Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Model Pembelajaran Pesantren



     A.    Pendahuluan
Berbagai macam forum pendidikan di Indonesia, baik forum pendidikan formal maupun non formal, senantiasa eksis dan ikut serta berperan dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Salah satu forum pendidikan tersebut ialah pondok pesantren yang merupakan sebuah forum non formal yang merupakan forum pendidikan tertua di negeri ini yang masih mempunyai kiprah penting dalam dunia pendidikan. 
Pondok pesantren merupakan sebuah sistem yang unik, tidak hanya unik dalam hal pendekatan pembelajarannya, tetapi juga unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, serta semua aspek-aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya. Dari sistematika pengajaran, dijumpai sistem pelajaran yang berulang-ulang dari tingkat ke tingkat, tanpa terlihat kesudahannya. Persoalan yang diajarkan seringkali pembahasan serupa yang diulang-ulang dalam jangka waktu bertahun-tahun, walaupun buku teks yang dipergunakan berlainan.
Dalam keputusan Musyawarah/ Lokakarya intensifikasi Pengembangan pondok  pesantren yang diselenggarakan pada tanggal 2 s/d 6 Mei 1978 di Jakarta perihal pondok pesantren diberikan batasan sebagai  berikut: Pondok  pesantren  adalah  lembaga  pendidikan  Islam yang minimal terdiri dari tiga unsur yaitu Kyai/ syekh/ ustadz yang mendidik serta mengajar, santri dengan asramanya, dan masjid. Kegiatannya meliputi Tri Dharma Pondok Pesantren yaitu keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT; pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan dedikasi terhadap agama, masyarakat dan negara.[1]
Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional, yaitu metode pembelajaran yang diselenggarakan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang telah usang dipergunakan dalam institusi pesantren atau merupakan metode pembelajaran orisinil pesantren. Ada pula metode pembelajaran gres (tajdid), yaitu metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pesantren dengan mengintrodusir metode-metode yang berkembang di masyarakat modern. Penerapan metode gres juga diikuti dengan penerapan sistem baru, yaitu sistem sekolah atau klasikal (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007: 453). 
Dalam keadaan aslinya pondok pesantren mempunyai sistem pendidikan  dan pengajaran non klasikal, yang dikenal dengan nama bandungan, sorogan, dan wetonan. Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran  ini  berbeda  antara satu  pondok  pesantren  dengan  pondok pesantren  lainnya,  dalam  arti  tidak ada  keseragaman  sistem  dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya.
Sejalan dengan perkembangan zaman, forum pendidikan pesantren juga tidak menutup diri untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan baik metode maupun teknis dalam pelaksanaan pendidikan pesantren itu sendiri. Meskipun demikian tidak semua pesantren mau membuka mengadakan penemuan serta pembaharuan terhadap metode pembelajaran yang ada. 
Pada awal berdirinya pondok pesantren, metode yang dipakai ialah metode wetonan dan sorogan bagi pondok non klasikal. Pada perkembangan selanjutnya metode pembelajaran pondok pesantren mencoba untuk merenovasi metode yang ada tersebut untuk membuatkan pada metode yang gres yaitu metode klasikal. Kyai bertugas mengajarkan banyak sekali pengajian untuk banyak sekali tingkat pengajaran di pesantrennya, dan terserah kepada santri untuk menentukan mana yang akan ditempuhnya.
Kalau santri ingin mengikuti semua jenis pengajian yang diajarkan, sudah tentu akan membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi keseluruhan struktur pengajaran tidak ditentukan oleh panjang atau singkatnya masa seorang santri mengaji pada Kyainya, lantaran tidak adanya keharusan menempuh ujian dari Kyainya. Satu-satunya ukuran yang dipakai ialah ketundukannya kepada sang Kyai dan kemampuannya untuk memperoleh “ngelmu” dari sang Kyai.[2]
Di samping kurikulum pelajaran yang sedemikian fleksibel (luwes), keunikan pengajaran di pesantren juga sanggup ditemui pada cara derma pelajarannya, juga dalam penggunaan materi yang telah diajarkan kepada dan dikuasai oleh para santri. Pelajaran diberikan dalam pengajian yang berbentuk menyerupai kuliah terbuka.
Di samping itu, mata pelajaran yang diajarkan bersifat aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam perbuatan dan amal sehari-hari, sudah tentu kemampuan para santri untuk mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya, menjadi perhatian pokok sang Kyai.[3] Proses pembelajaran merupakan acara yang kompleks, maka hampir mustahil untuk memperlihatkan dan menyimpulkan bahwa suatu metode tertentu lebih unggul daripada metode yang lainnya dalam perjuangan mencapai semua tujuan pembelajaran.

B.     Pengertian Model Pembelajaran Pesantren
Secara etimologis, metode berasal dari kata “met” dan  “hodes” yang berarti melalui. Sedangkan secara terminologi, metode ialah jalan yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian yang dimaksud dengan metode pembelajaran ialah cara-cara yang harus ditempuh dalam acara mencar ilmu mengajar untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Adapun metode yang dipakai di lingkungan pondok pesantren antara lain, menyerupai tersebut di bawah ini dengan penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi masing-masing:
1.      Metode tanya jawab
2.      Metode widya wisata
3.      Metode diskusi
4.      Metode derma situasi
5.      Metode imlak
6.      Metode problem solving
7.      Metode mutholaah
8.      Metode pembiasaan
9.      Metode proyek
10.  Metode dramatisasi
11.  Metode dialog
12.  Metode reinforcement
13.  Metode karya wisata
14.  Metode berdasarkan teori
15.  Metode hafalan/ verbalisme
16.  Connectionisme
17.  Metode sosiodrama
18.  Metode dengan sistem modul
Secara umum metode pembelajaran yang diterapkan pondok pesantren meliputi dua aspek, yaitu:
1.      Metode yang bersifat tradisional (salaf), yakni metode pembelajaran yang diselenggarakan berdasarkan kebiasaan yang telah usang dilaksanakan pada pesantren atau sanggup juga disebut sebagai metode pembelajaran orisinil (original) pondok pesantren.
2.      Metode pembelajaran modern (tajdid), yakni metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pondok pesantren dengan memasukkan metode yang berkembang pada masyarakat modern, walaupun tidak diikuti dengan menerapkan sistem modern, menyerupai sistem sekolah atau madrasah.[4]
Pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti teladan tradisional, yaitu model sorogan dan model bandongan. Baik dengan model sorogan maupun bandongan keduanya dilakukan dengan pembacaan kitab yang dimulai dengan pembacaan tarjamah, syarah dengan analisis gramatikal, peninjauan morfologi dan uraian semantik. Kyai sebagai pembaca dan penerjemah, bukanlah sekadar membaca teks, melainkan juga memperlihatkan pandangan-pandangan (interpretasi) pribadi, baik mengenai isi maupun bahasanya. Kedua model pengajaran ini oleh sementara pakar pendidikan dianggap statis dan tradisional.
Secara teknis, model sorogan bersifat individual, yaitu santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Sedangkan model bandongan (weton) lebih bersifat pengajaran klasikal, yaitu santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kyai membuktikan pelajaran secara kuliah dengan terjadual.

C.    Macam-Macam Model Pembelajaran Pesantren
Berikut  ini  beberapa  metode  pembelajaran  yang menjadi ciri utama pembelajaran di pesantren salafiyah:
1.      Metode Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa), yang berarti menyodorkan, alasannya ialah setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan Kyai atau pembantunya (badal, tangan kanan Kyai). Sistem sorogan ini termasuk mencar ilmu secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru,  dan terjadi interaksi  saling  mengenal  antara keduanya.[5]
Pembelajaran dengan sistem sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu. Ada tempat duduk Kyai atau ustadz, di depannya ada meja pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Setelah Kyai atau ustadz membacakan teks dalam kitab kemudian santri mengulanginya. Sedangkan santri-sanri lain, baik yang mengaji kitab yang sama ataupun berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh Kyai atau ustadz sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran dipanggil.
Inti metode sorogan ialah berlangsungnya proses mencar ilmu mengajar secara face to face antara Kyai dan santri. Keunggulan metode ini ialah Kyai secara niscaya mengetahui kualitas anak didiknya, bagi santri yang IQ nya tinggi akan cepat menuntaskan pelajaran, mendapatkan klarifikasi yang niscaya dari seorang Kyai. Kelemahannya ialah metode ini membutuhkan waktu yang sangat banyak.
Meskipun sorogan ini dianggap statis, tetapi bukan berarti tidak mendapatkan inovasi. Malah berdasarkan Suyoto, metode ini sesungguhnya konsekuensi daripada layanan yang ingin diberikan kepada santri. Berbagai perjuangan remaja ini dalam berinovasi dilakukan justru mengarah kepada layanan secara indivual kepada anak didik. Metode sorogan justru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang.[6]
Mastuhu memandang bahwa sorogan ialah metode mengajar secara indivividual eksklusif dan intensif. Dari segi ilmu pendidikan, metode ini ialah metode yang modern lantaran antara Kyai dan santri saling mengenal secara erat. Kyai menguasai benar materi yang seharusnya diajarkan, begitu pula santri juga mencar ilmu dan menciptakan persiapan sebelumnya. Metode sorogan dilakukan secara bebas (tidak ada paksaan), dan bebas dari kendala formalitas.[7]
2.      Metode Wetonan/ Bandongan
Wetonan istilah ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, alasannya ialah pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau setelah melaksanakan shalat fardhu. Metode wetonan ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kyai yang membuktikan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan menciptakan catatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat disebut dengan bandongan.
Pelaksanaan metode ini yaitu: Kyai membaca, menerjemahkan, membuktikan dan seringkali mengulas teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harakat (gundul). Santri dengan memegang kitab yang sama, masing-masing melaksanakan pendhabitan harakat kata eksklusif di bawah kata yang dimaksud supaya sanggup membantu memahami teks.
Metode bandongan atau weton ialah sistem pengajaran secara kolektif yang dilakukan di pesantren.[8] Disebut weton lantaran berlangsungnya pengajian itu merupakan inisiatif Kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, terutama kitabnya. Disebut bandongan lantaran pengajian diberikan secara kelompok yang diikuti oleh seluruh santri. Kelompok santri yang duduk mengitari Kyai dalam pengajian itu disebut halaqoh. Prosesnya ialah Kyai membaca kitab dan santri mendengarkan, menyimak bacaan Kyai, mencatat terjemahan serta keterangan Kyai pada kitab atau biasa disebut ngesahi atau njenggoti.[9]
H. Abdullah Syukri Zarkasyi, memperlihatkan definisi perihal metode bandongan, yaitu: “Di mana Kyai membaca kitab dalam waktu tertentu, santri membawa kitab yang sama, mendengarkan dan menyimak bacaan Kyai”.[10] Sedangkan Nurcholis Madjid memperlihatkan definisi perihal metode weton. Menurutnya, “weton ialah pengajian yang inisiatifnya berasal dari Kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu maupun lebih-lebih lagi kitabnya”.[11]
Senada dengan hal di atas, Hasbullah mendefinisikan perihal metode wetonan, menurutnya:[12]
Metode wetonan ialah metode yang di dalamnya terdapat seorang Kyai yang membaca kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, kemudian santri mendengarkan dan menyimak bacaan Kyai. Metode ini sanggup dikatakan sebagai proses mencar ilmu mengaji secara kolektif.

Zamakhsyari Dhofier juga memperlihatkan definisi perihal metode bandongan, menurutnya:[13]
Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 hingga 500) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, membuktikan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan menciptakan catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) perihal kata-kata atau buah pikiran yang sulit.

Dari beberapa definisi diatas, sanggup diambil kesimpulan bahwa model pembelajaran bandongan sama dengan metode wetonan maupun halaqah. Dalam model pembelajaran ini, santri secara kolektif mendengarkan dan mencatat uraian yang disampaikan oleh Kyai, dengan memakai bahasa kawasan setempat, dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, materi (kitab) dan tempat sepenuhnya ditentukan oleh Kyai.
Keunggulan metode ini ialah lebih cepat dan mudah sedangkan kelemahannya metode ini dianggap tradisional. Biasanya metode ini masih dipakai pada pondok-pondok pesantren salaf.
3.      Metode Musyawarah/ Bahtsul Masa'il
Metode musyawarah atau dalam istilah lain bahtsul masa'il merupakan metode pembelajaran yang lebih menyerupai dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin eksklusif oleh Kyai atau ustadz, atau mungkin juga senior, untuk membahas atau mengkaji suatu masalah yang telah ditentukan sebelumnya.[14] Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau pendapatnya.
Kegiatan evaluasi oleh Kyai atau ustadz dilakukan selama acara musyawarah berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya ialah kualitas balasan yang diberikan oleh penerima yang meliputi kelogisan jawaban, ketepatan dan kevalidan tumpuan yang disebutkan, serta bahasa yang disampaikan sanggup gampang difahami oleh santri yang lain. Hal lain yang dinilai ialah pemahaman terhadap teks bacaan, juga kebenaran dan ketepatan penerima dalam membaca dan menyimpulkan isi teks yang menjadi masalah atau teks yang menjadi rujukan.[15]
4.      Metode Pengajian Pasaran
Metode pengajian pasaran ialah acara mencar ilmu para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang Kyai/ ustadz yang  dilakukan oleh sekelompok santri dalam acara yang terus menerus selama batas waktu tenggang tertentu. Pada umumnya dilakukan pada bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang dikaji.
Metode ini lebih menyerupai dengan metode bandongan, tetapi pada metode ini sasaran utamanya ialah selesainya kitab yang dipelajari. Jadi, dalam metode ini yang menjadi titik beratnya terletak pada pembacaan bukan pada pemahaman sebagaimana pada metode bandongan.
5.      Metode Hapalan (Muhafazhah)
Metode hapalan ialah acara mencar ilmu santri dengan cara menghapal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan Kyai/ustadz. Para santri diberi kiprah untuk menghapal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hapalan yang dimiliki santri ini kemudian dihapalkan di hadapan Kyai/ustadz secara periodik atau insidental tergantung kepada petunjuk Kyai/ustadz yang bersangkutan.[16] Materi pelajaran dengan metode hapalan umumnya berkenaan dengan Al Qur’an, nazham-nazham nahwu, sharaf, tajwid ataupun teks-teks nahwu, sharaf dan fiqih.
6.      Metode Demonstrasi/ Praktek Ibadah
Metode ini ialah cara pembelajaran yang dilakukan dengan meperagakan (mendemonstrasikan) suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan Kyai/ustadz. dengan acara sebagai berikut:
-          Para santri mendapatkan penjelasan/ teori perihal tata cara pelaksanaan ibadah yang akan dipraktekkan hingga mereka betul-betul memahaminya.
-          Para santri berdasarkan bimbingan para Kyai/ ustadz mempersiapkan  segala peralatan dan perlengkapan yang diharapkan untuk acara praktek. 
-          Setelah menentukan waktu dan tempat, para santri berkumpul untuk mendapatkan klarifikasi singkat berkenaan dengan urutan acara yang akan dilakukan serta derma kiprah kepada para santri berkenaan dengan pelaksanaan praktek.
-          Para santri secara bergiliran/ bergantian memperagakan pelaksanaan praktek ibadah tertentu dengan dibimbing dan diarahkan oleh Kyai/ ustadz hingga benar-benar sesuai kaifiat (tata cara pelaksanaan ibadah sesungguhnya).
-          Setelah selesai acara praktek ibadah para santri diberi kesempatan menanyakan hal-hal yang dipandang perlu selama berlangsung kegiatan.[17]
7.      Metode Muhawarah
Muhawarah ialah suatu acara berlatih dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok. Beberapa pesantren, latihan muhawarah atau muhadasah tidak diwajibkan setiap hari, akan tetapi hanya satu kali atau dua kali dalam seminggu yang digabungkan dengan latihan   muhadhoroh atau khitobah, yang tujuannya melatih keterampilan anak didik berpidato.
8.      Metode Mudzakarah
Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah menyerupai ibadah dan aqidah serta masalah agama pada umumnya. Dalam mudzakarah tersebut sanggup dibedakan atas dua tingkat kegiatan:
-          Mudzakarah diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan melatih para santri supaya terlatih dalam memecahkan masalah dengan mempergunakan kitab-kitab yang tersedia. Salah seorang santri ditunjuk sebagai juru bicara untuk memberikan kesimpulan dari masalah yang didiskusikan
-          Mudzakarah yang dipimpin oleh Kyai, dimana hasil mudzakarah para santri diajukan untuk dibahas dan dinilai menyerupai dalam suatu seminar. Biasanya lebih banyak berisi Tanya jawab dan hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab.[18]

D.    Pengembangan Model Pembelajaran Pesantren
Dalam upaya pengembangan model pembelajaran di pesantren, yang menjadi pertimbangan bukan upaya untuk mengganti metode sorogan menjadi model perkuliahan sebagaimana sistem pendidikan modern, melainkan merenovasi sorogan menjadi sorogan yang mutakhir (gaya baru). Dimaksudkan sorogan yang mutakhir ini sebagaimana praktik dosen-dosen selama ini. Mereka mengajar kuliah dengan model sorogan. Mahasiswa diberi kiprah satu persatu pada waktu tatap muka yang terjadual, setelah membaca diadakan pembahasan dengan cara berdialog dan berdiskusi hingga mendapatkan pemahaman yang terang pada pokok bahasan.[19]
Sejalan dengan itu, sepertinya perlu dikembangkan di pesantren model sorogan gaya mutakhir ini sebagai upaya pengembangan model pengajaran. Sudah barang tentu akan lebih lengkap apabila beberapa ajuan metode sebagai alternatif perlu dipertimbangkan, menyerupai metode ceramah, kelompok kerja, tanya-jawab, diskusi, demonstrasi, eksperimen, widya wisata, dan simulasi.[20]
Metode pembelajaran yang lebih baik ialah mempergunakan acara murid-murid sendiri secara efektif dalam kelas, merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sedemikian rupa secara kontinu dan juga melalui kerja kelompok. Hal tersebut senada dengan ucapan Confusius dalam Mel Siberman:[21]
Apa yang saya dengar, saya lupa
Apa yang saya lihat, saya ingat
Apa yang saya lakukan, saya faham

Pola pengembangan pembelajaran yang disebutkan di atas, sanggup dituangkan ke dalam metode pembelajaran yang dipakai sewaktu mengajar. Adapun metode-metode tersebut ialah sebagai berikut:
  1. Metode Pembelajaran Terbimbing
Dalam teknik ini, guru menanyakan satu atau lebih pertanyaan untuk membuka pengetahuan mata pelajaran atau mendapatkan hipotesis atau kesimpulan mereka dan kemudian memilahnya kedalam kategori- kategori. Metode pembelajaran terbimbing merupakan perubahan dari ceramah secara eksklusif dan memungkinkan santri mempelajari apa yang telah diketahui dan dipahami sebelum menciptakan poin-poin  pengajaran. Metode ini sangat berkhasiat dikala mengajarkan konsep-konsep abstrak.[22]
  1. Metode Mengajar Teman Sebaya
Beberapa mahir percaya bahwa satu mata pelajaran benar-benar dikuasai hanya apabila seorang penerima didik bisa mengajarkan pada penerima lain. Mengajar teman sebaya memperlihatkan kesempatan pada penerima didik mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang sama, ia menjadi narasumber bagi yang lain.[23]
Adapun langkah-langkah metode mengajar teman sebaya ini, adalah:
-          Memulai dengan memperlihatkan kisi-kisi atau materi pelajaran kepada santri
-          Menyuruh santri untuk mempelajarinya atau mendiskusikannya sejenak
-          Menunjuk perwakilan dari santri untuk maju ke depan
-          Menyuruh perwakilan santri tersebut untuk mengajarkan (menerangkan) materi yang telah didiskusikan atau dipelajari.

E.     Kesimpulan
Dalam keadaan aslinya pondok pesantren mempunyai sistem pendidikan  dan pengajaran non klasikal, yang dikenal dengan nama bandungan, sorogan, dan wetonan. Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran  ini  berbeda  antara  satu  pondok  pesantren  dengan  pondok pesantren  lainnya,  dalam  arti  tidak  ada  keseragaman  sistem  dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya.
Secara umum metode pembelajaran yang diterapkan pondok pesantren meliputi dua aspek, yaitu metode yang bersifat tradisional (salaf) dan metode pembelajaran modern (tajdid). Namun secara rinci sanggup disebutkan beberapa model pembelajaran pesantren yaitu model sorogan, wetonan (bandongan), musyawarah (bahtsul masa’il), pengajian pasaran, muhafadzah (hapalan), demonstrasi, muhawarah, dan mudzakarah.
Perlu adanya pengembangan model pembelajara di pesantren yaitu dengan memakai metode pembelajaran yang lebih baik yakni mempergunakan acara murid-murid sendiri secara efektif dalam kelas, merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sedemikian rupa secara kontinu dan juga melalui kerja kelompok. Pola pengembangan pembelajaran yang dimaksud ialah metode pembelajaran terbimbing dan metode mengajar teman sebaya.

DAFTAR PUSTAKA

Agama RI, Departemen. Pola Pembelajaran Di Pesantren   . Jakarta: Departemen Agama RI, 2001.
Ali, A. Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Arifin, Imron . Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasyahada Press, 1993.
Depag RI. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah; Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: Depag RI, 2003.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi perihal Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3S, 1985.
Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam/ Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren. Profil Pondok Pesantren Muaddalah. Depag RI, 2004.
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997.
Munawaroh, Djunaidatul. “Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren”, dalam Abuddin Nata (ed). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia Bekerja Sama dengan IAIN Jakarta, 2001.
Rahardjo, M. Dawam (ed). Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren, 1985.
Siberman, Mel. Active Learning 101 Strategies to Teach Any Subject, Terj. H. Sardjuli dkk. Yogyakarta: Yappendis, 1996.
SM, Ismail. “Pengembangan Pesantren Tradisional”, dalam Ismail SM (Ed.). Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Suyoto. “Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional”, dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1988.
Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya. Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Zarkasyi, Abdullah Syukri. “Pondok Pesantren Sebagai Alternarif Kelembagaan Pendidikan untuk Program Pengembangan Studi Islam di Asia Tenggara”, dalam Zainuddin Fananie dan M. Thoyibi. Studi Islam Asia Tenggara. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999.