Al - Mantuq Wa Al - Mafhum
PENDAHULUAN
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Quran, bersama-sama dari semua ayat yang ada didalam Al-Quran tersebut tidak semuanya menawarkan arti dan pemahaman yang terang terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh klarifikasi yang lebih mendalam mengenai aturan yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai sumber aturan Islam, tidak dibenarkan jikalau memahami Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan ihwal mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi makna yang terang ihwal apa yang dikandungnya, para mufassir menciptakan pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang menawarkan pemahaman secara eksklusif dan jelas, jugaada ayat yang maknanya tersirat didalam ayat tersebut. Oleh lantaran itu, semoga kita semua memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran, penulis akan memaparkan sedikit klarifikasi mengenai pengertian, pembagian, pola dari mantuq dan mafhum serta kehujahannya.
PEMBAHASAN
A. Mantuq dan Pembagiannya
Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan berdasarkan istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa nash dan zahir.
دلالـة الـمـنطوق هى دلا لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م ونـطـق بـه.
“Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan aturan (pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan eksklusif oleh lafal.”
Dari definisi ini sanggup dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan aturan yang sanggup dipahami dari penuturan eksklusif lafal nash secara tekstual. Sebagai pola sanggup dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ
“… Diharamkan bagi kau (menikahi) bawah umur tiri yang berada dalam asuhan kau dari isteri-isteri yang telah kau gauli…”
Berdasarkan ayat ini sanggup dipahami bahwa mantuq-nya ialah memperlihatkan secara terang bahwa haram menikahi bawah umur tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu; mantûq sarih dan mantuq gairu sharih.
1. Mantûq Sarih
Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nas, zahir, dan mu’awwal:[5]
a. Nash
Adalah lafadz yang bentuknya telah sanggup memperlihatkan makna yang secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah: 196
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila kau telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam memperlihatkan makna secara pasti.[6]
b. Zahir
Adalah suatu kasus yang memperlihatkan sesuatu makna yang segera dipahami saat ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah: 173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2. Mantûq Ghairu Sarih
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi 3 macam:
a. Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan eksklusif oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya lantaran memyebutkan suatu aturan eksklusif setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه الترمذى}
“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping memperlihatkan aturan melalui mantuqnya menyerupai yang terang tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa acara menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.[7]
b. Dalalat al-Isyarah yaitu suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari aturan yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan kami perintahkan kepada insan (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”[8]
c. Dalalat al-Iqtida’ yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak sanggup dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara terang memperlihatkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah terang ridak lurus, lantaran bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, lantaran lupa atau lantaran keterpaksaan.[9]
B. Mafhum dan Pembagiannya
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan berdasarkan istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu yaitu penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan aturan yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
Contohnya Q.S al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
“Jangan kau mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kau membentak keduanya”.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut yaitu larangan mengucapkan kata berangasan “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga sanggup dipahami adanya ketentuan aturan yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang renta dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Mafhum sanggup dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1. Mafhum Muwafaqah
Adalah suatu petunjuk kalimat yang memperlihatkan bahwa aturan yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada persoalan yang tidak tertulis, dan aturan yang tertulis ini sesuai dengan persoalan yang tidak tertulis lantaran ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah lantaran aturan yang tidak tertulis sesuai dengan aturan yang tertulis.
a. Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan.
Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Janganlah kamu menyampaikan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”
Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b. Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti firman Allah swt.:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya bersama-sama memakan api kedalam perut mereka”.
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dihentikan (haram).
2. Mafhum mukhalafah
Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh lantaran itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada suara lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Apabila kau dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kau mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan setelah mengerjakan sholat.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
a. Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan aturan sesuatu kepada syah satu sifatnya.
Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para hewan yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya yaitu hewan yang diberi makan, bukan yang digembalakan.[11]
Mafhum sifat ada 3 macam:
1) Mustaq dalam ayat.
Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jikalau tiba kepadamu orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti semoga kau tidak menimpakan suatu petaka kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kau menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa gosip yang disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.
2) Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau membunuh hewan buruan, saat kau sedang ihram. Barangsiapa diantara kau membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, berdasarkan putusan dua orang yang adil diantara kau sebagai had-yad yang dibawa hingga ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya ia mencicipi akhir jelek dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah kemudian dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, pasti Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi memiliki (kekuasaan untuk) menyiksa.”
Ayat ini memperlihatkan tiadanya aturan bagi orang yang membunuhnya lantaran tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan hewan buruan tidak sengaja.
3) ‘Adad (bilangan)
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
“(Musim) haji yaitu beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang memutuskan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kau kerjakan berupa kebaikan, pasti Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal yaitu taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
Mafhumnya ialah melaksanakan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.
b. Mafhum illat yaitu menghubungksn aturan sesuatu lantaran illatnya. Mengharamkan minuman keras lantaran memabukkan.[12]
c. Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang memperlihatkan aturan hingga pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....
“bila kau hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu hingga kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya yaitu membasuh tangan hingga kepada siku.
d. Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan aturan kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
e. Mafhum hasr yaitu pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya yaitu bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut memperlihatkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.[14]
f. Mafhum syarat , adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya aturan yang dihubungkan dengan syarat supaya sanggup berlaku aturan yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
“...Dan jikalau mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mererka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya yaitu istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.[15]
C. Kehujjahan
Mantuq sudah terang sanggup dijadikan hujjah, lantaran lafalnya yang jelas. Begitu juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa semua mafhum sanggup dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan lantaran penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk penyebutan adanya aturan padanya bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya aturan padanya saja. Oleh lantaran itu, dalam hal ini tidak sanggup diberlakukan aturan sebaliknya, kecuali jikalau ada dalil lain yang menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad yaitu utusan Allah.”
Ayat tersebut jikalau diambil mafhum mukhalafahnya akan menawarkan pengertian bahwa selain Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Inii terang bertentangan dengan nash yang ada.
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat yang paling shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil, argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain:[16]
a. Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum. Misalnya “yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23 yang artinya “... dan bawah umur wanita dan istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu...”, ini tidak ada mafhumnya (maksudnya ayat ini tidak sanggup dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi), alasannya yaitu pada umumnya bawah umur perempouan istri kitu berada dalam pemeliharaan suami.
b. Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti firman Allah QS. Al-Mu’minin: 117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya ihwal itu, maka sesungguhnya perhitungan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”
Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain dari Allah tidak ada dalilnya. Kaprikornus kata-kata “ padahal tidak ada satu dalilpun baginya ihwal itu” yaitu suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita realita dan untuk menghinkan orang yang menyembah Tuhan di samping Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal sanggup ditegakkan dalilnya.
KESIMPULAN
Dari aneka macam pembahasan yang telah kami paparkan diatas sanggup disimpulkan bahwasannya: Mantuq secara bahasa yaitu “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Manthuq sendiri terbagi menjadi nash, zahir dan mu’awwal. Sedangkan Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan berdasarkan istilah adalah “ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah). Mafhum sanggup dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat (fahwal khitab dan lahnal khitab). Sedangkan dalam Mafhum mukhalafat terdapat (mafhum al-washfhi, illat, ghayah, laqaab, hasr dan syarat).
Mantuq dan mafhum muwafaqah sanggup dijadikan sebagai hujjah, namun untuk mafhum mukhalafah terdapat pengecualian. Yaitu mafhum laqab yang tidak sanggup dijadikan sebagai hujjah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah Hukum Islam. Cetakan pertama. Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan keempat. Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010.
Karim, Asyafe’i. Fiqih Ushul Fiqih. Cetakan kedua. Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Tim Penyusun. Studi Al-Qur’an. Cetakan pertama. Surabaya : IAIN SA Press, 2011.
Efendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta : Penerbit Kencana, 2009.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Sya’ban, al-Din. Ushul al-Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965
Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Terj. Jakarta: Halim Jaya, 2009.