangkat oleh Allah “khalifah Allah” atau “penguasa”.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa cikal bakal munculnya Dinasti Umayyah ketika terjadi prahara antara Ali dan Mu’awiyah yang disebabkan lantaran tuntutan fanatisme (pertikaian usang antara banyak sekali keluarga dalam satu suku ataupun suku yang lain). Mu’awiyah tidak sanggup membela dirinya sendiri dan masyarakatnya. Persoalan ini dirasakan oleh Bani Umayyah, oleh lantaran itu, mereka mengerahkan kekuatannya demi demi duduk kasus itu dan berjuang mati-matian untuk mempertahankan. Di tokohi oleh Mu’awiyah bin Abi Shofyan yang yang berhasil merebut kekuasaan dari Ali, dari seni kekuasaan Dinasti Umayyah telah dimulai.
Selanjutnya Mu’awiyah sebagai aktivis pertama Dinasti Umayyah juga merubah sistem pemerintahan dari theo demokrasi menjadi sistem kekaisaran atau monarki (yang ia adopsi dari Bizantium dan Persia. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Mu’awiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk sumpah setia kepada anaknya, Yazid bin Mu’awiyah sebagai pengganti dirinya. Dengan mengacu pada sistem monarki ini Dinasti Umayyah telah berhasil mempertahankan kekuasaannya selama kurang lebih 90 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab Islam,Yogyakarta:LKIS, 2007,vol. I
Hadi Permono,Sjecchul, Islam Dalam Lintas Sejarah Perpolitikan Teori Dan Praktek, Surabaya: CV. Aulia, 2004, cet. I
Madjid,Nurcholish, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta: yayasan wakaf Paramadina, 1992, cet. I
Supriyadi,Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Yatim,Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004, cet. 16