Ideologi Pendidikan
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk tuhan yang dipersiapkan untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi dalam kerangka mengabdi kepada tuhan.pendidikan islam dikaitkan dengan konsepsi insiden insan yang semenjak awal kejadiannya sebagai makhluk tuhan yang paling tepat yang dibekali potensi hidayah budi dan ilmu,maka itu merupakan proses panjang yang tidak berkesudahan sehingga siap untuk memikul amanat tuhan dan tanggung jawab,sepanjang dunia ini masih ada.
Pendidikan Islam dalam eksistensinya sebagai komponen pembangunan bangsa,khususnya di Indonesia,memainkan tugas yang sangat besar dan ini berlangsung semenjak jauh sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia,hal ini sanggup dilihat pada praktik pendidikan islam yang diselenggarakan oleh umat islam melalui lembag lembaga pendidikan tradisional menyerupai majlis taklim, lembaga pengajian,surau dan pesantren – pesantren yang berkembang subur dan eksis hingga sekarang.
PEMBAHASAN
A. Ideologi pendidikan: Sebuah konsep
Ideologi sebagai sebuah konsep, para andal menjabarkan definisi tentang ideologi dari aneka macam perspektif. Ideologi memperoleh makna tertentu melalui wacana dan konteks. Ia bisa bermakna sebagai sesuatu yang positif, netral yang bersumber dari ide-ide tertentu, namun juga ia bisa dimaknai sebagaiyang neggatif. Sinomin dengan tipu muslihat dan kefanatikan. David Mclellan member pengantar untuk topic ideologi dimulai dengan menyatakan: Ideologi ialah suatu konsep yang paling sukar di pahami dalam ilmu sosial secara keseluruan.
Dalam penggunaan sehari-hari, ideologi cenderung menjadi istilah negative yang terutama dipakai untuk mengelompokan ide-ide yang bias dan/atau ekstrim. Untuk menghidari kesalah pahaman arti ideologi, maka perlu melihat pendekatan-pendekatan yang dipakai sebagai berikut :
1. Ideologi sebagai pemikiran politik
2. Ideologi sebagai kepercayaan dan norma
3. Ideologi sebagai bahasa, simbol, dan mitos, serta
4. Ideologi sebagai kekuatan elite.
Sebagai konsep istilah, ideologi dimaksud ialah serangkaian kepercayaan (belief) yang menjadi orientasi bagi sebuah tindakan. Antoine Destutt de Tracy (1754-1836M), seorang darah biru yang bersimpati pada revolusi prancis (1789), pengikut rasional gerakan pancerahan, yang membuat istilah ideologi Pada 1796. Ia memandang ”ideologi” sebagai ilmu wacana pikiran insan yang bisa menunjukkan arah yang benar menuju masa depan. Sementara berdasarkan O’Neill, ideologi tumpuan gagasan yang mengarahkan dan menggerakkan tindakan-tindakan dalam pendidikan dipandang sebagai sistem nilai atau keyakinan yang mengarah dan menggerakkan suatu tindakan sosial. Dengan demikian ideologi pendidikan membahas dan mengkaji sistem nilai atau tumpuan gagasan yang menggerakkan tindakan pendidikan inilah yang sering dalam posisi out side kesadaran kita (pendidikan). Sehingga subjek pendidikan sering “awam” atau “mungkin” akal-akalan awam dengan sistem nilai atau gagasan tersebut. Iplikasinya orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan, utamanya penerima didik, terpasung dan terformat oleh tumpuan gagasan yang berada di luar kesadarannya. Akibatnya dunia pendidikan dijadikan alat legitimate penguasa untuk mempertahankan “status quo” dengan cara memasung kebebasan akademik atas nama asas pancasila.
Persoalan ideologi dalam pendidikan, memang merupakan problem yang rumit, lantaran terkait dengan sistem nilai atau tumpuan gagasan yang menjadi keyakinan seseorang atau kelompok bahkan berdasarkan O Neill, upaya untuk mengetahui ideologi pendidikan seseorang biasanya tidak cukup untuk membuat kita tahu apa yang paling mungkin untuk dilakukan dalam klarifikasi lebih lanjut, O Neill memakai struktur mendasar yang menghubungkan antara sistem nilai dengan kebijakan-kebijakan pendidikan.
Teori ideologi berdasarkan O’Neill ini bersumber dari etika sosial (moral maupun politik) Etika sosial ini kemudian menjadi sistem nilai yang mengarah pendidikan, dan sistrm nilai ini menjadi alasannya ialah sekaligus jawaban daari perubahan sosial yang mendasar.
Ideologi Konservatif dibagi lagi dalam tiga kelompok yaitu: fundamentalisme, intelektualisme, dan konservatisme, sedangkan ideologi penddikan liberal dibagi juga dalam tiga kelompok, yaitu: liberalisme, liberasinisme, dan anarkisme. Pemetaan ideologi yang dilakukan O’Neill ini gres sebatas sumbangan teoritis untuk pemetaan ideologi pendidikan di Indonesia.
Secara umum kita mengetahui bahwa peta ideologi pendidikan di Indonesia lebih bersifat sentralistik, lantaran mengacu pada ideologi Negara yakni ideologi pancasila yang sarat dengan kepentingan-kepentingan penguasa Negara, namun dengan mencoba melalui implementasi instrument pendidikan, kita sanggup memetakan ideologi pendidikan nasional berdasar pada teori O’Neill.
Mengkaji ideologi pendidikan di Indonesia, kita memerlukan pengetahuan wacana tripilogi (kurikulm). Dengan sistem MBS yang belum usang diberlakukan oleh pemerintah, disini coba diasumsikan bahwa MBS muncul karena:
1. Keinginan untuk menyelaraskan antara materi pendidikan dengan kebutuhan penerima didik.
2. Keinginan untuk mengoptimalkan otonomi sekolah dan daerah, sehingga beban (pendanaan)sedikit berkurang.
Tetapi pada tataran realitas, pendidikan di Indonesia, terjadi kesalahan kelola. Ini terbukti pada birokrasi pemerintah yang lebih bersifat inkonsisten, irasional, pragmatis, adikara dan tidak professional. Karena professional lebih dimaknai sebatas pada bayaran yang tinggi tanpa memerhitungkan kualifikasi, tanggung jawab dan intregritas yang tinggi. Ini ialah warisan orde gres yang hanya mengajarkan kepatuhan dan manipulasi saja.
B. Paradigma Pendidikan Islam di Indonesia.
Mengarahkan pandangan ke arah pembangunan pendidikan di Indonesia sepertinya membutuhkan keseriusan. Banyak hambatan yang menghadang. Tidak hanya aspek internal, melainkan benturan kebudayaan (clash of civization), memaksa pemerhati, pakar dan pelaku pendidikan untuk mengkaji ulang mengenai orientasi sistem pendidikan bangsa. Paradigma pendidikan yang berkembang di Indonesia lebih bersifat pada silent culture.
Dari sini kemdian timbul pertanyan, apa saja aspek kehidupan ini? dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan memiliki visi berbeda-beda, perbedaan tersebut tidak bisa lepas dari sistem politik dan tabiat sosiokultural yang mengitarinya. Misalnya, secara historis – sosiologis, Muhaimin memetakan setidak-tidaknya telah muncul beberapa paradigma pengembangan pendidikan (Islam) sebagai berikut:
1. Paradigma Formisme
Di dalam aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya ialah dikotomi dan diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, menyerupai pria dan perempuan, ada dan tidak ada, madrasah dan non madrasah, pendidikan agama dan pendidikan umum,dan seterusnya.
Paradigma tersebut pernah terwjud dalam realitas sejarah pendidikan (islam). Pada periode pertengahan, lembaga pendidikan islam (terutama madrasah sebagai perguruan tinggi atau al-jamiah) tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan semata-mata untuk membuatkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Ia banyak diabdika pada al-ulum al-madinah. Sementara itu penguasa politik yang memprakasai berdirinya madrasah, mungkin karna dorongan politik tertentu motivasi murni menegakkan ortodoksi, sering mendikte madrasah atau al-jamiah untuk tetap dalam kerangka ortodoksi (kerangka syariah).
2. Paradigma Mekanisme
Paradigma prosedur memandang kehidupan terdiri dari aneka macam aspek dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan berdasarkan fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling konsultasi atau tidak.
Dalam paradigma ini, pendidikan agama sebagai sumber nilai lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau demensi efektifnya dari pada demensi kognitif dan psikomotor, dalam arti demensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk training efektif (moral dan spiritual), yang berbeda dangan mata pelajaran lainnya.
Paradigm organisme merupakan kesatuan atau sebagai system (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha membuatkan pandangan atau semangat hidup yang di manifestasikan dengan perilaku hidup dan ketrmpilan hidup.Dalam konteks pandangan semacam itu,penting kiranya membangun kerangka pemikiran yang bersumber pada fundamental doctrins dan fundamental volues yang tertuang dalam AL-Quran dan As-Sunnah.
Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan (islam) diperlukan sanggup mengintegresikan nilai-nilai pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik,serta bisa melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), memilik kematangan propresional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama (imtag).
C. Menilik Ideologi Pendidikan Pesantren
Dilihat dari pemetaan ideologi pendidikan yang di lakukan oleh O’Neill, dunia pendidikan pesantren di Indonesia sanggup di petakan kedalam tiga tipe :
Pertama, idiologi pendidikan konservatif atau idiologi tradisional. Pada model pendidikan pesantren ini, pendidikan tidak lebih hanya sebatas proses transfer of kwoledge, pengalihan dan pertolongan pengetahuan dari kiai atau (guru) kepada santri (murid). Idiologi yang di bangkit pada model pesantren ini ialah bahwa seseorang wajib untuk menuntut ilmu. Dalam pencarian ilmu itu seorang murid harus melalui guru atau kiai yang menjadi sumber pengetahuan. Ketika sedang menuntut ilmu, maka seorang santri atau murit harus tunduk dan patuk pada apa yang menjadi ketentuan guru( melalui hukum atau arahan etik pesantren) yang telah ditentukan secara otoritatif oleh kiai sebagai pengasuh utama di pesantren. Model pesantren menyerupai ini direpresentasikan oleh pesantren salafiyah (tradisional) pada umumnya.
Kedua, idiologi pendidikan modern (dalam ungkapan O’Neill disebut dengan idiologi liberal). Pada model pendidikan ini, pendidikan ialah sebuah proses pendewasaan diri yang dilakukan oleh pelajar atau siswa atau santri. Sebagai prosese pendewasaan, maka seorang santri harus menjadi subjek dalam proses pendidikan. Ia tidak terbelenggu oleh sekat-sekat “aturan” atau “kode etik” santri. Santri sebagai subjek pendidikan berhak untuk menentukan caranya sendiri dan tujuannya tanpa harus mengikuti apa yang menjadi garis atau hukum guru atau kiai. Dalam proses pembelajarannya santri tidak sekedar menjadi target pendidikan yang diberikan oleh kiai, akan tetapi santri boleh mengkritik dan bahkan “melawan” kiai (dalam konteks menyalahi atau berbeda pendapat dengan kiai). Pada model pesantern ini, santri bisa menentukan sendiri mareri apa yang hendak dipelajari atau menentukan kiai (guru) nya.
Ketiga, idiologi pendidikan transvormatif atau partisipatoris, dengan kata lain pendidikan pesantren yang berbasis masyarakat, idiologi pendidikan pesantren yang cukup penting dan besar lengan berkuasa bagi umat islam.
D. Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Islam: Integrasi Keilmuan
Mencermati proses serta kenyataan pendidikan yang berlangsung di Indonesia selama ini yang masih mencari bentuk idealnya,kita memulai paradigma penddikan islam yang ideal. Paradigma ilmu selama ini diikuti oleh masyarakat pendidikan di Indonesia yang dikotomik ternyata berdampak pada terjadinaya ketimpangan pengembangan keilmun yang mengarah kepada ilmu yang sekularistik dan ilmu yang fundamentalistik (normatif), dengan adanya pemisahan ilmu agama dan ilmu umum.
Akhir-akhir ini, kehadiran universitas Islam Negeri di beberapa kota di wilayah Indonesia,yakni di Jakarta (UIN syarif hiyatullah Jakarta), di Yogyakarta (UIN Sunan kalijogo Yogakarta), di malan (UIN Malang), dan di pekanbaru (UIN Syarif Qosim Pekanbaru, Riau),salah satu misinya ialah berupa membuatkan keilmuan yang bersifat integrative.
Namun kenyataan bahwa di masing-masing UIN tersebut, selain membuatkan fakultas agama juga membuatkan fakultas-fakultas umum. Akibatnya, ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum lagi-lagi masih terlihat dengan terperinci terpisah, yakni masih memeihara pandangan dan perlakuan dikotomi terhadap ilmu. Hal ini diperkuat dengan masih adanya dua lembaga (departemen) pengelola pendidikan tinggi islam, yakni Departemen pendidikan Nasional (Diknas) sebagai tepat bernaungnya fakultas-fakultas umum (seperti saintek dan sosial humaniora) dan departemen agama (Depag) yang menaungi fakultas-fakultas agama (Arab, Dakwah, Syariah, Tarbiyah, dan Ushuludin), yang kedua-duanya memang diakui secara yuridis formal.
Fakta yang demikian, dengan masih lekatnya dikotomisasi keilmuan di Indonesia, tidak berarti penyelanggaraan pendidikan (tinggi) tidak bisa merubahnya, bahkan dengan konversi sejumlah IAIN dan STAIN menjadi UIN ialah sebagai jawaban untuk menuju universitas yang integralistik, yang membuatkan ilmu secara integratif non dikotomik
KESIMPULAN
Pendidikan di Indonesia (termasuk pendidikan islam) kini ini sedang mengarahkan pada harapan idealisme pendidikan yang berangkat dari holistika pendidikan, dimana kini sedang dikembangkan sebuah pendidikan yang integratif, diberlakukan sistem administrasi pendidikan berbasis sekolah (MBS) dan kurilulum berbasis sekolah (KBS), pendidikan berbasis masyarakat (PBM), dan kurikulum berbasis (KBK), pada ranah ideologis, pendidikan islam mulai mengarah pada pendidikan yang integratif dengan memadukan materi-materi ilmu agama dan umum (yang selama ini menjadi dilotomi yang ekstrim) semakain disadari perlunya integratia dan berdialog secara interaktif serta melaksanakan interkoneksi antara keduanya. Hal ini perlu dilakukan dari tingkat satuan pendidikan yang paling dasar (SD/MI) hingga pada perguruan tinggi. Secara khusus, di sektor pendidikan tinggi islam, institusi pendidikan tinggi agama, baik STAIN, IAIN sedang berbenah diri menuju pada universalisasi keilmuan dengan beralih statusnya (konversi) menjadi UIN.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Kedua, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Arifi Ahmad , 2005, “ Paradigma Pendidikan Pesantren berbasis Masyarakat “, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta : fakultas tarbiyah UIN Sunan Kalijogo, Volume 6, Nomor 2, Juli 2005.
Atho Mudzhar , 1998, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta :Pustaka Pelajar.
Mas’ud , Abdurrohman 2002, “ Sejarah dan budaya Pesantren “ dalam Ismail SM ( ed ), Dinamika Pesantren dan Madrasah Yogyakarta: Pustaka Pelajar.